Mohon tunggu...
Arif Budi Utomo
Arif Budi Utomo Mohon Tunggu... Konsultan, Trainner, Therapis, Founder MoIS, Pemerhati Kesadaran -

Menyadari kekurangan, menyadari kekosongan, bersiap untuk mengisi. Menuliskannya kembali dari sebelah kanan. Semoga dalam ridho-Nya. Selengkapnya..di \r\n\r\nhttp://pondokcinde.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Meraih Khusuk, Meditasi Islam Tertinggi

3 Maret 2013   00:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:25 1600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dimanakah batasnya patah hati ?.

Aku ingin segera menepi.

Dimanakah batasnya sepi, aku ingin segera lalui.

Dipuncak bukit yang terjal dimakan api ada hati yang mati.

Diatas  gelombang luas laut samudra ada hati yang sepi.

Dambaan hati tiada bertepi. (By Bimbo)

Sepenggal bait syair yang nyaris terlupa dari sebuah lagu Bimbo, seakan mengusik lagi renungan kali ini. Sebuah lagu saat mana dahulu sering dinyanyikan jika diri terlangut dalam kedukaan. Begitu terasa sekali rahsa itu, seakan menyelimuti seluruh sistem ketubuhan dan jiwa larut dalam kehampaan duka yang dalam. Beryanyi, bersanandung, mengiris hati, seakan tiada lagi hari selain meratapi, curahan hati yang tiada gaungnya lagi. Duh, perih kenapakah menghujam terlalu dalam ?.

Kini jauh sudah waktu menembus, seperti sebuah lembar kertas yang dibalik, kisah itu berlalu. Lembaran baru menampilkan cerita baru. Rahsa baru lainnya mengharu biru. Namun kesadaran sedikit mulai mengenali sebuah keadaan hal, yang bila dicermati, menimbulkan sensasi yang aneh. Lha, kok jiwa ingin kembali kepada keadaan saat mana, yaitu keadaan waktu itu,  suasana saat dirinya kala itu  menahan kerinduan dan kesepian seperti itu ?. Saat sekarang ini kita rahsanya ingin kembali mengulang masa-masa lalu. Seakan keadaan sepi yang melangut adalah kenikmatan yang ingin dirasakan kembali.  Kenapa jadi begitu ?. Perhatikanlah, bukankah keadaan ini menjadi sebuah fenomena jiwa yang paradoksal ?.

Setelah rahsa terlewati ternyata kita merindukan rahsa itu kembali. Meski rahsa kerinduan dan kesepian itu kelihatannya nyaris saja mau membunuh dirinya. Ada sesuatu yang meliputi rahsa itu yang menimbulkan sensasi aneh yang menyebabkan kerinduan itu. Mari perlahan kita amati, kita eksplorasi rahsa apakah itu ?. Yah, benar. Rahsa KHUSUK yang meliputi keadaan jiwa  saat itulah yang menyebabkan sensasi tersendiri. Dan kemudian diwaktu jauh kedepan setelahnya nanti akan menimbulkan keinginan jiwa agar rahsa tersebut terulang kembali.

Pada saat kita ditimpa kerinduan dan kesepian, maka diri kita menjadi khusuk. Khusuk dalam rahsa kesepian dan kerinduan. Khusuk diliputi rahsa kesepian itu sendiri. Khusuk diliputi rahsa kerinduan itu sendiri. Aneh bukan ?. Mari perhatikan bekerjanya, saat seperti itu, objek  berfikir kita ternyata sangat  fokus. Fokus kepada masalah-masalah yang menimpa diri kita. Yaitu fokus kepada kekasih hati kita. Perhatikanlah, saat kita fokus instrumen ketubuhan kita merespon dengan luar biasa. Sehingga rahsa kesepian dan kerinduan dengan cepat  akan mengisi sel-sel ketubuhan kita, dan segera menguasai akal dan jiwa kita. Kita menjadi mudah khusuk !. Wow..!.

Kita KHUSUK dalam kesepian dan dalam kerinduan yang dalam. Sensasi rahsa khusuk itulah yang kemudian menyebabkan diri kita seakan merindukan keadaan suasana  dimana diri kita diliputi rahsa kesepian dan kerinduan. Meskipun kita tahu bahwa keadaan tersebut kala itu benar-benar tidak kita suka.   Marilah perlahan kita eksplorasi. Saat objek berfikir kita kepada kekasih hati, maka kita menjadi fokus kepada sang kekasih. Ketika kita fokus kepada kekasih maka diri kita menjadi sangat sensisitf sekali. segala gerak dan ucap kekasih hati akan banyak dimaknai.  Dan juga disalah arti. Seluruh sistem ketubuhan kita merespon dengan cepat. Kita mejadi begitu mudahnya diliputi suatu rahsa tertentu jika berurusan dan berkaitan dengan kekasih.

Sepi, rindu, benci, kecewa, marah, luka, dan lain sebagainya. Rahsa-rahsa yang mengharu biru tersebut begitu mudahnya mengusasi jiwa kita. Hingga tanpa disadari kita mencapai keadaan khusuk itu sendiri. Kita khusuk disitu, tidak memperhatikan lainnya. Masalah-malsalah lainnya seakan-akan tidak ada. Yang ada hanya antara dirinya dan dia saja. Kita dalam diam yang lama dalam keadaan begitu. Jiwa dalam lembam yang khusuk disitu.  Jiwa didalam kesepian yang terlalu, rindu yang terlalu, dan lain-lainnya. Tanpa kita sadari kita telah belajar meditasi tertinggi. Dari sinilah ilustrasi perihal khusuk dibangun. Keadaan hal  yang sulit dibahasakan yaitu KHUSUK.  Karena keadaan inilah, orang yang tidak pernah mengalami secara langsung keadaan tersebut akan sulit untuk memahami keadaan khusuk itu sendiri.

Berdasarkan ilustrasi diatas, bagaimana ceritanya jika objek berfkir kita sang kekasih, kemudian kita alihkan kepada ALLAH. Apakah kita akan mengalami sensasi yang sama ?. Meskinya begitu, bahkan kita akan megalami ribuan kali lebih dahsyat dari itu.  Sensasi rahsa yang tidak ada duanya di dunia ini.  Kalau begitu nyatanya rahsa khusuk hakekatnya sudah sering diajarkan Allah kepada diri kita. Saat duduk ingat DIA, saat berjalan ingat DIA, saaat makan ingat DIA, saat tidur ingat DIA. Saat manapun keadaan diri kita sedang dalam menuju kepada-NYA. Kita semua akan kembali kepada-NYA. Inilah hakekat khusuk.

Dalam Liputan Khusuk

Pernahkah terlintas untuk mengamati ritme ketubuhan kita setiap hari ?. Mari kita perhatikan saja.  Bangun tidur, tidur lagi. Bangun lagi,  tidur lagi. Pagi kerja, malam pulang. Malam pulang, pagi kerja. Kerja dan kerja  lagi. Pulang dan pulang lagi.  Perhatikan saja aktiftas di kantor, sampai dikantor duduk buka email, dsb dsb. Selalu hal yang nyaris sama saja yang ita lakukan. Mulai aktifitas kerja, kita ulang lagi dan ulangi lagi pekerjaan yang sama sepanjang hari. Dari waktu ke waktu itu, dan itu lagi. Mengurusi hal yang sama sepanjang tahun. Bukankah begitu ?. Itu lagi, itu lagi. Makan dan  makan lagi. Pernahkah terlintas dalam benak kita bahwasanya memang  hanya itu saja realitas raga ?.

Namun mari coba perhatikan dengan keadaan jiwa kita. Setiap hari ada saja rahsa baru yang menyelinap diantara aktifitas yang sama. Seperti disusupkan begitu saja. Rahsa marah, sedih, kecewa, bisa saja berganti disepanjang hari. Rahsa senang, puas, nyaman, bisa saja berguliran diantara hari-hari yang kita lalui. Dengan pekerjaan yang sama yang kita lakukan nyatanya tidaklah sama rahsanya disetiap keadaan, disepanjang hari yang kita lewati. Begitulah keadaan diri kta. Maka saat itu, keadaan jiwa menjadi realitas sesungguhnya, bukan lagi pekerjaannya. Bukan aktifitas raga yang nampak di mata.

Sekali lagi. Begitu mencekam dan mengusainya rahsa-rahsa yang menyelimuti diri kita. Jika rahsa marah datang maka pekerjaan kita menjadi tidak karuan, siapa saja akan mendapat semprotan. Jika rahsa nelangsa datang maka pekerjaan menjadi tak bermakna jadinya.  Jika sudah begini keadaannya maka realitas raga menjadi tidak bermakna apa-apa. Rahsa di jiwa yang menjadi realitas yang kita rasakan saat itu. Rahsa sedih, kecewa, gundah-gulana lah yang merajai hari-hari kita. Apa yang sudah dicapai raga, yang dilakukan raga, menjadi tidak berarti apa-apa, tak bermakna. Rahsanya semua sia-sia. Sungguh itulah realitasnya. Kita sudah tak peduli bagaimana raga kita menderita karenanya. (Mengapa begitu ?).

Begitulah keadaannya, jika kita mau mengamati sejenak keadaan diri kita. Coba bandingkan juga ketika kita diselimuti rahsa tenang, rahsa khusuk (kepastian), rahsa semangat kerja. Dan rahsa-rahsa positip lainnya, bahagia, senang, puas, yakin dll. Keadaan instrumen ketubuhan kita seperti secara otomatis bersinergi. Maka kita menjadi fokus kepada pekerjaan. Kesulitan apapun menjadi seperti mudah. Kita seperti selalu mendapat darah baru di setiap harinya. Meskipun kita berangkat berpagi-pagi, bersama ribuan orang lainnya di jalan raya, keadaan kita seperti ringan saja, melalui semua perjalanan itu, dengan suka. Dan sampai di kantorpun tetap semangat adanya. Dunia seperti serasa indah, penuh romansa. Menapaki hidup dengan berani. Seperti itulah yang dimaksud dengan keadaan ‘khusuk’.  Maka dalam meditasi Islam, KHUSUK menjadi puncak spiritualitas tertinggi.

Bagaimanakah kita mendapatkan keadaan khusuk ?. Marilah kita eksplorasi. Perhatikanlah ilustrasi ini. Jika kita mendapatkan khabar bahwa bulan ini kita tidak gajian, perusahaan tidak mampu menggaji kita, tidak ada kepastian kapan kita gajian. Apakah yang terjadi ?.  Kita bekerja menjadi tidak tenang, kita selalu was-was, bagaimana nanti kita akan makan, dan seterusnya. Jiwa kita akan selalu diliputi perasaan yang gundah, kita menjadi tidak fokus. Dengan kata lainnya, kita tidak khusuk.

Tapi sebaliknya jika kita kemudian mendapatkan khabar adanya KEPASTIAN bahwa bulan depan akan gajian, bahkan dua kali lipat. Dan kesadaran kita juga meyakininya. Coba perhatikan bagaimanakah keadaan jiwa kita ?. Maka kita menjadi tenang, lega, selanjutnya kembali bekerja dengan semangat, gembira, dan fokus. Dengan kata lain kita menjadi KHUSUK dalam bekerja. Adanya kepastian dan keyakinan dalam kesadaran kita nyatanya akan mampu melahirkan rahsa KHUSUK dalam bekerja.

Perhatikanlah, saat kita memiliki informasi dan  objek berfikir yang benar yang selaras dengan pemahaman dan persepsi kita maka kita menjadi tenang dan mampu khusuk dalam bekerja. Sebagaimana ilustrasi diatas. Semua seperti berpilin-pilin menyelusup kepada kesadaran kita. Jika masalah gaji berhenti, kemudian menyusul masalah dengan atasan, dengan kakak, dengan teman kantor, dan lain-lainnya. Seluruhnya bekerja dengan cara yang sama. Maka bagaimanakah rahsanya jika kita selalu bergelut dengan keadaan seperti itu. Meski kita melalui realitas raga yang itu-itu saja. Namun jangan tanya bagaiamana keadaan jiwa. Seperti kapal pecah keadaannya. Itulah diri kita. Jika kita arahkan objek berfikir kita kepada selain ALLAH. Gaji, atasan, teman, kekasih, jabatan, dan lain-lainnya. Itulah objek berfikir kita manusia urban. Maka kita lelah disini.

Masih banyak yang ingin disampaikan, masih perlu dikaji dengan teliti, membuka hijab hati. Sayang terlalu panjang jika disini. Maka ikutilah kajiannya di pondokcinde.blogspot.com.

Dimanakah batasnya patah hati ?. Aku ingin segera menepi. Dimanakah batasnya sepi, aku ingin segera lalui. Dipuncak bukit yang terjal dimakan api ada hati yang mati.Diatas  gelombang luas laut samudra ada hati yang sepi. Dambaan hati tiada bertepi. (By Bimbo)

Dan gundah hati siapakah yang mau mengerti ?.

Kepada kekasih siapakah kita tambatkan  hati ?.

Kepada Allah ataukah selain Allah ?.

Maka dengan ini mestinya kita sadari,

mengapakah keadaan jiwa kita selalu begini.

???

salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun