Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Kesetiaan dari Sebuah Prasasti

18 Januari 2017   10:13 Diperbarui: 18 Januari 2017   13:40 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sebagai seorang muda masih belum sepenuhnya mengerti, kenapa hampir di setiap rumah tangga selalu ada pertengkaran. Tidak jarang, pertengkaran itu dapat berujung perpisahan yang menyakitkan. Padahal rumah tangga dipandang sakral dalam agama Hindu karena merupakan salah satu bagian dari tingkatan hidup yang harus dijalani oleh seseorang.

Saya belajar dari tradisi pernikahan ala Jawa yang sudah ada. Ketika kedua mempelai berhasil dipertemukan melalui prosesi panggih, selanjutnya diajak ke pelaminan oleh bapak dan ibu pengantin dengan cara digendong menggunakan kain sindur. Sesampainya di sana, keduanya dipangku oleh sang bapak dan terjadilah percakapan antara bapak dan ibu pengantin perempuan, yang intinya menyatakan kedua mempelai sudah “seimbang” dan siap menjalani kehidupan baru sebagai pasangan suami istri.

Sering sekali terdengar argumentasi yang menyatakan, kalau tidak ribut itu namanya bukan rumah tangga. Jika hal itu dibenarkan, lantas mengapa ada tingkatan Grehasta dalam Catur Asrama? Mengapa ada prosesi timbangan dalam pernikahan ala Jawa? Bukankah Rg Veda X. 85. 47 telah mengatakan bahwa semoga para dewata dan apah mempersatukan hati kami, suami istri?

Saya (dan mungkin kawan-kawan muda) sekarang sudah mulai kehabisan contoh figur teladan, bagaimana sebenarnya keluarga yang sukinah itu. Pada titik ini terasa ada “kekosongan” yang tak terduga. Ketika hal tersebut terjadi, maka kami pun memutuskan untuk back to Veda dan back to old Javanese traditions.

Manavadharmaśāstra menyatakan bahwa tujuan utama sebuah pernikahan itu adalah melaksanakan dharma (dharmasampatti). Agar dapat melaksanakan dharma di dalam pernikahan dan berumah tangga maka harus ada persiapan (jasmani dan rohani) yang mapan. Hal inilah alasannya mengapa agama Hindu menganggap pernikahan (gṛhastha) itu termasuk salah satu tingkatan hidup yang suci.

Berkaitan dengan hal dimaksud, kita dapat belajar dari perjalanan hidup seorang Mahatma Gandhi bersama Kasturbai, istrinya. Seringkali perbedaan pendapat di antara mereka sering menjadi begitu sengit, sehingga Kasturbai akhirnya menangis, yang hanya membuat Gandhi semakin jengkel. Namun, seiring tahun-tahun yang berlalu dan badai di antara mereka terus berlanjut, ia mulai menyadari derita seperti apa yang ia timbulkan kepada istrinya dengan sikap yang keras itu. Gandhi kemudian mengakui bahwa istrinyalah yang mengajarkan bagaimana cara mencintai yang benar.

Melalui teladan pribadinya, Kasturbai menunjukkan jalan bagaimana cara menghilangkan rasa marah dan persaingan yang mengikis pernikahan mereka. Bukan dengan cara saling membalas dan memperparah keadaan, melainkan dengan selalu mendukung Gandhi dan tetap berada di sisinya, sambil selalu berfokus pada kebaikan dalam diri Gandhi. Diam-diam, Kasturbai mendorongnya agar menjadi pria terhormat. Lambat laun, Gandhi mulai menyadari bahwa setiap hari istrinya telah mempraktikkan apa yang ia kagumi sebagai idealisme teoretis.

“Aku tidak punya apa-apa untuk diajarkan kepada dunia karena kebenaran dan nirkekerasan setua pegunungan. Cinta tidak pernah meminta, ia selalu memberi. Cinta selalu menderita, tidak pernah membenci, tidak pernah membalas dendam demi dirinya sendiri. Ya, keyakinanku akan membantuku menemukan kebenaran-kebenaran baru di setiap harinya,” ucap Gandhi dalam sebuah kesempatan.

***

Menengok ke sejumlah prasasti dari masa Jawa Kuna, kesucian pernikahan sangat diperhatikan oleh raja. Hal ini diketahui pada saat penetapan status sīma di suatu daerah. Status sīma diberikan oleh seorang raja atau pejabat tertentu sebagai anugerah, dimana penerima anugerah tersebut mendapat sejumlah keuntungan, di antaranya hak-hak yang biasanya hanya diperkenankan bagi raja. Prasasti Hantang (1057 Ś/1135 M) dan Jaring (1103 Ś/1181 M) menyebutkan bahwa seorang pejabat (raja) berhak memperistri dayang atau pelayan perempuan (marabya dayang).

Prasasti Gerba menyebutkan bahwa tulus-tuluslah bila berumah tangga seperti beratnya langit dengan bumi (kadi boting akasa lawan prtiwi), dan sebenarnya para leluhur tidak menghendaki adanya kekerasan di antara suami-istri karena hal itu dapat berbuah karmaphala, sebagaimana termaktub di dalam prasasti Widodaren :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun