Mohon tunggu...
Arie Yanitra
Arie Yanitra Mohon Tunggu... -

Selalu Belajar Menjadi Manusia Merupakan Peranan Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konsep Kekuasaan Gereja: Konteks Gereja Barat

19 Juli 2011   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:33 2182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Arie Yanitra Hartanto[1]

Rentang waktu yang lama antara tumbangnya kerajaan Romawi dan lahirnya negara nasional modern disebut sebagai jaman pertengahan. Pada pendahuluan buku A History of Medieval Political Thought 300-1450 yang ditulis oleh Joseph Canning menunjukkan betapa kompleksnya dua kekuasaan [Gereja dan Negara] yang menjadi satu tetapi sebenarnya berbeda.[2] Carlton Clymer Rodee berpendapat selama abad pertengahan, negara menjadi kurang penting dibanding Gereja, yang bisa memaksakan kekuasaannya pada raja dan memecat para pangeran dan mengatur kebijakan umum. Ilmu filsafat (termasuk filsafat politik) diposisikan dibawah teologi; pertentangan politik biasanya diselesaikan melalui himbauan yang berkuasa, yaitu tulisan-tulisan keagamaan daripada pertimbangan empirik ataupun praktis.[3]

Untuk dapat melacak lahirnya konsep kekuasaan Gereja mungkin sebaiknya kita terlebih dahulu harus melihat periodik sejarah, ajaran, dan tradisi kekristenan perdana. Sebenarnya dalam ajaran dan tradisi kekristenan perdana tidak ada kejelasan apakah sekte baru yang lahir dari Judaisme tersebut mengikuti pola kekuasaan model Perjanjian Lama ataukah mempunyai pola tersendiri. Menurut Andreas A. Yewangoes secara umum terdapat istilah kuasa di dalam Alkitab dikenal sebagai eksousia dan dunamis. Eksouasia adalah kekuasaan yang dicangkokkan dari "luar", sedangkan dunamis adalah kekuasaan yang berasal dari "dalam", yang bersifat menggerakkan.[4] Namun sebuah studi teologi alkitabiah [hermeneutik] mengenai kuasa yang ditulis oleh Hans-Ruedi Weber mengisyaratkan tidak adanya kejelasan korelasi antar sistem yang berkembang antara Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Pendapatnya yang mengungkapkan [istilah kuasa] di dalam bahasa Alkitab, setiap konteks teks baik Ibrani maupun Yunani, banyak istilah yang berbeda-beda digunakan untuk berbagai manifestasi kekuasaan.[5]

Untuk melacak konsep kekuasaan Gereja, saya tidak ingin terjebak kerumitan dalam pelacakan sumber teks ataupun interpretasi teks walaupun mungkin itu bisa menjadi pertimbangan bagi para penulis lain yang ingin melengkapi pengetahuan tentang terbentuknya pola kekuasaan Gereja atas dasar metode tersebut. Dalam bukunya The Infability of The Church, George D. Salmon memberikan komentar mengenai sumber/pembuktian kebenaran Gereja yang sangat kompleks dalam membela pandangan dan doktrin-doktin Gereja. Gereja selalu menolak mengatakan bahwa ajaran yang berkembang hanya berdasarkan tradisi namun disisi lain Gereja mengklaim bahwa pertimbangan dan keputusan yang lahir selalu berdasarkan alkitab, dan sebaliknya.[6] Pemisahan keduanya ataupun kesatuan antara tradisi dan alkitab jika diselidiki memang tidak begitu jelas. Apakah hal-hal tersebut menghasilkan pemikiran dan keputusan Gerejawi termasuk pengakuan ketidakbersalahan Gereja dalam merumuskan suatu hal -termasuk konsep kekuasaan dan cara mereka berkuasa-.

Ada baiknya kita meninggalkan sejenak kerumitan pembahasan studi hermeneutik, tradisi dan ajaran Gereja. Untuk mencari kejelasan sejarah konsep kekuasaan Gereja dan berpikir dalam kerangka sistematis, saya membagi empat periode sejarah terbentuknya konsep kekuasaan Gereja, sampai tahun 1450.

[A] Periode 33 M- 430

Sejarah mencatat ketika kerajaan Romawi menjadi semakin despotik dan secara perlahan menemui ajalnya, sebuah kekuatan keagamaan baru lahir dari timur. Kemunduran kekaisaran Romawi juga dipenuhi dengan kenyataan politik bahwa pergantian kekuasaan hampir sebagian besar terkait kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di lingkaran kekuasaan. Antara 180-224 M [Masehi], tercatat ada + 22 kaisar bergantian memimpin. Menjelang akhir abad 3, agama baru tersebut berangsur-angsur menyebar ke kalangan Romawi. Agama baru tersebut dengan dikenal sebagai agama Kristen, pendirinya bernama Yesus dari Nazareth dimana para pengikutnya secara bertahap menyebarkan pengaruh kepada kekaisaran Romawi. Seiring berjalannya waktu, para pengikut Kristus ini menolak ide bahwa kesetiaan politik berarti sejalan dengan agama, mereka menolak menjadi warga yang patuh total kepada kekaisaran dan kaisar kecuali kepada agama mereka.

Meskipun pertama-tama ditoleransi oleh pemerintah Romawi sebagai salah satu sekte agama, orang-orang Kristen kemudian menjadi sasaran penyiksaan karena penolakan mereka terhadap otoritas kaisar. Konsep kekuasaan pemerintahan Romawi tidak dapat diterapkan secara serta merta terhadap sekte baru tersebut misalnya: ide tentang penyembahan kepada kaisar ditolak mentah-mentah oleh komunitas ini. Pertentangan antara Gereja dengan kekaisaran Romawi semakin meruncing ketika para pemimpin sekte ini perlahan-lahan mulai mencapai titik radikal, misalnya Tertullianus (195-220 M).[7] Darah pemeluk Kristen yang tertumpah tidak pernah menyurutkan mereka dalam membela kepercayaannya. Para martir[8] yang bermunculan dalam agama ini menjadi bukti otoritas dan kekuatan Gereja dalam menghadapi kebrutalan para penguasa Romawi yang memusuhi mereka. Namun demikian keberuntungan menyertai agama baru ini. Kaisar Diocletianus[9] yang mengundurkan diri secara tiba-tiba menimbulkan kekacauan besar, dimana enam orang memperebutkan posisi sebagai penggantinya. Yang memenangkan persaingan itu adalah Konstantinus. Di tahun 313, Konstantinus memproklamasikan pengakuan resmi terhadap agama Kristen lewat "Maklumat/Edik Milan." Kaisar Romawi baru tersebut memiliki pemikiran untuk merangkul orang Kristen, bukannya untuk menindas mereka, dan bersama-sama membangun kekaisaran Romawi. Dengan keputusan kaisar Konstantinus tersebut maka agama ini mendapat pengakuan resmi. Kemudian, ketika paganisme secara legal dibatasi, secara perlahan agama Kristen menjadi agama resmi dan eksklusif kekaisaran.[10] Bahkan di tahun 324 setelah Konstantinus mengalahkan musuh terakhirnya Licinius, Gereja mendapatkan kebijakan mengenai hak dan keuntungan oleh negara, misalnya: hak menerima warisan, sokongan bantuan pembangunan gedung-gedung Gereja, undang-undang penyucian hari Sabat.

Tahun 380 adalah hari penting bagi umat Kristen dimana Gereja diresmikan sebagai Gereja-Negara oleh kaisar Theodosius Agung.[11] Pertentangan lama untuk sementara diakhiri, tetapi problem menentukan watak dan karakter dari hubungan yang ditimbulkan, suatu bentuk konsep kekuasaan baru yang bemanifestasi dalam sistem pemerintahan sekarang mulai muncul. Konsep kekuasaan tersebut adalah pengakuan terhadap dua bentuk masyarakat, masyarakat agama dan politik yang sekarang berdiri dalam wilayah hukum yang sama.[12]

[B] Periode 430-1000

Pada tahun 410, kekaisaran Romawi yang sangat besar, yang dikira akan jaya selamanya tumbang. Kerajaan yang tetap berdiri dan sementara waktu dapat menghindari migrasi bangsa nomaden hanyalah wilayah bagian timur yaitu Byzantum dengan Konstantinopel sebagai pusatnya, sedangkan Italia yang berada dalam kekaisaran Romawi Barat berangsur-angsur melemah. Serangan bangsa Alaric dan Goth yang barbar merampok dan merampas Roma membuat kekaisaran Romawi Barat dan Gereja menjadi 'pesakitan'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun