Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menikmati Keindahan Kemah Tabor, Mataloko, Flores-NTT

27 Februari 2017   10:01 Diperbarui: 28 Februari 2017   04:00 2745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemah Tabor Mataloko Flores. Sbr Gbr : Dokpri

Kopi Bajawa menjadi pengantar rencana saya berkunjung ke Mataloko. “Main-main ke rumah saya pak guru, kita makan ayam bakar dan mampir ke Kemah Tabor” ujar Sipri, salah seorang siswa pelatihan sambil meyeruput kopi hitam dengan cepat, seperti minum air putih. Geleng kepala saya melihat kebiasaan anak muda Bajawa memperlakukan kopi seperti air putih.”Di sini, jika minta air, yang disajikan kopi pak” cerita Sipri menjelaskan kebiasaan di sana.

 “Ayo, kalau bisa besok” sahutku cepat. Badan ini terasa perlu bergerak dinamis ke tempat lain karena Bajawa dengan suhu hanya berkisar 10 hingga 17 derajat masih belum teradaptasi dengan baik oleh tubuh Timor milikku. Selain itu, Sipri sepertinya paham bahwa “Pak Guru” yang ini butuh piknik sesudah 3 minggu berada di Bajawa.

Besoknya akhirnya kami bergerak ke Mataloko. Empat sepeda motor bergerak bersamaan dari kota Bajawa, Ibu kota Kabupaten Ngada di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur.  Tujuan kami adalah Mataloko. Mataloko merupakan nama desa yang merupakan bagian dari kecamatan Golewa. Jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke Mataloko sekitar 20 Km dari Bajawa dengan menyusuri Jalan Trans Flores yang menghubungkan Ende dan Bajawa.

Ayo pak berfoto di dalam” ajak Sipri, setelah motor kami parkirkan di pinggir jalan depan bangunan dengan halaman luas itu. Bangunan berarsitektur Eropa itu bernama Rumah retret Kemah Tabor. Nama Tabor sendiri sebenarnya bukanlah nama tempat di Flores namun mengacu kepada nama gunung di sebelah barat danau Galilea di Israel.

Bangunan ini didirikan pada tahun 1932 sebagai rumah tinggal para misionaris khususnya dari ordo Gereja Katolik Roma, Societas Verbi Divini (SVD) di Belanda. Maka tak heran, patung pendiri ordo, Santo Arnoldus Jansen berdiri tegak di depan gedung ini. Selain itu, rumah ini dulunya disebut "Rumah tinggi" berkaitan dengan konstruksi dua lantai yang dimiliki, beda dengan rumah-rumah di sekitar yang masih satu lantai.

Tampak Depan Kemah Tabor. Sbr Gbr : Dokpri
Tampak Depan Kemah Tabor. Sbr Gbr : Dokpri
Berdiri di lereng pegunungan dengan hawa sejuk membuat bangunan berlantai dua berbentuk U ini seringkali dipenuhi kabut. “Seperti di Eropa, tidak menyesal jika sampai ke sana” cerita teman saya, ketika saya bertanya pendapatnya mengenai Kemah Tabor sebelum berangkat.

Benar, suasananya seperti di Eropa. Berjejer rapinya topiary pohon cemara setinggi bangunan itu, menambah suasana eropa sangat terasa. Pohon cemara itu menjulang tinggi dengan ditemani beberapa pohon bentuk silinder di sepanjang jalan depan gedung. Indah, kontras sekali dengan kondisi NTT yang terkenal sebagai provinsi “kering”.

Rumput  “jepang” di halaman bangunan inipun  berwarna hijau cerah, ceria tanpa kekurangan pasokan air.  Suasana Eropa semakin lengkap dengan adanya taman bunga di sisi timur bangunan. Bunga-bunga khas Eropa ditanam dengan rapi dan seperti tersenyum di sana tanda terawat dengan baik. “Ayo berfoto” ajak saya kepada beberapa siswa yang ikut.

Sipri dan teman-temannya terlihat turut senang. Entahlah mereka segembira saya atau tidak, tetapi ketika jari mereka sibuk menunjuk ke sana ke mari, memastikan kami memotret keindahan Bajawa itu artinya mereka bangga akan tanah kelahiran mereka. Tetapi seharusnya tidak cukup hanya dengan rasa bangga itu.

Selama hampir tiga minggu kami bersama, Sipri dan teman-teman menceritakan mimpi mereka. Mulai dari ingin membuat bengkel kayu sendiri hingga ingin mengembangkan warung sederhana sebagai penopang ekonomi keluarga. “Saya ingin berubah pak, semoga ketrampilan yang diberikan dapat saya gunakan sebaik-baiknya” kata Sipri sekali lagi menceritakan mimpinya sesudah kami dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya.

Rumah Sipri hanya sebuah rumah kecil sederhana namun dengan halaman yang luas. Namun sayang, halamannya belum ditanami dengan tumbuhan-tumbuhan produktif. “Belum ada waktu pak” jawab Sipri kali ini dengan asap rokok mengepul seiring dengan matanya yang menyipit tandan menikmati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun