Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pendekar Pedang Sunyi (2)

27 Maret 2020   07:48 Diperbarui: 27 Maret 2020   07:48 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Fajar menjelang. Mahesa menggigil kedinginan tetapi hatinya  membara melihat perguruannya terbakar hebat  hingga tak membuatnya beringsut dari persembunyian.

Kelabang Ireng yang dikenal begitu garang dan kejam tak akan memberi ampun dan jarak apabila mengetahui ada satu dua orang murid Perguruan Pedang Sunyi yang tersisa, apalagi orang itu telah membunuh dua anak buahnya di tepi lumbung.

Tempat ia bersembunyi adalah tempat ketika Gurunya, Pendekar Pedang Sunyi, kerap mengajaknya berdua untuk menyepi mendekati yang kuasa. Tepi sungai itu agak menjorok kedalam, membentuk semacam gua kecil yang dialiri air jernih  lalu air itu kemudian kembali menyusuri sungai lewat batuan dibawah gundukan tanah kecil yang membentuk delta.

Pohon 'kokoleceran' berdiri kokoh dengan akar-akar yang menutupi pintu gua sehingga tak nampak sedikitpun lubang yang sebetulnya menganga dibawahnya.

"Tak ada satupun muridku yang tahu tempat ini, Mahesa. Maka diamlah dan jangan katakan pada siapapun  kecuali engkau tak mau lagi jadi muridku!" begitu perintah gurunya saat pertama kali mengajaknya berdua untuk menyepi disana.

Ubi jalar bakar dan sedikit garam menjadi bekal mereka berdua sebelum melaksanakan puasa. Mahesa menemani sang guru dalam sunyi, dalam kesepian raga, hanya berdua tiga hari lamanya menjelang purnama tanpa makan hanya meneguk air sungai dibawah kaki mereka.

Daun kokoleceran menjorong dan melanset, buahnya yang bulat dengan tangkai yang pendek sesekali jatuh ke sungai menimbulkan suara yang membuat khawatir Mahesa dapat menimbulkan kecurigaan anak-anak buah kelabang Ireng yang masih saja menyatroni dan mendiami  perguruan Mahesa yang kini luluh lantak.

Karena di gua, Mahesa tak tahu murid-murid teman seperguruannya yang di tebas oleh senjata-senjata penyerang telah dibuang ke sungai mengalir mengapung menyusuri sungai. Tubuh kaku   Jaka, Tunda, Raka , Wira  teronggok menunggu arus menuju hilir atau menanti binatang buas berpesta.

Murid-murid durjana kelabang ireng masih terbuai dengan minuman 'Lapen' yang memabukkan dari daratan tengah jawa. Awak perahu-perahu portugis kerap membawa minuman ini dari mataram dan menjualnya pada para penduduk lokal di pelabuhan Bantam. Lima hari lagi Purnama, biasanya Mahesa diajak oleh gurunya untuk menempati tempat yang ia tempati saat ini, namun kali ini sang guru tak lagi menemaninya.

Dalam segenap sisa tenaganya, mahesa melakukan tapa menjelang purnama. Ia mengikuti segala apa yang diajarkan gurunya didalam gua. Sunyi senyap meski derasnya air terus membahana memecah kesunyian  hutan lebat tapi tidak demikian dalam pendengarannya.

Manusia di dunia janganlah pernah menyerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun