Mohon tunggu...
Ari Yurino
Ari Yurino Mohon Tunggu... -

Buruh yang bekerja di organisasi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Arti Penting Konvensi Anti Penghilangan Paksa

25 November 2010   11:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:18 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 23 November 2010, Republik Irak akhirnya menjadi negara ke-20 yang meratifikasi Konvensi untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa). Dengan begitu, 30 hari kemudian atau tepatnya tanggal 23 Desember 2010, Konvensi Anti Penghilangan Paksa akan berlaku. Berlakunya Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini merupakan hasil sebuah perjuangan panjang para korban dan keluarga korban penghilangan paksa, khususnya di Amerika Latin, sejak tahun 1970-an.

Konvensi yang disahkan PBB pada tanggal 20 Desember 2006 ini, diakui banyak pihak sebagai sebuah perkembangan yang luar biasa dalam melawan impunitas serta menekankan hak untuk tidak dihilangkan. Melalui konvensi ini, masyarakat internasional menempatkan tindak penghilangan orang secara paksa sebagai induk dari segala pelanggaran HAM. Salah satunya karena ada empat jenis hak-hak sangat mendasar yang dilanggar oleh kejahatan penghilangan paksa, yaitu hak untuk tidak disiksa, hak atas kebebasan dan keamanan, hak untuk diperlakukan sama di depan hukum dan hak untuk hidup. Bahkan Konvensi ini juga mengakui adanya hak atas pengungkapan kebenaran dan reparasi bagi korban dan keluarga korban penghilangan paksa.

Namun yang lebih penting adalah Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini mampu mencegah terjadinya kembali kasus penghilangan paksa. Hal tersebut dikarenakan setiap negara yang meratifikasi Konvensi ini harus menyelidiki praktek penghilangan paksa yang dilakukan oleh orang-orang atau sekelompok orang serta membawanya ke pengadilan. Selain itu, setiap negara pihak harus mengambil langkah-langkah penting untuk menjamin bahwa penghilangan paksa merupakan kejahatan dalam hukum pidananya. Point inilah yang menjadi salah satu bentuk pencegahan terjadinya kembali kasus penghilangan paksa di suatu negara yang telah meratifikasi Konvensi tersebut.

***

Di masa Orde Baru, praktek penghilangan orang secara paksa kerap terjadi. Kasus penghilangan paksa yang dilakukan secara sistematis diketahui dilakukan sejak tahun 1965. Kemudian praktek ini berlanjut di kasus Penembakan Misterius (Petrus), Tanjung Priok, Talangsari-Lampung, Aceh, Papua, 27 Juli 1996, hingga kasus penghilangan paksa terhadap aktifis di tahun 1997-1998. Hingga saat ini, korban penghilangan paksa pun sangat sulit dilacak keberadaannya. Apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal? Jika masih hidup, dimanakah mereka? Namun jika sudah meninggal, dimanakah kuburannya?

Hal itu jugalah yang menyebabkan kasus ini menjadi unik dan berbeda dengan kasus-kasus lainnya. Kasus penghilangan secara paksa merupakan kasus kejahatan yang terus berlanjut dan tidak mengenal batas waktu hingga korbannya ditemukan. Keluarga korban penghilangan paksa pun hingga saat ini masih banyak yang menunggu "kepulangan" sanak keluarganya yang hilang. Bahkan ada seorang bapak yang masih setia menunggu kepulangan anaknya yang hilang. Bapak tersebut selalu menunggu di teras rumahnya setiap malam, berharap anaknya kembali ke rumah. Beberapa keluarga korban penghilangan paksa juga meyakini ayah/ibu/anak/suami/istri mereka yang hilang masih hidup hingga saat ini, walaupun mereka telah hilang selama puluhan tahun.

***

Selain mengusut tuntas kasus penghilangan paksa yang pernah terjadi di Indonesia, tentunya bentuk pencegahan terhadap terjadinya kembali kasus-kasus yang serupa di kemudian hari juga menjadi penting. Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang bisa menjadi salah satu penghambat terjadinya kembali kasus penghilangan paksa di Indonesia, ternyata dipandang sebelah mata oleh pemerintah.

Rekomendasi agar pemerintah meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebenarnya telah dimunculkan oleh DPR pada tanggal 28 September 2009 lalu. Rekomendasi DPR tersebut muncul bersamaan dengan 3 butir rekomendasi lainnya yang mendesak pemerintah atau presiden untuk pengadilan HAM adhoc untuk kasus penghilangan paksa 97/98, membentuk tim pencarian untuk kasus penghilangan paksa 97/98 serta pemberian kompensasi kepada keluarga korban penghilangan paksa. Namun sudah setahun rekomendasi tersebut muncul, tidak ada tindakan yang nyata dari pemerintah.

Pada tanggal 27 September 2010, setahun disahkannya rekomendasi DPR tentang kasus penghilangan paksa 97/98, pemerintah baru menandatangani Konvensi Anti Penghilangan Paksa di New York. Namun penandatanganan tersebut bukanlah ratifikasi. Untuk itu, DPR harus mengeluarkan Undang-undang mengenai ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa tersebut.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun