Kubuka lemari kayu yang hampir melapuk, kulihat dirimu tergeletak rapi di antara lipatan baju. Belum kukenakan di badan, seketika menyeruak kenangan lama di memori kepala.
Mengingatkan kebersamaan akan sahabat-sahabat aktivis mahasiswa. Tentang kajian paket logika dan filsafat di pekatnya kegelapan, yang hanya bermodalkan lampu kaleng sebagai penerang.
Atau tentang kenangan demonstrasi di jalan bersama rekan-rekan aktivis dan fungsionaris lembaga kemahasiswaan. Baik di kala hujan menderas ataupun tersengat panas matahari, kau setia melekat di tubuhku.
Aku bangga pernah bersamamu dulu menempa diri. Hingga kinipun aku tetap bangga memilikimu. Meski lambat laun kau sedikit termakan waktu, tetapi kenangan yang bersemayam di balikmu tak akan pernah tersapu oleh gilasan kaki sang waktu.
(Catatan langit, 31 Mei 2019)