Mohon tunggu...
Arsaja Krismeidanarta
Arsaja Krismeidanarta Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis bebas

Mahasiswa jurusan S1-Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas DIponegoro,yang sedikit tertarik dengan dunia kepenulisan dan jurnalisme.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Konflik dalam Perbedaan Politik Pilkada Serentak dan Pemilu 2019

3 Juli 2019   07:30 Diperbarui: 3 Juli 2019   07:48 2556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Beberapa tahun belakang perpolitikan Indonesia memanas dengan tensi yang terus meningkat sejak terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden yang secara sah teprilih melalui pemilu. 

Kubu oposisi yang mendukung calon lainnya, Prabowo Subianto, begitu gencar mencecar setiap kebijakan politik yang dibuat oleh Presiden Jokowi. 

Bermula pada kasus pidato penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada tahun 2016 yang kemudian viral di berbagai media membuat sebuah celah dalam memicunya gesekan sumbu-sumbu primordial dalam masyarakat. 

Puncaknya, terjadi pada Pilkada Serentak tahun 2017 yang menjadi titik balik di mana perpolitikan Indonesia kembali mencuatkan isu-isu primordial terhadap politik identitas agama dan suku atau etnis (Fathoni, 2017).

Tensi yang memanas ini memicu potensi-potensi terjadinya konflik yang berkelanjutan, baik secara actus reus dan mens rea. Pada tahun-tahun pemilu yang memanas sejak 2017-2019, tensi yang berkembang dalam politik Indonesia lebih sering terlatar belakangi oleh isu primordial, terutama isu agama.

 Sudah sejak lama agama menjadi sebuah alasan yang jelas mencoba menciptakan perdamaian, namun ironinya juga sering menjadi katalis dalam menciptakan konflik (Cortright, 2008). 

Sensitifitas dalam perkara politik berbalut agama yang kental ini menciptakan pola yang terulang kembali di Eropa, ketika kerajaan dan gereja pada waktu itu bekerjasama menutupi segala tindakan politik yang dibalut dengan kemasan agama. 

Mengingat kondisi sosial dari masyarakat Indonesia yang cenderung masih kuat dalam kepercayaan agama. Namun, sentimental seakan terulang ketika trauma mayoritas merasa terancam oleh keberadaan minoritas. Hal kembali terulang dengan tahun-tahun pemilu yang dihadapi Indonesia selama 2017-2019.

Ketika perkara kasus Ahok sudah menemui penyelesaian dengan dihukum penjara pada tahun 2018, tensi politik Indonesia pasca kasus tersebut belumlah usai. Justru Indonesia menemui babak baru yang justru semakin lebih besar. 

Pemilu 2019 adalah puncak tertinggi dari segala bentuk sentimental politik yang semakin beragam, namun masih terdapat pola yang sama dari sebelumnya. Kontestasi Pemilu Presiden 2014 kembali terulang ketika Joko Widodo harus dipetemukan dengan Prabowo Subianto sebagai rivalnya. 

Psikologi secara sosial baik ekstern (lingkungan sosial, fisik, peristiwa-peristiwa, gerakan massa) mau pun intern (fisik, perorangan, emosi) dapat diamati dari tokoh dengan pengaruh kuat tersebut. Pada masa ini, seakan terjadi 'cuci otak' dalam indoktrinasi politik yang membuat proses-proses politik lainnya menjadi terpengaruh (Budiardjo, 1982).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun