Mohon tunggu...
Arie Yanitra
Arie Yanitra Mohon Tunggu... -

Selalu Belajar Menjadi Manusia Merupakan Peranan Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Protestan Katalisator Paham Kapitalis? Apa Hubungannya dengan Indonesia?

20 Desember 2010   03:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:34 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

I. Pengantar singkat, Korelasi antara Gerakan Reformasi dengan Masyarakat Dunia

Pada abad ke 16, Bapak reformator Kristen [Protestan] Martin Luther membuat gebrakan terbesar dalam sejarah pergerakan-agama di dalam internal gereja-Katholik. Agenda substansi reformatisasinya, menurut analisis-sosial membawa beberapa implikasi positif terhadap Eropa, yaitu: (1) restorasi [pemulihan] masyarakat Eropa kepada peradaban kebebasan berpikir (baca. jaman pencerahan), (2) Penyadaran kembali hakekat hubungan antara gereja Katholik (baca: sebagai lembaga) dengan masyarakat Eropa, (3) Manifesto reformasi Luther menyebabkan terbukanya proses sekularisme di Eropa, (4) Terbukanya pemaknaan kembali kepada sejarah kebudayaan Eropa (khususnya konteks peradaban Helenisme yang berpengaruh pada masyarakat Eropa).[1] Tradisi homogenisme [penyeragaman dalam bidang agama yang sekaligus menghegemoni kondisi sosio-politik, sosio-ekonomi, dan sosio-religius] model gereja Roma Katholik akhirnya mencapai akhir kejayaan setelah masyarakat Eropa secara bertahap mulai melakukan retorsi [perlawanan balik] kepada setiap kebijakan yang mengekang.

Tindakan perlawanan reformasi ini pada mulanya didasarkan kepada sikap-kebencian terhadap kemunafikan para pemuka agama yang bersikap seolah-olah 'suci', sehingga tidak heran akhirnya masyarakat Eropa pada waktu itu [sampai sekarang dalam konteks abad 21] secara bertahap melahirkan keputusan-tidak seimbang yang 'membedakan' bahkan cenderung melakukan segregasi [pengisolasian] antara kebijakan agama [mis: ilmu teologi, institusionalisme lembaga agama, dogmatika, dstnya] dengan peradaban manusia [khususnya pemaknaan terhadap kebebasan asasi, mis: humanisme, antroposentrisme, liberalisme, dll].

Singkat cerita, berdasarkan sejarah ternyata suka/tidak suka sejarah ekspansi Eropa (baca. Bersamaan dengan kolonialisme) akhirnya juga ikut membawa implikasi korelasi antara gerakan-Reformasi dengan masyarakat dunia [khususnya semenjak era-kolonialisme hingga era-globalisasi].[2] Inilah tahapan awal bagi pembaca untuk mengetahui dasar pemikiran penulisan paper, bahwa: "Gerakan Reformasi ternyata berhubungan bahkan mempunyai dampak dengan sebab-akibat [positif dan negatif] terhadap kondisi sosial-dunia yang berproses pada saat ini."

II. Segmentasi [Pembelahan diri] pemikiran Reformasi

Di dunia modern setiap orang berpikir untuk mencapai keinginan materi, pemikiran ini seringkali tidak disadari sebagai akibat pereduksian ekspresi manusia (baca. Konteks Eropa) yang hampir selama (kurang/lebih) 400 tahun (mulai abad 12-16) dikekang oleh ritualisme keagamaan gereja Katholik yang menyita aspek kebebasan disemua lini [mulai dari sosio-politik, sosio-ekonomi, sains, pemikiran, dll]. Semangat inilah yang membawa orang-orang Eropa mengembangkan diri bahkan dapat dikatakan berkembang dengan membelah diri dengan pemikiran-pemikiran dan gaya hidup yang baru. Baru, dalam pengertian kita dapat melihat dengan jelas, yaitu: (1) ilmu pengetahuan berkembang (mis: penemuan teknologi, penemuan benua-benua baru, penemuan obat-obatan, dstnya), (2) perkembangan pemikiran filsafat yang menghasilkan beberapa tokoh dan pola-pikirnya yang mempengaruhi cara-pandang manusia terhadap dunia sosial, mis: humanisme (contoh: David hume dan Immanuel Kant), kapitalisme (contoh: Adam Smith dengan teori 'pasar'-nya), sosialisme (contoh: Karl Mark), komunisme (contoh: Lenin), liberalisme dengan lahirnya The Bill of Rights di Inggris (1688), dan Revolusi Prancis (1789), dstnya.

Sifat Ontologis (masyarakat Eropa) tersebut menjadi dasar lahirnya epistemologi-modern (pasca reformasi) untuk menyelidiki hakikat kehidupan manusia di dunia. Analisa penalaran sejarah ini, penulis pandang cukup untuk menghipotesa bahwa: "Sikap dan sifat keingintahuan masyarakat Eropa mendorong eksplorasi pengembangan hal-hal baru (mencakup dunia sosial, teknologi, pemikiran, dstnya) sebagai hakikat katalisator dasar."[3] Sikap dan sifat tersebut akhirnya juga mendorong lompatan besar pada tatanan masyarakat Eropa, peralihan kepada proses-reformasi sosial yang akhirnya melahirkan beberapa pemahaman baru yang menggegerkan dunia. Salah-satunya yaitu sebuah konsep pemahaman baru yang disebut Kapitalisme.

III. Pemahaman dasar Kapitalisme secara singkat

Menurut saya, ada tiga-ciri yang dapat membantu kita memahami konteks berkembangnya paham kapitalis, yaitu: [1] Kelas, [2] Industrialisasi, [3] Perubahan Sosial. [1] Kelas dalam pengertian positif, kurang-lebih mempunyai dua fase dasar antropologi (baca. Masyarakat Tribal): (a) 'Kelas di internal-keluarga'. Pada dasarnya Kelas hakikat mulanya diciptakan sebagai tatanan yang mendorong anggota keluarga melakukan fungsi pekerjaan rumah sesuai dengan tanggung jawabnya [ouikos]. (b) 'Kelas di masyarakat' untuk mengatur agar tidak terjadi kekacauan-tanggung jawab diantara para-keluarga, Secara produktifitas, ekonomi pada mulanya difokuskan kepada pertanian dan peternakan yang dilakukan agar kebutuhan primer (khususnya sandang-pangan) agar tetap dapat terjaga. [2] Hal yang mengubah sejarah-peradaban manusia di dunia adalah revolusi-industri yang menghasilkan industrialisasi secara masif (besar-besaran). Secara positif masyarakat Eropa melakukan penemuan dalam hal teknologi yang mendorong mereka, memodernisasi cara berproduksi, [3] Perubahan sosial. Industrialisasi akhirnya menumbuhkan kesadaran untuk mengembangkan aturan-baru dalam mengorganisir struktur fungsi-sosial kemasyarakatan (tuan tanah-budak menjadi majikan-buruh).[4] Langkah selanjutnya yang menjadi pertanyaan: "Apakah ketiga hal tersebut dapat menunjukkan kepada pembaca pada paham kapitalis? Menurut Max Webber, kita harus hati-hati mempergunakan terminologi istilah identifikasi-kapitalisme yang identik dengan sikap rakus. Max Webber mengatakan bahwa:

Sikap rakus yang tidak terbatas karena belum memperoleh keuntungan tidaklah identik sedikitpun dengan kapitalisme, dan malahan bukan semangatnya. Kapitalisme bahkan mungkin identik dengan pengendalian atau pengekangan, atau setidak-tidaknya identik dengan suatu watak rasional, dari sesuatu keinginan-keinginan rasional. Akan tetapi kapitalisme secara pasti identik dengan pencarian keuntungan (profit, dan keuntungan yang dapat diperbaharui untuk semuanya dengan usaha-usaha kapitalistis yang rasional dan yang dilakukan secara terus menerus. Karena memang demikian seharusnya; dalam suatu tatanan masyarakat kapitalistis secara keseluruhan, suatu usaha kapitalistis individual yang tidak memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengambil keuntungan pasti akan mengalami malapetaka, yaitu kehancuran.[5]

Secara sistematis bahwa pola-kapitalistis masyarakat industri dalam paham kapitalisme, menunjukkan sisi-positif untuk memperoleh keuntungan secara damai demi distribusi-profit yang berakibat terjadinya sebuah keseimbangan-neraca. Jadi dorongan memperoleh 'pendapatan' lebih didasarkan pada perhitungan rasional untuk mempersiapkan 'keadaan ketika terjadi kesukaran'.[6]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun