Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Runtuhnya Langit Malam, Tragedi Cilandak 30 Oktober 1984

30 Oktober 2012   03:39 Diperbarui: 26 Oktober 2021   13:54 42076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1351568159790730369

Hawa malam di hari senin 29 oktober 1984  itu terasa panas, acara dunia dalam berita yang dibacakan pembaca berita Unun Sugianto dan Yasir Denhas di TVRI baru saja usai mengumandangkan jingle khas penutupnya dilanjutkan  acara Arena dan Juara, sebuah acara favorit saya meskipun hanya berupa rekaman-rekaman pertandingan menarik di beberapa cabang olah raga. 

Saat memasuki kamar depan dan membuka jendela untuk memberi hawa segar masuk kedalamnya, bunyi petasan yang meletup-letup terdengar bersahutan dari arah belakang rumah.

Cukup lama saya menyimak suara janggal itu, karena biasanya hajatan penduduk pinggir kompleks perumahan umumnya dilaksanakan di hari sabtu atau minggu dan mereka sering membunyikan petasan tanda pembuka pesta. Suara teriakan tiba-tiba membahana di malam itu, sahut menyahut memberi tahu berita yang terdengar simpang siur, 

"Gudang peluru meledak lagiii!". 

Kaki saya spontan melintasi bibir jendela kamar dan melompatinya hingga sampai ke teras depan. Ibu, kakak dan adik saya keluar memastikan berita, saat itu bapak tak ada di rumah, ia berdinas di satu kantor militer di pusat Jakarta. Tubuh kurus saya yang mulai meninggi   melesat, menyusuri jalan depan rumah dan melewati  lorong kecil arah barat dekat lapangan badminton untuk melihat apa yang terjadi. Terdengar ibu berteriak memanggil.

Saya tahu dimana  gudang peluru itu. Tempat dimana saya sering bersama sahabat kecil saya, almarhum  wiranto,Yudi, Iyok dan Narto bermain ditepi-tepinya. Gudang peluru itu berbentuk bagai  enam makam besar dengan gundukan berbentuk parabola yang di masing-masing ujungnya terdapat tangga menuju kebawah dan dibatasi oleh kerangkeng besi kokoh dengan pintu kayu maha berat. Letaknya yang dekat dengan Dapur umum tempat memasak bagi keperluan pasukan tentara penghuni asrama yang tinggal didalam markas  lebih membuat kami menjuluki tempat itu sebagai "Belakang dapur" dibanding menyebutnya sebagai gudang peluru. 

Mulanya kami tak menyadari bahwa tempat bermain kami itu tersimpan ribuan peluru roket besar sebesar batang kelapa yang dulu disiapkan oleh presiden soekarno untuk menghantam tentara kerajaaan Belanda guna membebaskan Irian barat, sampai  suatu ketika sebuah letusan kecil pernah terjadi pada bulan Juli 1984 sebelumnya namun berhasil dipadamkan. 

Saya menyeruak dan menerjang berlawanan arah dengan beberapa Provost yang mencoba menghadang laju orang-orang yang sangat ingin tahu, dan tiba-tiba.....kami saling bertubrukan. Lampu seketika padam mengakibatkan pandangan  gelap gulita tanpa cahaya. Para Provost berteriak mengusir siapa saja yang berjalan ke arah gudang peluru yang jaraknya hanya  1-2 kilometer saja dari rumah kami. Saya panik dan berlari berbalik arah, suara dentuman mulai mengeras dan menggetarkan bumi.

Tiba dirumah, sekeluarga kami nampak panik kecuali ibu. Ia sibuk berunding dengan para tetangga untuk berencana seterusnya akan berbuat apa namun dentuman demi dentuman membuyarkan semuanya, satu demi satu tetangga kembali kerumah dan mempersiapkan pengungsian apa adanya. 

Sementara Ibu memasukkan segala pakaian yang bisa dibawa, kami anak laki-laki mempersiapkan segala surat yang perlu dibawa dalam sebuah kopor. Adik   bungsu saya menangis sejadi-jadinya, karena ketakutan luar biasa dan juga menangisi sofa baru di ruang tamu kesayangannya yang baru saja dibeli ayah seminggu yang lalu. 

Ibu duduk berdoa diruang tamu lalu meletakkan sebuah Alqur'an di atas meja dan mengajak kami bergerak meninggalkan rumah. Ketenangan ibu saat itu memberi kekuatan tersendiri. Di jalan utama ribuan orang mulai bergerak, takbir berkumandang, doa dihantarkan dari mulut semua orang, tangis anak-anak kecil yang tak  terperikan ketakutannya karena tak tahu ada apa gerangan sementara manusia dan kendaraan tumpah ruah mencari jalannya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun