Usia saya tak muda lagi. Awal tahun ini tepat kepala 5 plus 3. Sudah tua memang. Secara fisik, garis-garis yang menegaskan saya telah tua semakin jelas kelihatan. Rambut di kepala sudah hampir memutih semuanya. Kulit pun mulai tampak keriput. Dan vitalitas pun pelan-pelan mulai terasa berkurang. Bahkan sejak setahun lalu, sudah ada yang  memanggil: Kakek pada saya - yaitu cucu pertama dari anak perempuan saya.
Demikan juga secara mental-spiritual, saya tak lagi binal. Sebagaimana dulu di masa muda, saya akui banyak berbuat hal-hal maksiat. Tapi sejak menginjak usia 40, Â saat anak-anak telah mengerti alif bata, saya mulai mulai merubah gaya hidup 'urakan' itu, saya mulai belajar bertobat, sekaligus menjauhi segala macam yang kelak akan membuat saya sengsara di akhirat.
Tapi sebagai manusia normal, semangat untuk hidup lebih lama di muka bumi ini masih tetap berkobar. "Aku mau hidup seribu tahun lagi"-nya Chairil Anwar masih tetap melekat kuat. Apalagi sejak sembilan bulan lalu, gairah untuk hidup kian membumbung tinggi. Ada perubahan yang sedemikian drastis dalam diri saya, memang.
Hal itu membuat orang di sekitar saya keheranan.
Sungguh. Saya sendiri tidak menyangka dengan munculnya gairah yang berpendar-pendar bak bunga api itu.
Betapa tidak. Setiap saat, dalam sadar maupun tidak, saya selalu merindukan daun-daun muda! Seperti kerinduan seorang jejaka kepada gadis pujaannya. Hati saya berdebar kencang, bila daun-daun muda tampak di depan mata. Dan tanpa ada kompromi, saya langsung terus memetiknya.
Seakan tak kenal waktu lagi. Sekalipun hendak berangkat ke kantor, atau sebaliknya, begitu tampak ada daun muda, tak pernah saya biarkan dia tumbuh berkembang lagi.
Dengan nyinyir, sering istri saya menyindir, "Tuh, mata Bapakmu sekarang suka jelalatan kalau melihat daun-daun muda." Itu dikatakannya pada anak kami yang bungsu.
Begitu juga dengan tetangga, "Si akang sekarang sudah berubah, " bisik-bisiknya pada yang lain.
Malahan seorang kolega, dengan sedikit bergurau, menuduh i saya telah kemasukan arwah binatang. "Barangkali kamu telah kerasukan roh kambing bandot, ya?"
Saya tak menanggapinya, saya justru mengajaknya, untuk mengikuti 'jejak' yang sedang dijalani oleh saya.