Mohon tunggu...
Arie Yanitra
Arie Yanitra Mohon Tunggu... -

Selalu Belajar Menjadi Manusia Merupakan Peranan Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aspek Pluralisme dalam Penghayatan Agama Kristen: Sebuah Tinjauan Kritis

20 Desember 2010   05:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:34 3026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengantar

Membangun Pluralisme merupakan imbauan di tengah-tengah kemajemukan merupakan seruan mulia bagi terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang saling mengerti bahwa pada hakekatnya mereka merupakan kesatuan dalam kepelbagaian. Esensi imbauan itu nampak dari setiap pendidikan yang diterima oleh penulis, baik eksplisit maupun emplisit. Penulis memahami bahwa peristiwa-peristiwa dengan tema pluralisme memang sengaja diangkat agar golongan minoritas dapat terlindungi dari kesewenang-wenangan. Dekadensi moral penghargaan khususnya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Bhineka Tunggal Ika memang sudah lama terjadi bahwa: “Gereja sering dijadikan ‘kelinci percobaan’ untuk memancing isu-isu sosio-politis mengenai SARA (Suku, Agama dan Ras).”

Penghayatan Agama Kristen (mainstream) dalam sejarah memang selalu dikaitkan dengan zending Belanda yang berbau asing. Ketika perjuangan kemerdekaan berlangsung banyak orang-orang Kristen yang terlibat menjadi para pejuang Republik, walaupun ada juga sebagian besar yang masih memihak Belanda. Akan tetapi hal tersebut tidak serta merta menampik-kan golongan Kristen (mainstream) untuk mempunyai peranan penting dalam masyarakat baik secara sosial, politik, maupun ekonomi.

Untuk memahami aspek pluralisme lebih baik, kita menyadari beberapa hal yang menjadi isu penting: bahwa aspek pluralisme yang berkembang untuk menghargai perbedaan maknanya hampir sama dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang telah lama ada di bumi nusantara. Kearifan dan tradisi toleransi tonggak bangunnya adalah ketika perpaduan akulturasi diantara Budha dan Hindu pada jaman Majapahit. Celakanya bukan permasalahan saling menghargai yang menjadi aspek yang harus disoroti. Namun justru bagaimana pemahaman penghayatan agama Kristen (mainstream) dirasakan semakin luntur dari hari ke hari.

Identitas Keagamaan dan penghayatan dengan dekonstruksi pemahaman umat dengan alasan pluralisme justru muncul sebagai polemik yang dirasakan penulis sebagai sesuatu yang kurang menunjang dalam hidup berkomunitas dlam tubuh internal. Mengapa demikian? Pertama hal yang harus ditelaah ulang adalah mengapa nilai-nilai toleransi muncul juga dengan mendekonstruksi pemahaman dan kadangkala sering bercampur dengan pengecilan nilai akan keselamatan Kristus. Kedua, mengapa nilai batasan tegas ‘bantuan’ tapal batas ajaran seringkali disepelekan sehingga dalam berteologi kita juga sering memaksakan kepada umat sebagai bahan percobaan bagi terwujudnya keberagaman tetapi disisi lain kita juga ikut andil dalam menyusutnya jumlah umat secara kuantitas.

Untuk menjawab itu semua kita harus betul-betul kritis sebenarnya apakah Pluralisme yang bersalah (Pluralisme sebagai objek) atau Subjek yang menggotong pemahaman tersebut yang tidak mengetahui makna sebenarnya tentang kepelbagaian. Inilah yang akan coba di bahas oleh penulis.

Esensi Pluralisme dan perbandingan mengenai kepelbagaian dalam aspek Bhineka

Dalam aspek kebudayaan hubungan timbal-balik menjadi sesuatu yang wajar. Persinggungan selalu menghasilkan hubungan dialogis. Dalam ilmu antropologi, kebudayaan berfungsi sebagai tata hidup (way of the life), dalam pengertian kelakuan.[1] Menurut antropologi, agama sebagai salah satu sub-kebudayaan juga memiliki fungsi tersebut. Proses interaksi antar umat-beragama dalam pengembangan toleransi memang sering menjadi tolak ukur dalam kehidupan yang majemuk. Proses tersebut diharapkan dapat mendorong terwujudnya lingkungan yang harmonis atau selaras dengan keinginan masyarakat dalam kondisi sosial yaitu ketentraman. Dalam krisis multi-dimensional, pengaruh asing (khususnya Barat) seringkali dianggap menjadi biang keladi kekacauan yang terjadi pada bangsa Indonesia. Pertimbangan nilai-logisme tentang ke-knees-an pilihan kata plural kadangkala juga menjadi pertimbangan para pengusung paham tersebut. Di Indonesia kata bhineka walaupun diserap dari bahasa Sansekerta, justru lebih mudah dipahami dibandingkan kata plural yang pada hakekatnya jika ditelusuri masih memilikiarti yang sama.

Paradigma dan wacana pluralisme semenjak era tahun 80-an yang telah diserukan kini menjadi sesuatu yang dipertentangkan. Khususnya oleh sebagian besar golongan fundamental[2] Kristen maupun Islam di Indonesia. Mereka secara kritis mempertanyakan: apakah perbedaan juga berarti merupakan sesuatu yang harus dihilangkan. Sebab silogis dari pluralisme kadangkala memaksakan semua nilai baik seperti tentang ajaran, khususnya yang dasar (termasuk nilai keselamatan) juga di reinterpretasi kembali. Polemik ini muncul sebagai reaksi atas pandangan teologis dengan memakai kontra-isu bahwa tingkatan tertinggi manusia yang paling hakiki adalah Tuhan dan bukannya agama.

Tentu saja teori ini ini harus dipertanyakan ke-ansich-annya. Secara kultural ketika pandangan Barat ini tiba di Indonesia, mereka melupakan bahwa agama dianggap bukan semata-mata sebagai sekedar KTP (Kartu Tanda Penduduk) oleh sebagian besar masyarakat nusantara. Agama dalam penghayatannya di Indonesia muncul juga sebagai tata hidup, bahkan yang terlebih penting lagi telah melebur menjadi sebuah identitas baru yang menyatukan. Dalam keberagaman manusia dalam identitas kadang-kala kita harus mereproduksi konstruksi-berpikir yang tepat bagi situasi dan kondisi masyarakat. Memantapkan pluralisme, tentu saja harus menjelaskan aspek dan fokus target yang ingin dituju. Inilah yang harus kita tinjau apa tujuan akhir (goal) dari pluralisme. Apakah cara pandang plural ini mencapai titik yang mendewasakan atau justru ajaran ini bersifat mendekonstruksi identitas sehingga mendapatkan perlawanan dari pihak fundamental. Memulihkan esensi dasar pluralisme dalam berteologi yang menjunjung tinggi universalitas dalam kondisi situasi global yang menganggap agama (khususnya Samawi) sebagai biang-keladi permasalahan teror, ketidaknyamanan, permusuhan, dan lain-nya adalah sesuatu yang harus ditelaah lebih lanjut. Betulkah yang menyebabkan hal tersebut secara sosiologi reproduksi konflik memang dihasilkan oleh agama Samawi (Yahudi, Islam, dan Nasrani) ? Bukankah negeri kita di masa lampau juga pernah menerima dua ajaran yang bertentangan seperti Budha dan Hindu sehingga muncul kata “Bhineka Tunggal Ika.”

Secara sosiologis, masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius dan mudah menerima kebudayaan yang membawa nilai-nilai spiritual. Mudahnya nilai-nilai spiritual baru atau ‘asing’ masuk ke bumi nusantara sebenarnya dianggap bukan sebuah permasalahan yang serius. Tidak serius, oleh karena masyarakat Indonesia mudah sekali menerima sesuatu yang mendewasakan pemahaman keimanan. Yang harus dipertanyakan mengapa nilai pluralisme, semangat pluralisme, paham plural dengan isme-nya sangat susah diterima walaupun sudah berjalan hampir 28 tahun lebih. Bukankah cara pandang pluralisme hampir sama dengan kebhinekaan? Mungkin terlalu dini untuk menyimpulkannya, namun penulis menyoroti beberapa hal yang harus ditekankan mengenai perbedaan antara pluralisme dengan kebhinekaan, yaitu: aspek pluralisme yang berkembang di Indonesia berkembang menjadi pemahaman yang menolak kepelbagaian identitas bahkan kecenderungannya untuk meleburkannya dalam satu wadah identitas yang –setidaknya menurut penganut tersebut- mempunyai nilai global bahwa semua harus seragam serta serasi sedangkan kebhinekaan mempunyai ciri penting yaitu semuanya tidak harus seragam namun mempunyai keselarasan.

Membangun Aspek Pluralisme yang Sejati

Aspek pluralisme dalam Alkitab khususnya PB (Perjanjian Baru) dalam komunitas Kristen mula-mula memiliki nilai ke dalam. Hal ini bisa kita lihat dalam surat-surat Paulus semisal pada jemaat Korintus. Keberagaman dalam persaudaraan pengikut kristus mula-mula menjadi sesuatu yang diwajibkan untuk menjaga hubungan baik di saat situasi tidak menguntungkan komunitas. Aspek jamak, entah itu; dalam ajaran, tata cara ibadah, cara mengaktualisasikan keyakinan, dan sebagainya merupakan ciri awal bahwa pergumulan tersebut memang sudah ada semenjak awal gereja berdiri. Memang mula-mula komunitas ini belum sempat terpikirkan mengenai cara berkomunikasi dan berdialektika dengan komunitas di luarnya, hal itu dapat tercermin dari PB. Komunitas yang baru terbentuk ini mencoba bertahan dari tekanan komunitas kepercayaan luar ini kemudian berkembang menjadi jemaat yang militan, bahkan berani mengorbankan nyawa demi keyakinannya pada Kristus. Komunitas kristen mula-mula bahkan menginternalisasikan dan membuat identitas kekristenan di dalam sendi-sendi kehidupan hingga pada akhirnya mereka dapat menjadi agama baru yang berkuasa di kekuasaan romawi pada jaman Konstantin. Sikap arogansi ini kemudian nampak pada tingkatan sifat ekspansi selama kurang-lebih 200 tahun terakhir yang menganggap masyarakat di luar agama kristen tidak berbudaya (merasa superior). Sifat-sifat inferior kemudian yang dikenakan kepada komunitas diluar kristen seperti mata rantai yang berulang. Perlawanan kemudian timbul dari luar golongan kristen (khususnya yang paling berani adalah golongan Islam).

Gerakan kultural melawan dominasi agama Kristen, yang sebenarnya ditujukan untuk bangsa-bangsa di Eropa kemudian menjadi momok bagi sebagian besar penganut agama Kristen di dunia. Sehingga mereka mencoba membangun pemahaman baru untuk meredam aksi-aksi kultural melawan penindasan eropa melalui hubungan dialog antar-agama. Propaganda tersebut kemudian berhasil berkembang dan mempengaruhi sebagian masyarakat di bumi termasuk Indonesia. Bukan rahasia lagi, bahwa banyak para kader-kader teolog di Indonesia mengacu kepada gaya pendidikan Barat. Mereka sangat tertarik tentang aspek plural yang ditawarkan kepada kaum nasrani di Indonesia sebagai jawaban atau solusi dari problematika untuk menghadang aksi kultural saudara sebangsa mereka yang beragama Islam. Yang kadangkala dianggap tidak bisa membedakan mana orang Kristen Indonesia dan mana orang Kristen Barat. Karena perlawanan mereka kemudian ditujukan secara umum kepada seluruh kaum Kristen di dunia. Celakanya kaum nasrani di Indonesia mengerti awal-mula terjadinya paham pluralisme ini hingga disebarkan ke seluruh dunia dan berakibat ikut larut dalam aksi dekonstruksi alam-pikir yang ditawarkan oleh para pemikir Barat.

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia seharusnya kaum nasrani dapat mengerti bahwa aspek pluralisme tidak-lebih dari sekedar salah satu aspek penghargaan kepada sesama yang sifatnya universal. Membangun pluralisme yang sejati tidak serta-merta harus meruntuhkan garis batas ajaran dan keunikan tiap-tiap identitas komunitas yang telah dibangun berdasarkan identitas kristen. Dan membangun Pluralisme yang sejati tidakharus dikerucutkan kepada keseragaman pola-berpikir, keseragaman tipologi pola yang arahnya hanya menjadi satu. Derivatif nilai yang selama ini ditawarkan termasuk bagi penulis kesalah-kaprahan para teolog yang belum mengerti fungsi pluralisme, harus dijadikan tolak ukur perbandingan mengenai konsep bahwa berbeda menuju keselarasan bukan berarti harus menjadi serasi secara identitas. Konsep kebhinekaan sebenarnya sudah dapat menjadi acuan bagi terwujudnya kesepahaman dalam komunitas sosial yang cakupannya lebih luas.

Berteologi dalam memandang pluralisme secara berbeda bukan berarti menjadikan ikatan-sejati bahwa pada hakekatnya semua manusia diciptakan berbeda namun mempunyai esensi yang sama tidak selalu harus mematikan pilihan. Pilihan untuk memilih identitas, pilihan untuk memilih ajaran, pilihan untuk meyakini yang diyakini, dan sebagainya. Itulah aspek pluralisme yang sejati.

Penutup

Kodifikasi atau pengaturan isu-isu yang menggotong wacana pluralisme memang menjadi sangat menarik untuk dibahas ketika beberapa elemen lembaga keagamaan di Indonesia ikut campur untuk menolak wacana pluralisme dalam hal ini misalnya MUI (Majelis Ulama Indonesia). Kenyataan yang harus diterima bahwa konsep plural agama bukan hanya sebagai fakta yang harus dipahami, melainkan juga sebuah kondisi aktual yang harus di dialektika-kan. Secara umum, pluralisme secara utuh harus dimengerti sebagai data empiris yang memiliki karakteristik universal dan tidak bersyarat. Sementara walaupun agama-agama seolah-olah terpisah namun pada sifat hakiki-nya mereka mempunyai fungsi yang sama secara antropologi dan sosiologi mengenai konsep identitas yang harus dimiliki oleh tiap-tiap komunitas sampai pada tataran individu. Keunikan ini membentuk banyak ciri yang mewarnai kehidupan manusia. Sehingga bagi penulis konsep pluralisme dalam penghayatan agama Kristen (mainstream) tidak boleh dimatikan namun harus tetap di reklamasi agar kita mengetahui mana konsep sebenarnya tentang penghargaaan atas perbedaan dan mana konsep yang justru membuat perbedaan menjadi penghalang***

[1] Lihat J.W.M Bakker SJ. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. (Jogjakarta: Kanisius, 1984), hal. 27

[2] Istilah fundamental disini dipakai bukan sebagai kata yang mempunyai konotasi negatif tetapi sebuah istilah kata yang dipakai untuk menunjukan golongan yang masih memegang teguh agama sebagai bagian dari identitas yang mutlak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun