Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... -

Mengembara di London sekitar 10 tahun dan kembali ke Jakarta akhir 2011, ingin berbagi cerita mengenai Inggris dan Eropa serta kisah perjalanan lainnya. Silahkan berkunjung pula ke asepsetiawan.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Monas, Sumber Inspirasi dan Bekal ke Depan

11 Mei 2011   07:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:50 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berkunjung ke Monas selama di Jakarta mungkin bisa dihitung dengan jari. Kunjungan terakhir kalau tidak salah tahun 2010. Di panas yang terik menyengat Jakarta, kami sekeluarga melihat-lihat kembali monumen nasional barangkali ada yang bisa dipelajari. Dengan tempat parkir luas dan taman luas tertutup dari para pedagang asongan, Monas memang lebih asri terlihat dari jauh. Halamannya luas mengelilingi tugu nasional yang banyak dibanggakan itu. Kalau dulu di sekeliling jalan monas ini ramai dengan pengunjung, pedagang dan lalu lintas mobil dan motor, sekarang terlihat sepi.

Monas terlihat perkasa membelah langit Jakarta. Seolah ingin mengatakan, inilah Indonesia ! Inilah monumen serta simbol keagungan Indonesia dengan 13.000 pulau dan 240 juta jiwa rakyat hidup di dalamnya. Dengan kilau emas di puncaknya seolah ingin mengatakan, carilah makna lebih dalam dari tugu Monas ini di dalamnya, dalam dioramanya dalam perjalanan menuju puncak monas.

Dan itulah memang yang saya temui dalam diorama yang indah diliput sinar temaram serta teduh di bawah piringan monas. Satu demi satu diorama yang dalam beberapa dasa warsa tampak tidak berubah itu menunjukkan sejarah dan perjalanan Nusantara bahkan jauh ke zaman purbakala.

Dengan perjalanan itu diorama Monas ini mengingatkan para pengunjungnya bahwa histori Indonesia jauh menembus jaman sejak purbakala, era kerajaan, era keemasan, era menjadi budak penjajahan, era perpecahan, era gerakan nasionalisme, era menegakkan jati diri bangsa setelah deklarasi kemerdekaan, era guncangan ketika komunisme hidup di bumi pertiwi dan dimatikan ketika era Orde Baru lahir lalu era pembangunan dan lainnya. Sejarah Inilah diorama tentang Indonesia, inilah sejarah masa lalu Indonesia yang semestinya dalam gambaran diorama itu menjadi pelajaran bagi warga bangsa yang besar. Renungan demi renungan dalam diorama itu mengingatkan bahwa bangsa yang besar seharusnya melihat ke belakang, menjadikan modal perjalanan itu sebagai sebuah hikmah untuk selanjutnya diramu dan dipoles dengan kekinian agar martabat bangsa ini terjaga. Agar kemewahan, kenyamanan dan kemajuan saat ini tidak melupakan darah dan air mata masa lalu.

Sudah banyak Indonesia ini melalui sejarah, sudah ribuan, puluhan ribu dan ratusan ribu jiwa-jiwa suci ini dipersembahkan untuk lahirnya sebuah negeri yang seharusnya memberikan kemakmuran dan yan dicita-citakan mereka yang terwakili dalam diorama sejarah di Monas itu Indonesia yang makmur. Pedih dan perihnya sejarah Indonesia ini kalau menurut hemat saya - saat melihat rangkaian diorama di sekililing dinding bagian bawah Monas ini - seharusnya menjadi sumber inspirasi. Sebuah semangat yang terhujam dalam dada bahwa Indonesia harus menjadi besar, berwibawa, makmur dengan pemerintah yang adil. Karena pahit getir kolonialisme dan perpecahan tidak menghasilkan kecuali penderitaan, kemiskinan dan kebodohan. Diorama ini menjadi sumber inspirasi karena sesungguhnya cita-cita para pendiri negeri ini sangatlah luhur. Saat satu diorama memperlihatkan bagaimana bendera merah putih dikerek pertama kali dengan Indonesia Raya mungkin akan terasa menggugah dan meledakkan hati. Rasanya itulah sebuah inspirasi yang membangkitkan semangat akan perasaan sudah merdeka. Ya Merdeka dari penjajahan, merdeka membangun bangsa di daerah yang kaya akan mineral, kaya akan emas, minyak, tembagadan gas. Lautan yang kaya akan minyak, gas, ikan dan mineral. Mungkin terasa heran kalau mereka yang memiliki kesadaran akan makna diorama ini membiarkan mereka bisu, terabaikan dan tidak ditoleh karena sibuk dengan bekal makanan dan minuman yang menyegarkan di tengah panas terik. Sesungguhnya diorama itulah yang bisa menyegarkan jiwa yang merenungkan akan nasib bangsa ini. Diorama ini sumber inspirasi untuk tidak mundur dalam memperjuangkan aspirasi kemerdekaan, memperjuangkan hak asasi manusia, memperjuangkan melepaskan diri dari kemiskinan, melepaskan diri dari kemusyrikan dan melepaskan diri dari penyakit cinta dunia yang melahirkan korupsi yang sangat akut dari lapisan puncak sampai lapisan bawah masyarakat. Dimanakah makna diorama ini kalau kita sendiri hanya memperkaya diri tanpa mempedulikan sesama ? Untuk apa menyaksikan diorama ini jika para pengunjung ini tidak menjadikan diorama ini bekal perjalanan hidup pribadinya, setidaknya. Lebih baik lagi jika mereka memiliki posisi, jabatan dan pengaruh untuk menyadari akan makna diorama bagi masa depan lembaga atau masyarakat yang dipimpinnya.

Sungguh aneh jika diantara para warga Jakarta sendiri, warga Indonesia pada umumnya apalagi para petinggi sipil dan militer melewati Monas tanpa menengok perutnya yang berharga dari berlembar-lembar uraian dan berjam-jam ceramah tentang perjuangan kebangsaan. Lebih heran lagi mereka yang berkantor di sekitar Monas tidak pernah sekali pun menengok tugu Monas, kalau tidak dikatakan merenungkan isi diorama ini.

Saya kira inilah makna yang tinggi dari Monas apalagi ketika di salah satu ruangan terdapat rekaman pembacaan deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Suara Bung Karno yang terdengar bisa menggetarkan hati dan menggugah jiwa akan masa lalu dimana ketidakmenentuan menjadi kepastian dengan tekad merdeka. Modalnya: semangat juang. Lift yang naik puncak teratas Monas bisa ditafsirkan juga sebagai sebuah perjuangan yang tak pernah habis. Perjuangan menuju langit lepas, melepaskan dari keterkungkungan sempit apakah itu suku bangsa, kedaerahan dan religi. Semuanya berupaya untuk terus naik menuju puncak keemasan, menuju kejayaan. Dan ternyata perjalanan menuju puncak itu tidaklah mudah, perjalanan menuju masa keemasan itu banyak hambatannya, banyak rintangannya dan bahkan banyak tikus dan kecoa yang menggerogotinya. Itulah tikus-tikus yang memakan harta negara dengan berkedok kedudukan dan jabatan. Tikus-tikus pemakan harta negara ini memang tidak hanya ada di Indonesia. Mereka ada dimana-mana, negeri maju maupun negeri miskin. Bedanya di Indonesia ini kalangan koruptor ini demikian banyaknya sehingga petugas yang memberantasnya malahan yang kalah. Kalau ada yang mengatakan bung bukan jamannya berbicara idealisme zaman sekarang ini! Sekarang era pragmatis. Siapa cepat dapat. Sekarang cepat bergerak, cepat ambil kesempatan, cepat dan cepat. Halal dan Haram jangan dipersoalkan. Kalau begitu bisa dijawab juga, bung kemerdekaan ini dibangun dengan idealisme. Kemerdekaan dimana kita menikmatinya dibangun oleh mereka yang hidup dalam kesederhanaan, hidup dengan visi, hidup dengan mimpi, hidup dengan idealisme. Bahwa anak cucunya kelak harus menikmati keadaan lebih baik dari saat mereka hidup di alam penjajahan dan kemiskinan. Kalau menengok sejarah pembangunan Monas juga tercermin keteguhan yang kuat. Lihat saja tahun 1954 dibentuk sebuah komite disusul dngan sayembara perancangan monumen nasional tahun 1955. Karya Frederich Silaban menjadi unggulan namun masih belum memuaskan sehingga tahun 1960 diajukan lagi sayembara namun dari 136 peserta tidak ada yang cocok. Akhirnya Bung Karno meminta Silaban merancang monumen sesuai keinginan sang pemimpin dengan memasukkan unsur lingga dan yoni. Namun belum cocok juga dari segi anggaran maka Bung Karno meminta bantuan RM Soedarsono. Akhirnya setelah masuk unsur 17 Agustus 1945 pembangunan dimulai tahun 1961 di area seluas 80 hektar. Pasak pertama ditancapkan Bung Karno untuk proyek besar dan monumental ini tepat 1 Agustus 1961. Karena peristiwa G30S pembangunan tertunda. Pembangunan berlanjut lagi dan barulah 12 Juli 1975 diresmikan Pak Harto. Kita bisa bayangkan bagaimana sulitnya memulai lagi pembangunan yang tertunda namun setelah lebih 10 tahun akhirnya terwujud sebuah monumen nasional setinggi 132 meter yang tegak sampai sekarang dengan puncak lidah api berselimut emas. Proses pembangunannya sendiri menunjukkan sebuah keteguhan yang kuat ! Monas lebih dari itu sebuah sumber inspirasi bagi para pengunjungnya dan bekal renungan untuk tekad masa depan lebih baik, makmur, sejahatera, adil dan bermartabat diantara bangsa-bangsa di dunia.*** Catatan: Foto diorama dari situs di internet

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun