Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Catatan Tepi) Nasehat dari Tepi Makam

10 Juni 2017   11:31 Diperbarui: 10 Juni 2017   11:48 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seminggu sebelum puasa, Almarhum Ibu datang lewat mimpi. Wajahnya yang teduh menatap dengan kerinduan. Tak banyak yang beliau katakan  selain meminta saya mengingatnya dan  meluangkan waktu mengunjunginya. Jarang sekali almarhum ibu datang dalam mimpi dan membawa pesan yang jelas sekali, biasanya beliau selalu hadir hanya ketika saya harus memutuskan masalah besar  yang menyangkut orang banyak.

Sehari ketika merencanakan mengunjungi makamnya, tubuh saya jatuh dalam sakit yang tak memampukan saya untuk pergi, satu minggu lamanya bahkan hingga jatuh di hari puasa radang di perut menaikkan suhu badan melewati angka yang tak bisa ditolerir.

Begitulah manusia, kadang terlupa pada pesan yang diterima dan lebih memikirkan kondisi dirinya sendiri sehingga saya selalu menunda untuk melaksanakan pesan kebaikan. Hingga kemarin subuh saya belum sempat ke makam ibu lalu tiba-tiba Almarhum bapak datang dalam mimpi  tidur saya tak lama usai shalat subuh. Dari balik pintu rumah bapak tak nampak marah meskipun tak mau masuk kedalam rumah. Dalam kalimatnya yang datar ia meminta saya menjalankan pesan ibu:

“Tengoklah ibumu, bapak takut ia perlu sesuatu. Dalam tempat yang gelap ia butuh cahaya, dalam tempat yang sunyi ia butuh kesejukan. Bapak takut apa yang kamu hadapi didunia memutus terang dalam kuburnya. Tengoklah!”

Dalam tidur usai subuh saya terhenyak, tergugu dan  tersungkur dalam doa-doa panjang shalat Dhuha. Meskipun kemarin hari kerja, saya memutuskan tak akan kemana-mana selain mengunjungi makam Ibu dan Bapak pagi itu juga.

Nisan yang menunjukkan tarikh telah sepuluh tahun Ibu pergi nampak hijau bersih. Matahari mulai meninggi  tetapi angin yang mendesak ranting-ranting pohon bambu membisikkan kesejukan pagi menjelang siang itu, meski terik, tak ada rasa panas sama sekali.  Saya menyapa dengan Al-Fatihah dan menyambungnya dengan doa-doa kebaikan.

Di tepi makam saya mengenang ibu. Betapa beliau menghabiskan waktunya untuk membesarkan keenam anaknya. Menempatkan satu baskom lontong kekepala saya untuk kemudian meminta saya mengantarnya kesebuah Sekolah Menengah Pertanian setiap hari sekolah  dan kemudian meminta saya untuk mengambil kembali di sore hari dengan uang hasil penjualannya. Dalam hari-hari tertentu beliau mengajak saya berjalan menempuh ruas jalan Jakarta untuk mengambil pola jahitan konveksi pakaian anak yang kemudian dikembalikan dalam bentuk pakaian yang sudah terjahit dan siap jual. Rupiah mengalir ke dompet ibu dalam jumlah yang saya bisa menghitungnya diluar kepala. Ibu kadang bertanya berapa uang yang tersisa sesaat kami usai menikmati dua mangkok bakso ditepi jalan Fatmawati dan saya bisa menghitungnya dengan benar.

“Dikepalamu ada kalkulator ya?” canda ibu suatu kali. Biasanya saya menyeringai lalu meminta tambahan porsi satu mangkok lagi.

Entah mengapa ibu sedemikian ingin bahkan meminta juga Bapak datang dalam mimpi  untuk meminta saya datang padanya seolah  dari tepi makamnya yang sejuk ia  ingin  memberi nasehat pada saya betapa hidup tak melulu dilalui dalam keadaan yang indah. Langkah kaki harus tetap bergerak jika  menginginkan setiap persoalan bisa diselesaikan tepat pada waktunya dan kini sebagai Pemimpin dari ratusan orang saya dinasehati lewat kenangan perjuangan ibu membesarkan anak-anaknya, melewati hari dimana dulu kebutuhan hidup harus dipenuhi dengan berbagai cara tanpa harus mengeluh tanpa harus bersungut.

Tanpa sadar apa yang saya dapat hingga hari ini adalah buah nasehat dari yang disampaikan ibu lewat perbuatannya dan ucapannya sepanjang jalan ketika kecil dulu saat kami berdua melalui jalan-jalan sempit menjemput rejeki menyiasati kehidupan serba terbatas dari istri dan anak seorang Tentara.

“Hidup ini bukan tergantung dari orang lain tapi dari apa yang ada di tangan kita. Lihat jahitan konveksi ini, seberapa banyak yang bisa diselesaikan itu tergantung dari seberapa sanggup kita mengelolanya. Bukan dari perintah pemilik konveksi ini yang selalu meminta kita menyelesaikannya sebanyak-banyaknya. Rejeki itu tak berbatas, hanya kita manusia yang kadang membatasi ?” sebagian nasehat ibu dulu pernah meluncur dari mulutnya ketika kami membawa dua tas berisi bahan jahitan konveksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun