Mohon tunggu...
Asep Bahtiar Pandeglang
Asep Bahtiar Pandeglang Mohon Tunggu... Wiraswasta - bahtiar.net

Baca buku

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pentingnya Roh Agama dalam Mempertahankan Sistem Demokrasi

7 April 2019   14:19 Diperbarui: 7 April 2019   14:28 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto sumber tempo.co


Bisakah agama menjadi roh dalam menciptakan suasana demokrasi yang berkualitas? Bisakah agama, tidak hanya dieksploitasi demi kekuasaan semata?. Pertanyaan ini muncul karena kesadaran dan fakta, bahwa politisi saat ini telah banyak mengendarai agama. Beberapa dari mereka bahkan membawa idiom agama untuk menjelekkan lawan politiknya. Istilah kafir yang disematkan pada lawan politik benar-benar merupakan pukulan terburuk bagi kelancaran demokrasi.

Faktanya sebelum pemilihan umum, seperti yang telah diberitakan oleh Koran Tempo, Rudiantara melaporkan bahwa data hoax dan fitnah begitu banyak meningkat. Dalam laporan dari Agustus 2018 hingga Februari 2019, ada sebanyak 771 kasus hoax ditemukan. Belum lagi tentang pentingnya kekuasaan yang didasarkan pada motif kontrol ekonomi menjadi fakta menakutkan bagi masa depan demokrasi itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Megawati Institute pada 27 Desember 2017 menunjukkan bahwa dalam dunia politik dan ekonomi, negara ini mengarah menjadi negara yang dikendalikan oleh kartel oligarkis. Di mana itu mengarah ke monopsoni. Hanya orang yang memiliki modal-lah yang akan membeli politik nantinya.

Dugaan ini didasarkan pada fakta bahwa 48 kelompok konglomerat mengendalikan 66. 96% dari total aset Sistem Layanan Keuangan (FSS). Laporan dari Credit Suise menunjukkan 1% populasi Indonesia mengendalikan 45,4% kekayaan nasional. 10% orang terkaya di Indonesia mengendalikan 74% dari kekayaan nasional.

Kartel oligarkis akan mempengaruhi pembentukan harga dalam menghambat pengusaha baru, menciptakan persaingan tidak adil, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan yang paling parah adalah mengganggu stabilitas politik dengan ketimpangan ekonomi yang tidak stabil. Oligarkis juga akan memperkuat money politik di setiap momen pemilu. Pemilihan umum nantinya hanya akan menjadi tempat untuk transaksi suara, dimana pemilihan umum kepala daerah sekalipun akan hambar karena suara orang telah dibeli.

Apa yang terancam dari situasi ini tak lain adalah sistem demokrasi negara kita. Lemahnya pendidikan politik dan kebiasaan menghabiskan uang selama pemilu membuat orang bergantung pada uang dan uang, yang memberi lebih banyak uang akan dipilih. Maka pemenangnya adalah orang terkaya. Tidak peduli siapa yang menang, tidak peduli ia memahami program dan kebijakan di negara ini atau tidak.

Mereka yang menang dan menghabiskan banyak uang dalam pemilihan umum akan menggunakan kekuatan mereka untuk mengembalikan modalnya. Tidak ada cara lain selain korupsi. Situasi ini bahkan lebih buruk dalam sistem berdemokrasi. Euforia masyarakat dalam demokrasi hanya selama pemilihan umum saja. Sisanya kembali ke pekerjaan masing-masing. Dimana ada komunitas kecil yang mau memikirkan dana APBD. Tidak ada yang mau mengurus program-program itu sendiri. Mereka yang menjadi petani akan kembali ke ladang. Nelayan akan kembali melaut, sehingga pengemudi ojek pun akan kembali menarik penumpang.

Kita harus memotong situasi ini dari akarnya, harus lahir banyak pemikiran baru dan menciptakan pemilu yang berdaulat. Pemilihan umum haruslah bersih dan bebas dari kartel oligarki yang akan membeli kekuatan rakyat dalam berdemokrasi. Di sinilah pentingnya formula Yurisprudensi Pilkada. Dimana pemilu ditempatkan tidak hanya sebagai seremonial belaka, tetapi keterlibatan di dalamnya adalah bagian dari ibadah dan memiliki implikasi yang pantas.

Pemilu adalah ruang kontestasi yang dikenal dalam bahasa Al-Quran sebagai fashtabiqul khairat (bersaing dalam kebaikan). Kemudian pemilu juga menjadi ruang yang memungkinkan umat beragama untuk memperebutkan bagian menciptakan suasana kebaikan. Bukan kebisuan dalam bentuk kecurangan.

Salah satu argumen yang dapat dijadikan dasar adalah ayat Al-Qur'an Surat Ar Ra'ad ayat 11 yang berbunyi: Sungguh, Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa sampai mereka mengubah diri mereka sendiri. Imam al Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin Juz 1 halaman 17, menceritakan bahwa Kekuasaan dan Agama adalah dua kekuatan kembar. Agama adalah fondasi dan kekuatan sebagai pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki fondasi akan runtuh dan negara tanpa pengawal akan sia-sia.

Dalam Majelis Permusyawaratan Ulama NU tahun 2012, disimpulkan bahwa rakyat diharapkan untuk tidak memilih pemimpin yang korup, mengabaikan kepentingan rakyat, cenderung menggunakan posisi mereka untuk keuntungan pribadi dan gagal dalam menjalankan tugas mereka sebelumnya.

Beberapa hal di atas telah menjadi fondasi penting sehingga pemilu seyogyanya dapat dirumuskan untuk menjaga kualitas demokrasi. Karena jika kita masih diam dan hanya duduk bermalas-malasan melihat situasi money politik yang terus berkembang, pelanggaran kampanye berulang-ulang, dan fitnah yang diperbanyak, secara tidak langsung negara ini akan hancur perlahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun