Mohon tunggu...
Indra Nugroho
Indra Nugroho Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Err....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Critical Review Artikel The Brent Spar Controversy: An Example of Risk Communicarion Gone Wrong

17 April 2013   07:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:04 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sulit untuk mengingat kontroversi lingkungan yang telah diterima sebagai perhatian media sebanyak tenggelamnya usulan Spar platform penyimpanan minyak Brent dimiliki bersama oleh Shell dan Exxon di laut Atlantic Utara. Kasus ini menyebabkan rasa malu bagi Shell, yang menerapkan pembuangan laut dalam, serta untuk John Major dan Pemerintah Inggris yang membela keputusan Shell sebagai Opsi Terbaik Praktis Lingkungan (BPEO). Greenpeace, khususnya aktivis mereka di Jerman, melancarkan kampanye besar-besaran terhadap tenggelamnya Brent Spar yang akhirnya mendorong pemerintah Jerman, Denmark, dan Swedia untuk menyesalkan pembuangan tersebut. Argumen tentang bagaimana Brent Spar pelampung harus dibuang banyak, tetapi realitas lingkungan dari pilihan hanya memainkan sebagian kecil dari kasus ini yang akhirnya mencapai titik didih.

Apa yang membuat Brent Spar kontroversi menarik adalah isu lingkungan "non-isu" sampai ditinggalkan pelampung penyimpanan minyak diduduki oleh aktivis Greenpeace pada akhir April 1995. Di dalam artikel ini, penulis pertama-tama mencoba menjelaskan sejarah bagaimana kasus ini bisa terjadi di Inggris dan akhirnya menjalar hingga Jerman, Denmark, dan Swedia. Kemudian menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ide-ide dan kesimpulan yang dikemukakan dan dapat diterapkan dalam komunikasi resiko maupun manajemen krisis. Sebagai kesimpulan, dalam artikel ini juga ditarik beberapa kesimpulan umum sehubungan dengan komunikasi risiko. Artikel ini ini bertujuan untuk menjadi contoh kasus yang bisa dipelajari oleh divisi Public Relations perusahaan-perusahaan agar nantinya apabila dihadapkan kasus yang hampir serupa, berupa isu lingkungan, mampu mengambil keputusan terbaik agar mampu menyelesaikan krisis tersebut dan memputarbalikkannya menjadi titik oportuniti yang mampu membuat perusahannya semakin baik.

Penulis dari artikel ini terdiri dari dua orang professor, yaitu Ragnar E. Löfstedt dan Ortwin Renn. Ragnar E. Löfstedt adalah Profesor Manajemen Risiko dan Direktur Pusat King untuk Manajemen Risiko, King College London, Inggris di mana ia mengajar dan melakukan penelitian tentang komunikasi dan manajemen risiko.

Dia telah melakukan penelitian dalam komunikasi dan manajemen risiko di berbagai bidang seperti kebijakan energi terbarukan, isu lingkungan lintas batas (hujan asam dan tenaga nuklir), kesehatan dan keselamatan, telekomunikasi, keamanan hayati, farmasi, dan penentuan tapak pembangunan insinerator, kebijakan bahan bakar, nuklir instalasi limbah dan kereta api. Dia adalah orang percaya dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap regulator dan industri melalui komunikasi risiko proaktif dan berpendapat bahwa kepercayaan regulasi / industri high setara dengan publik dianggap risiko rendah.

Sedangkan Ortwin Renn menjabat sebagai profesor penuh dan Ketua Sosiologi Lingkungan dan Pengkajian Teknologi di Universitas Stuttgart (Jerman). Dia mengarahkan Unit Penelitian Interdisipliner untuk Pemerintahan Risiko dan Pengembangan Teknologi Berkelanjutan (ZIRN) di Universitas Stuttgart dan DIALOGIK perusahaan non-profit, sebuah lembaga penelitian untuk meneliti proses komunikasi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan lingkungan. Renn juga menjabat sebagai Adjunct Professor untuk "Analisis Risiko Terpadu" di Universitas Stavanger (Norwegia) dan sebagai Afiliasi Profesor di Harbin Institute of Technology dan Beijing Normal University.

Di dalam artikel ini, bagian menarik yang bisa kita lihat adalah Löfstedt dan Renn mampu menjelaskan dan mendeskripsikan sejarah terjadinya krisis yang dihadapi Shell dari awal hingga akhir dengan cukup detail. Kronologi dari kasus Shell ini juga mereka tulis dengan jelas, juga menyertai data-data yang akurat untuk semakin memperkuat kredibilitas artikel ini dan mereka untuk menceritakan kembali kasus ini. Bahasa yang digunakan pun cukup jelas dan tidak membingungakan. Löfstedt dan Renn menjelaskan kronologi dari kasus Brent Spar milik Shell sebagai berikut:

Pada awalnya Shell hanya dihadapkan dengan masalah mengena bui mereka yang sudah tidak beroperasi selama 5 tahun. Mereka memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk membat bui yang sudah lama tidak beroperasi tersebut. Sebagai hasilnya, Shell melakukan tidak lebih dari 30 penelitian untuk mencari pemecahan mengenai teknis, keselamatan, dampak lingkungan terhadap pembuangan bui tersebut. Shell pada akhirnya mendapatkan 4 pilihan, yaitu membuang di daratan, menenggelamkan di lokasinya berada, dekomsisi di lokasinya berada, atau membuang ke lautan dalam tetapi di sekitar perairan Inggris.

Shell mempertimbangkan pilihan-pilihan tersebut yang akhirnya memilih peilihan keempat, dikarenakan biaya yang sedikit dan dan dampak lingkungan yang rendah. Membuang bui tersebut ke daratan memerlukan biaya empat kali lebih banyak dan tingkat bahaya yang tinggi kepada karyawan (enam kali lebih tinggi), dan walaupun rendah, memiliki resiko akan mencemari air di sekitar daratan apabila terjadi kebocoran. Akan tetapi sebelum izin pembuangan tersebut turun, Greenpeace sudah menempati Brent Spar pada tanggal 30 April.

Krisis mulai dari sini. Setelah masalah Greenpeace yang muncul di Brent Spar, media mulai memberitakan kontroversi Brent Spar dengan memunculkan gambar aktivitas kanon air di kapal penarik milik Shell. German Environmental and Industrial Ministries memprotes tindakan Inggris karena dianggap tidak melakukan investigasi mendalam mengenai pembuangan di daratan. Selama bulan Mei, Brent Spar terus-menerus menjadi berita utama di berbagai media. Greenpeace juga meminta tanda tangan dari politisi mengenai larangan pembuangan di laut. Mereka juga meminta para konsumen Shell untuk memboikot SPBU milik Shell. Boikot dilakukan di Jerman, Belanda, dan beberapa negara Skadinavia. Greenpeace juga mengadakan survei di Jerman yang menghasilkan bahwa 74% populasi menyetujui terhadap pemboikotan stasiun pengeboran minyak Shell. Pada 23 Mei Shell pada akhirnya mampu memberhentikan aksi-aksi yang dilakukan oleh Greenpeace.

Kontroversi tidak berhenti sampai di situ. Greenpeace memberikan klaim bahwa banyak bahan logam berat dan material organik beracun tinggi yang tidak dipublikasikan kepada publik oleh Shell. Dalam krisis tersebut, Shell hanya sedikit melakukan aksi dukungan terhadap mereka sendiri mengenai pengeboran di laut dalam. Justru malah Pemerintahan Inggris yang melakukan persuasi kepada publik Eropa bahwa pengeboran minyak yang dilakukan oleh Shell tersebut sesuai dengan ketentuan BPEO. Tetapi ternyata argumen tersebut tetaplah tidak diterima dengan baik oleh maasyarakat. Shell Inggris mendapatkan kecaman keras dari Jerman dan Belanda. Citra mereka di pandangan publik menjadi buruk. Hal tersebut telah mengancam menurunnya tingkat penjualan dari Shell itu sendiri.

Bagian kedua yang menarik dari artikal ini adalah Löfstedt dan Renn mampu mengemukakan bukti-bukti dan argumen mengapa Shell terpuruk ketika krisis Brent Spar terjadi dan menjelaskan letak-letak kesalahan komunikasi resiko dan manajemen krisis Shell yang salah. Sehingga pembaca dapat mengetahui apa yang salah dari Shell di dalam kasus ini? Pertama-tama kita harus mengetahui definisi dari krisis itu sendiri. Dalam sehari-hari kita sering mendengar kata ‘krisis’, namun persepsi kata ‘krisis’ tersebut lebih ke pengalaman buruk. Krisis di sini sebenarnya mirip dengan yang sering kita denga sehari-hari namun dengan beberapa karakteristik yang berbeda. Krisis dalam sebuah adalah dimana ketika perusahaan dihadapkan tehadap suatu kasus sehingga perusahaan tersebut harus menjalai masa unik dalam sejarah suatu perusahaan tersebut. Di dalam pembelajaran klasik, Hermann (1963) mengidentifikasikan tiga karakteristik krisis, yaitu surprise, threats, dan short response time. Di dalam artikel ini Löfstedt dan Renn mampu mendeskripsikan saat apa Shell menghadapi titik ketika surprise dan threats itu muncul, disusul dengan short response time yang mereka hadapi.

Dalam kasus ini, surprise yang dihadapi Shell adalah ketika para aktivis dari Greenpeace sudah menempati Brent Spar pada tanggal 30 April. Hal ini tentu sama sekali tidak pernah dibayangkan akan terjadi sebelumnya oleh pihak Shell dan juga foto yang muncuk di media yang bergambar aktivitas kapal air mereka di bui tersebut. Threats yang muncul adalah berupa kebangkrutan yang akan dialami oleh Shell ketika kasus ini terjadi dan hilangnya kepercayaan pelanggan untuk kembali membeli produk-produk dari Shell. Sedangkan short response time yang dihadapi Shell adalah keputusan-keputusan dari Shell yang salah. Karena banyaknya terpaan dari klaim-klain Greenpeace yang menjatuhkan Shell dalam waktu yang hampir bersamaan, Shell hanya memiliki sedikit waktu untuk segera mengambil keputusan, yang sayangnya keputusan yang diambil oleh Shell kurang tepat untuk mampu melepaskannya dari krisis Brent Spar pada saat itu. Sehingga protes dan boikot dari berbagai kalangan tetap berlangsung di berbagai tempat di Eropa.

Di dalam artikel ini Löfstedt dan Renn memberikan argumen kenapa Shell mengalami ketepurukan dan sulit melepaskan diri dari Shell. Pertama adalah letak kesalahan yang terdapat di dua aktor utama dalam kasus ini, yaitu Shell dan pemerintakah Inggris. Di sini kita liat bahwa Shell adalah perusahaan besar dan merupakan perusahaan transnasional, yang dikalahkan oleh Greenpeace, yang diibaratkan oleh media Inggris sebagai pemenang dari demokrasi. Shell terlalu banyak diam dalam kasus ini dan terlambat dalam memberikan counterattack. Selain itu pilihan counterattack yang diambil oleh Shell juga dirasa kurang tepat. Dalam kasus ini Shell tidak menggunakan tenaga ahli di bidang lingkungan untuk membalas klaim-klaim dari Greenpeace.

Untuk meminimalisir krisis yang kemungkinan dapat menjadi besar di masa yang akan datang, perusahaan seperti Shell harusnya menggunakan pendekatan dialog untuk mendalami kasus tersebut. Jadi solusi berasal dari strategi resiprokal, yang terdiri dari publik, kelompok kepentingan, dan tenaga ahli. Dengan menghadirkan ketiga hal diatas, solusi dapat dimunculkan. Mengingat publik mempunyai nilai dan persepsi yang beda mengenai akan suatu hal, dialog membantu untuk menyamakan nilai dan persepsi mereka untuk berfikir secara logis dan rasional.

Kedua, Shell terlihat terlalu serakah dalam kontroversi ini. Shell dihadapkan terhadap pilihan yang dianggap lebih ramah lingkungan, dengan membuang bui Brent Spar di daratan. Hal ini dengan segera membuatnya kehilangan kredibilitaas dari publik, karena publik menganggap berkerja sama dengan BPEO merupakan pilihan yang murahan.

Ketiga, Shell dianggap sebagai sasaran empuk pemboikotan. Para konsumen banyak yang tidak mengetahui bahwa selain BBM, Shell juga merupakan perusahaan yang memegang sektor di bidang kimia. Yang publik tahu hanyalah Shell merupakan perusahaan di sektor BMM. Publik akhirnya terpancing untuk “melakukan tindakan penyelematan lingkungan” tanpa rasa ketidaknyamanan atau perubahan yang signifikan apabila melakukan pemboikotan BMM tersebut.

Keempat, para politisi (dengan pengecualian mereka yang di Inggris dan Norwegia) mengutuk tindakan Shell sebagai salah satu bentuk untuk membangun citra untuk mendapatkan suara dari para publik yang peduli lingkungan. Jerman, Denmark, dan Swedia adalah negara-negara yang menentang pembuangan di laut dalam. Mereka tidak memiliki perusahan minyak milik mereka sendiri, sehingga memprotes tindakan Shell tidak akan mempengaruhi perekonomian mereka. Tindakan ini justru akan memberikan kesempatan kepada para politisi untuk membangun citra mereka yang peduli lingkungan tanpa harus memikirkan biaya yang akan mereka keluarkan.

Terkahir mengenai isu moral, kebersihan laut. Seseorang seharusnya tidak membuang apapun kedalam lautan. Laut haruslah tetap bersih dan tak tersentuh.

Argumen-argumen tersebut sangat mewakili bagaimana seharusnya sebuah perusahaan bertindak ketika menghadapi krisis. Ulmer, Timothy, dan Matthew di dalam bukunya Effective Crisis Communication: Moving From Crisis to Opportunity, terdapat teori yang dapat digunakan oleh sebuah perusahaan ketika sedang menghadapi krisis, terutama jika krisis yang dihadapi mirip dengan kasus Shell seperti contoh kasus di artikel ini.

Teori Corporate Apologia. Apologia disini bukan diartikan sebagai sebuah permintaan maaf, akan tetapi lebih ke tindakan atau respon terhadap kritik atau klaim yang menjatuhkan dan perusahaan tersebut berusaha untuk menarik diri dari tuduhan tersebut. Dalam teori ini krisis terjadi karena adanya tuduhan kesalahan. Hearit dan Courtright (2004) menjelaskan bahwa krisis apologia adalah hasil dari tuduhan yang dilontarkan oleh aktor suatu perusahaan yang berusaha membuktikan bahwa organisasi yang seseorang tersebut serang memang benar bersalah . Aktor yang bermain di sini adalah Shell dan Greenpeace, dimana Greenpeace yang pertama kali melontarkan tuduhan kesalahan yang dilakukan Shell yang akan membuang bui Brent Spar yang dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan lingkungan, sedangkan Brent Spar adalah aktor yang terkena serangan dari Greenpeace dan mencoba bertahan dari tuduhan-tuduhan tersebut.

Corporate Apologia menyediakan daftar jenis srategi komunikasi yang bisa digunakan oleh suatu organisasi untuk merespon dari tuduhan-tuduhan yang dilontarkannya. Strategi komunikasi ini terdiri dari penyangkalan, serangan balik, diferensiasi, permintaan maaf, dan legal. Strategi ini lebih bersifat mempertahankan diri sendiri atau defensif dan didesain terutama untuk memperhitungkan tindakannya setelah krisis selesai. Löfstedt dan Renn menjelaskan sikap Shell yang mengikuti teori ini dimana Shell menggunakan media cetak berupa koran untuk menghantarkan permintaan maafnya kepada masyarakat. Hal ini juga diterima dengan baik oleh masyarakat Eropa. Krisis berlangsung lama dan semakin panas karena Shell terlalu pasif dan tidak bergerak cepat ketika berbagai tuduhan Greenpeace datang menyerang. Shell tidak dengan segera memberikan serangan balik kepada Greenpeace mengenai tuduhan Greenpeace, terutama mengenai kemungkinan kerusakan lingkungan yang akan terjadi apabila Shell membuang bui Brent Spar tersebut di lautan. Löfstedt dan Renn berargumen titik-titik yang mana saja yang dirasa Shell dianggap gagal untuk melakukan serangan balik kepada Greenpeace. Pertama, Shell lebih menerapkan pendekatan top-down daripada pendekatan dialog. Seharusnya dengan melakukan dialog dapat memperkuat strategi komunikasi resiko yang akan dijalankan, mengingat Greenpeace banyak terlibat dalam kasus ini. Kesan top-down membuat kesan bahwa Shell keras kepala dan arogan. Kedua, ketika kasus ini terjadi terlihat bahwa sebenarnya Shell tidak begitu memiliki kepercayaan dari publik, sedangkan Greenpeace memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dari publik. Ini bisa disebabkan karena kurangnya informasi mengenai Shell itu sendiri di masyarakat. Sedangkan Masyarakat lebih mengenal dengan sangat baik terhadap Greenpeace, yang di kepala masyarakat mereka adalah organisasi hijau yang berusaha menjaga lingkungan di bumi tidak rusak. Dalam kasus ini Shell tidak dapat meningkatkan tingkat kepercayaan publik karena informasi yang mereka lontarkan ke masyarakat membingungkan. Beberapa informasi yang dikeluarkan oleh Inggris dan Jerman terbukti berbeda-beda. Shell tidak satu suara, sedangkan Greenpeace satu suara.

Ketiga, Shell tidak dengan segera mencoba menjelaskan dengan lebih rinci mengenai tindakan mereka yang berupa ‘pembuangan di laut dalam’. Sulit untuk melawan pernyataan bahwa menbuang di laut adalah salah. Karena itulah seharusnya untuk membalas tuduhan dari Greenpeace mengenai ini, seharusnya dengan segera Shell melontarkan serangan balik dan memperjelas dimana mereka akan membuang bui Brent Spar tersebut. Keempat, Shell tidak menggunakan ilmuwan yang ahli di bidang kelautan untuk memberikan penjelasan dan informasi mengenai konsekuensi membuang Brent Spar di laut demi membalas klaim yang dibuat oleh Greenpeace. Shell hanya menggunakan Pemerintahan Inggris untuk mencoba bertahan dari tuduhan yang menyerang. Pilihan ini justru malah menimbulkan persepsi di mata masyarakat bahwa Shell adalah perusahaan yang pengecut, dan mencoba berlindung di bawah organisasi bebas, dalam kasus ini yaitu Pemerintahan Inggris, dan yang terkahir adalah mengenai penggunaan media. Greenpeace lebih cepat berinisiatif untuk mengumpulkan media dengan aksi yang cepat. Dominasi Greenpeace terhadap informasi dari jaringan media, setidaknya membuat isu yang diberikan Greenpeace berhasil mempengaruhi publik. Shell terpaksa harus mempertahankan diri dari serangan-serangan media yang pemberitaannya banyak melibatkan Greenpeace. Seharusnya Shell juga dengan gencar harus melakukan komunikasi dialog dan menggunakan media sama cepatnya dengan Greenpeace untuk mempertahankan dirinya.

Suatu perusahaan dan kelompok kepentingan sama-sama memiliki kepentingan. Perusahaan untuk dapat terus berjalan dan menimimalisir suatu krisis seharusnya mendapatkan dukungan bukan hanya dari pemerintahan, tetapi juga dari kelompok kepentingan, para aktivis, hingga publik yang lebih luas lainnya.

Contoh kasus di artikel ini sama baiknya dengan contoh-contoh kasus yang terdapat di buku Ulmer, Timothy, dan Matthew di dalam bukunya Effective Crisis Communication: Moving From Crisis to Opportunity. Para mampu menceritakan ulang, mengidentifikasi, dan berargumen dengan sangat baik mengenai krisis yang terjadi dan bagaimana penyelesaiannya. Penulis mampu dengan seksama dan jeli titik surprise, threats, dan short time response dari kasus yang sedang mereka bahas. Di akhir artikel ini mereka juga berargumen mengenai hal-hal yang seharusnya Shell lakukan untuk melawan Greenpeace. Artikel ini membahas kasus Brent Spar dengan sangat baik dan mudah untuk dimengerti. Runtutan dan cara penulisan mereka sangat rapi, sehingga memudahkan pembaca menyerap dan dan mempelajari contoh kasus ini.

Löfstedt dan Renn dengan sangat baik mampu mengidentifikasi titik-titik kelemahan Shell dan memberikan argumen berdasarkan teori corporate apologia ini. Dirasa bahwa seharusnya Shell perlu dengan cepat membalas tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada mereka. Perlu diingat bahwa latar belakang Löfstedt dan Renn bahwa memang mereka adalah seorang professor yang ahli di bidang komunikasi krisis dan manajemen krisis. Sehingga kredibilitas mereka untuk memberikan argumen terhadap kasus ini dirasa cocok dan sangat baik. Artikel ini juga baik untuk digunakan oleh perusahaan-perusahaan sebagai contoh kasus untuk mempelajari dan mempersiapkan hal-hal strategi kominukasi yang baik agar mampu terlepas dari krisis apabila perusahaan mengalami krisis. Tidak hanya perusahaan, para akademisi yang sedang menempuh pendidikan di bidang Ilmu Komunikasi dan sedang mempelajari mengenai komunikasi krisis dan manajemen krisis, atau untuk para praktisi PR, artikel ini juga dirasa mampu menjadi rujukan pembelajaran dan contoh kasus krisis komunikasi dan manajemen krisis.

Daftar Pustaka

Ulmer, R. R., Sellnow T. L., & Seeger, M, W. (2011). Effective Crisis Communication: Moving From Crisis to Opportunity. Thousand Oaks, CA: Sage.

http://www.kcl.ac.uk/sspp/departments/geography/people/academic/lofstedt/index.aspx

http://idrc.info/pages_new.php/Ortwin-Renn/969/1/831/927/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun