Mohon tunggu...
Agam Bangai
Agam Bangai Mohon Tunggu... -

Mau belajar menulis dan pingin tahu kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Abdullah Syafi'i dan 6 Senator Amerika

6 September 2013   03:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:17 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengantar:Artikel ini ditulis untuk mengenang 10 tahun genap gugurnya Panglima Perang Acheh, Tengku Abdullah Sjafi’e, bersama isteri dan lima pengawal beliau dalam medan perang bukit Sarah Panjang Djimdjim Wilayah Pidië Acheh, pada 22 Januari 2002.

Di penghujung hanyatnya, beliau pernah menerima surat dari enam anggota Senator Amerika Serikat. (Salinan surat tersebut disertakan di bawah catatan ini.)22 Januari 2004.

Surat Politik yang TercecerCatatan Untuk:1.Mr. Patrick Leahy2.Senator Edward M. Kennedy3.Senator James M. Jeffords4.Senator Russell D. Feingold5.Senator Dianne Feinstein6.Senator Robert G. Torricelli

Biro Penerangan ASNLF Denmark mengucapkan terimakasih atas surat saudara kepada Tengku Abdullah Syafie pada 17 Mei 2001. Ini suatu kehormatan kepada bangsa Acheh, karena telah sudi memberi pandangan guna mencari penyelesaian konflik Acheh secara komprehensif. Sayangnya, surat tersebut sarat dengan hal-hal yang kontroversial. Misalnya sokongan saudara: “we supports the territorial integrity of Indonesia.” Diakui bahwa, ini merupakan hak berbicara di alam demokrasi; namun, keberpihakan ini menunjukkan sikap tidak arif. Semestinya saudara meneladani Ulysses S. Grant, Presiden, Amerika Serikat, yang bersikap “neutral” dalam menengahi perang antara Acheh–Belanda tahun 1873. (See the text of President Gran’ts “Declaration of Impartial Neutrality” dalam (Message and Papers of the Presidents).

Sokongan tersebut hanya memperkeruh keadaan dan nampak betapa dangkalnya pengetahuan sejarah saudara tentang Acheh. Acheh bukan Indonesia. Soal Acheh sekarang berada dalam wilayah territorial integritas Indonesia, ini kesalahan sejarah yang mesti diluruskan. Belanda telah menyerahkan wilayah kedaulatan Acheh kepada Indonesia secara illegal, di saat Belanda sendiri secara de jure dan de facto tidak lagi menguasai Acheh. Walaupun antara tahun 1947-1949 wilayah integritas Netherlands East Indies telah dikuasai kembali seluruhnya, tetapi Belanda tidak berani lagi menduduki Acheh. Artinya, sesudah 7 tahun angkat kaki dari Acheh, baru terjadi penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada 27 Desember 1949. Kalaupun terjadi penyerahan, hanya terbatas pada wilayah Netherlands East Indies dan tidak termasuk Acheh. Sebab Acheh, tidak pernah menjadi bagian daripada wilayah territorial integritas Netherlands East Indies yang kini menjadi Indonesia.

Konflik Acheh, mesti ditelusuri akar konfliknya dan mesti diselesaikan melalui prosedure: decolonisasi, referendum atau lewat perundingan, seperti saudara katakan: “we feel strongly that dialogue is the only way to end the conflict and hope that both sides will continue to search for ways to restart negotiations.” Keberpihakan kepada penguasa, sudah menjadi tabiat di kalangan politisi. Contohnya: sikap loyalist-loyalist Acheh yang berkata: “Aceh tidak akan mungkin bisa lepas dari pangkuan Negara Kesatuan RI. Setelah kemerdekaan diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta, Indonesia yang membentang mulai dari Sabang sampai Merauke sudah ditulis di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sabang itu adanya di Aceh. Itu tidak bisa diubah oleh siapa pun." (Abdullah Puteh. “Aceh Tak Mungkin Lepas dari NKRI Banda Aceh, Minggu 26-10-2003“ –Serambi Indonesia.)

Di sini terdapat muatan politik satu kelas antara saudara dengan loyalist-loyalist Acheh kepada Indonesia. Streotipe politisi seperti ini, mengingatkan kita kepada realitas sejarah, tatkala Amerika masih merupakan bagian daripada wilayah integritas Inggeris (13 Provinsi) yang pusat pemerintahannya di London. Waktu itu, sokongan terhadap integritas wilayah Inggeris ke atas Amerika disuarakan oleh Senator Philadelphia, Trenton, New York, Saratoga, Albany, Maryland, Savannah, Charleston dan Cornwallis yang dikenal sebagai state yang paling loyal kepada British. Dalam Sidang Kongres menjelang kemerdekaan Amerika mereka berkata: ”Britain and America were ’one country’. ”The Americans are the sons, not the bastards of England” (baca: “The Rise and Fall of the British Empire”, pg 100-109. Lawrence James, 1994). Slogan-slogan loyal kepada mother country (British) tersebut sempat membimbangkan penanda tangan naskah proklamasi kemerdekaan Amerika, namun begitu, mereka tetap menuntut Amerika merdeka. Demikian juga ASNLF, tetap bertekat mewujudkan Acheh sebagai suatu negara, sebab Acheh sudah tegak sebagai suatu negara merdeka dan berdaulat, sewaktu Amerika masih lagi merupakan beberapa provinsi daripada Inggeris raya. Dalam konteks ini, kita tidak akan melupakan streotipe Senator-senator dalam putaran sejarah Amerika.

Saudara juga menyebut: “we believe that the use of arms to solve Aceh’s problem is unacceptable.” Ini sikap ambivalen di satu pihak menyokong wilayah integritas Indonesia, di pihak lain tidak menerima penggunaan senjata dalam penyelesaian Acheh– Sikap kontradiksi ini telah dipakai oleh rezim Indonesia untuk mempertahankan Acheh sebagai salah satu wilayah jajahannya dengan kekuatan senjata. Ini terbukti dari pengerahan serdadu Indonesia secara terang-terangan dan rahasia. Diperkirakan 80.000 personil sudah berada di Acheh. Mereka-lah yang melakukan pembunuhan massal, perkosaan, penculikan, penganiayaan, pembakaran rumah penduduk, pertokoan dan sarana pelayanan masyarakat. Akibatnya, bangsa Acheh terpaksa pengungsi ke tempat-tempat yang dirasa lebih aman demi mengelak dari kebiadaban TNI. Tindakan intimidari dan kekerasan yang dilakukan rezim Megawati merupakan sambungan daripada kebijaksanaan politik rezim Suharto (Orde Baru 1966 - 1998), seperti sudah terjadi di Tim-Tim sepanjang tahun 1975-1998. Sekarang kita tahu, hasilnya gagal dan bisa dipastikan bahwa di Acheh, rezim Indonesia akan mengalami nasib yang sama.

Sikap arogan rezim Indonesia = sikap arogan Inggeris sewaktu mempertahankan Amerika –salah satu bagian wilayah integritas– Inggeris. Ketika Inggeris berhadapan dengan pengamanan wilayah yang bermasalah di Amerika tahun 1774, pihak penguasa memecat Lord Dartmouth, Sekretaris Kolonial, digantikan oleh Lord George Germain. Sementara itu, Gubernur New Jersey, Pennsylvania, Maryland, Virginia, South Carolina turut dipecat karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Lord George Germain kemudian merekrut tentara dari Irlandia, Gibraltar dan Minorca dan disusupkan juga penjahat dari penjara-penjara Inggeris, ditambah 19.000 serdadu asal German dua pertiga diantaranya dari daerah Hessian untuk dikerahkan ke kota-kota di bagian Utara Amerika yang bermasalah. Pasukan gabungan inilah yang melakukan pembunuhan dan pembakaran sesuka hati. Haslinya? Lebih dari 3000 orang hilang, 500 terbunuh, 4.500 mati dalam perang dan sakit. Pendekatan militer yang diterapkan Germain untuk menyesaikan konflik di Amerika pada akhirnya gagal, sebab taktik ini, dalam sejarahnya pernah dipraktekkan oleh Tsaritsa Catherina, yang mengerahkan 20.000 serdadu dan penjahat ke kawasan bermasalah, ternyata gagal.

Ketika suhu politik semakin memuncak, Kongres tetap ngotot supaya Amerika merdeka. Realitas politik ini disadari oleh rezim George III. Untuk itu tahun 1775, Inggeris menawarkan pencabutan ketentuan pajak yang selama ini memberatkan, hanya saja Amerika mesti menghormati supermasi hukum dan Parlemen. Tawaran ini hanyalah trik politik, sebab bersamaan dengan penawaran itu, Letnan Jenderal Thomas Gage diperintah menyiapkan pasukan infantri dari beberapa regimen untuk menguasai kawasan-kawasan rawan. Banyak orang tidak percaya bahwa perang akan meletus antara Inggeris-Amerika, sebab masih banyak yang berpikir –Britain and America were ‘one country’ dan the Americans are the sons, not the bastards of England Tetapi dalam realitasnya, tenyata pertumpahan darah tidak dapat dielakkan. Idé kemerdekaan dan kebebasan tidak bisa dikekang, walaupun Inggeris pada masa itu memiliki kekuatan tentara dan milisi terlatih yang ditempatkan di merata tempat di Amerika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun