Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mandi Darah di Tanah Mandar

28 Mei 2013   10:18 Diperbarui: 4 April 2017   16:37 6417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13696264081174166471

ARTIKEL relaksasi ini, cumalah mengundang pembaca, untuk menjejali khasanah dan wawasan akan ragam budaya kita, penulis membaginya untuk Anda, dan pandanglah koleksi-koleksi budaya kita -masih tergenggam-, dan tiada jaminan sekauman kebudayaan etnik tertentu akan eksis, ia ber-evolusi, raib untuk kemudian dilibas oleh kebudayaan-kebudayaan baru. Tarulah budaya fashion yang neo-modernitas yang 'baru saja' membumkam fashion tradisional, budaya motor-motoran yang telah menggeser sepeda (budaya China, red), dan jua, kultur transportasi moderen telah mengkanvaskan andong/dokar di kampung saya, terknik persuratan manual dihempas teknologi SMS, pesawat telepon rumah diberangus telepon genggam. Segala ini wujud keajaiban peradaban, dari masa ke masa. Semua atas nama kemudahan hidup manusia, walau hidup manusia sedari dulu sampai sekarang tak pernah mudah, dan berrteman dengan masalah, sebab lahirnya manusia sepaket dengan masalah itu sendiri.

[caption id="attachment_263837" align="aligncenter" width="300" caption="Pakaian tradisional, hasil asimilasi kultural etnik Bugis-Mandar (Muhammad Armand, Mei 2013)"][/caption] Perkenalkan Etnikku

Inilah etnik saya, etnik Mandar. Satu dari sekian banyak 'suku bangsa' di tanah air kita yang tersayang ini. Etnik ini dipercaya berasal dari Melayu Polinesia, memiliki bahasa sendiri, adat sendiri dan anatomi wajah dan bentuk tubuh yang ke-asia-an. "Kakek-Nenek" kami akrab dengan lautan, hingga manusia Mandar juga lekat dengan profesi nelayan dan bertani seperti mendiang ayah saya. Itu suatu alasan etnografi mengapa lagu-lagu dan puisi-puisi Mandar bersuar dengan eloknya ombak lautan, bersentuhan dengan gemuruh air biru, hingga terciptalah lagu etnik-moderen akan kisah kasih sepasang remaja nan romantis, nyanyian melow dan mendayu-dayu itu bertajuk: "TELUK MANDAR". Asal kata (etiomologi) Mandar belum ada kepastian asal muasalnya, semua masih hipotesa, hipotesa berdasar pada sejarah orang Mandar di abad 13 (tiga belas). Diduga kuat 'nomenklatur' Mandar bersumber dari kata aslinya, yakni MANDAQ, artinya kuat/berani. Saya pun menduga dengan sangat kokohnya bahwa inilah asal kata Mandar, etnik saya.

Selanjutnya, ada 'kecurigaan' lain bahwa kata Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadhara. Dan juga pemberian nama lain dari Kolonial Belanda; dengan dua suku kata: Man Dare. Dan kemudian masa, menjadi guyonan di tahun 2000 an, etnik ini berpusat di China karena kemiripan tata huruf: Mandar dan Mandarin. Ha ha ha..

Budaya Mandar-pun masih teguh merawat kebiasaan-kebiasaan dan ritual yang sejalan dengan keyakinan dan agama orang Mandar. Pembacaan Barzanji (Sejarah Rasulullah SAW) masih didendangkan, sunatan untuk anak perempuan pun masih diindahkan dan rebana-rebana yang ditabuh dari perempuan-perempuan Mandar, pun masih terngiang. Amma' Cammana, dialah derigen dan vokalis nasyid ala Mandar dan beliau juga 'Guru Spiritual' Kyai Kanjeng Emha Ainun Nadjib.

Mandi Darah

Saya paham, Mandi Darah adalah kata kunci yang paling Anda ingin ketahui di tulisanku ini. Hingga saya menuliskan sub-tittle ini di penghujung artikel humaniora ini. Kalimat 'heroik' ini adalah akronim dari kata Mandar (Mandi Darah). Sangat ironik sebetulnya, 'mandi darah' itu simbol kekerasan yang pernah terjadi di tempat kelahiranku -yang kubanggakan ini- dekade 50 an sampai dekade 80 an. Jaman 'primitif' itu amatlah disayangkan, di mana pertarungan antar keluarga kerap terjadi, demi gengsi keluarga (siriq), mengutus seseorang untuk menantang satu keluarga dan mengundangnya di suatu area yang telah disepakati untuk unjuk harga diri, uji keberanian, sekaligus uji nekat dalam sabungan nyawa dan tikam-tikaman dalam satu sarung.

Duel Maut pun, tak jarang dihelat, bak Hector Vs Archiles dalam legenda Troy, Yunani. Kala duel dua manusia Mandar, tatapan mata yang garang, langkah kaki yang penuh muslihat, ayunan pedang Mandar mendesing, gemerincing saat berbenturan dengan tombak Mandar yang terkenal mematikan itu. Penonton dari dua kubu, kadang memejamkan matanya saat sabetan pedang merobek pakaian sang petarung namun tiada yang terluka. Berjam-jam pertarungan ini, entah kapan memasuki ronde terakhir. Adajiwa satria di sana, sebab yang gugur dalam pertarungan itu, jenasah diperlakukan baik-baik, dipulangkan ke rumahnya dengan penuh penghormatan.

Exactly, 'budaya' violensi ini barulah terkikis saat orang-orang Mandar bertobat, intropeksi sejarah, reparasi kultur dan anak-anak Mandar kala itu, berikrar agar generasi berikutnya tak lagi memakai semboyan 'mematikan' itu. Semboyan Mandi Darah yang minim masa depan, absurd dan pembodohan zaman dan manusianya.

Hingga, haluan budayapun digeser, dan anak-anak Mandar pun, keluar dari persembunyian budayanya untuk pergi ke 'negeri' orang menuntut ilmu dengan sabar, serta uletnya dengan motto kuat dari orangtua yang sangat familiar, heroik dan populer, di Tanah Mandar: "Maumi na reppo arriang sapo, mua massikola bhandi ana'u" (Artinya: Biarlah tiang rumahku berpatah-patahan, asalkan anakku mengenyam pendidikan).

Kala itu, anak-anak muda Mandar menyabung nyawa dan mengais ilmu, dipermula dari Makassar hingga Jogjakarta, Jakarta hingga United States of America. Dan semua telah berakhir manis, sebab umbaran mandi darah tiada pernah tergaung lagi di daratan dan di lautan Mandar, tanah kelahiranku^^^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun