Mohon tunggu...
Arief Sofyan Ardiansyah
Arief Sofyan Ardiansyah Mohon Tunggu... wiraswasta -

Hiduplah dengan senyuman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik Bebas Atas Tulisan Berjudul, “Sinema Indonesia: Menjelajahi Budaya Maskulinitas, Penyensoran dan Kekerasan” Karya Marshall Clark

30 September 2014   16:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:57 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Clark menceritakan perkembangan budaya maskulinitas lewat perkembangan film dengan membangun sebuah konteks sosial historis tertentu yang melibatkan berbagai unsur dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama umat muslim laki-laki dan menghubungkannya dengan wacana bangsa pasca Orde Baru.

Tulisan ini mengambil setting waktu pada tahun 2005-2006 ketika perdebatan mengenai Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi sedang memuncak dan terjadi penggerebekan kantor majalah Playboy oleh FPI (Front Pembela Islam). Clark melihat kelompok muslim sebagai bentuk dari sensor baru setelah kuasa sensor Orde Baru lumpuh pasca-reformasi. Dengan maskulinitas amuk, laki-laki muslim mempertontonkan kuasanya. Sensor ini tak hanya berlaku terhadap majalah Playboy. FPI juga menyerang kelompok gay sehingga mendapat sebutan dari Clark sebagai homophobia. Sebuah sebutan sinis terhadap FPI.

Kemudian ia menghubungkan FPI dengan wacana orde baru yang mengagungkan keluarga ideal Indonesia. Sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang bahagia. Akibat hegemoni ide keluarga nasional masa Orde Baru ini FPI melihat gay bukan sebagai bagian dari Indonesia. Alasan ini kemudian mendasari tindakan keras FPI terhadap gay.

Tindakan kekerasan maskulin ini kemudian tampil dalam bentuk berbeda dalam berbagai film. Ia mengambil film Mengejar Matahari dan 9 Naga karya Rudi Soedjarwo. Mengkritik film ini dengan sebuah pandangan munculnya karakter maskulin baru (masculinist cast) yang mencoba melampaui dan melawan feminisme dengan memperlihatkan kuasa dan kontrol laki-laki atas istri dan anaknya.

Kritik

Pertama dan hal utama yang saya permasalahkan adalah upaya Clark dalam membangun (meng-konstruksi) wacana kekerasan laki-laki, FPI dan negara yang melupakan satu hal yaitu agama Islam itu sendiri. Dalam Islam terdapat larangan bagi hubungan gay. Hal ini sama sekali tak disinggung. Ia lebih suka membangun ilusi hubungan antara ideologi FPI yang terpengaruh wacana keluarga Orde Baru tanpa memberikan bukti lebih lanjut tentangnya. Konstruksi yang kurang tepat itupun terlalu jauh. Padahal, ia bisa memberikan sebuah contoh dari film keluarga berjudul “Keluarga Cemara” yang booming pada era Orde Baru atau Si Doel Anak Sekolahan dengan bentuk keluarga idealnya dan budaya Betawi. Lalu menghubungkan budaya Betawi dan negara dengan sikap FPI yang hanya meledak di Jakarta, sebuah basis masyarakat Betawi. Apabila ia hendak membangun sebuah konteks yang lebih dekat.

Tradisional/Agama/Privat vs Modern/Ilmu Sosial/Publik

Kedua kritik awal ini membawa saya melihat sosok Clark lebih dalam. Ia adalah akademisi Australia yang telah berkecimpung lama dengan wacana Orde Baru dan memiliki tendensi yang sama dengan banyak akademisi negeri Kanguru yang menjadikan Orde Baru sebagai “target”. Terlihat dari upaya “pemaksaan” untuk mengkaitkan ideologi FPI dengan wacana keluarga ideal Orde Baru yang sangat lemah dan melupakan bentuk dan asal FPI. FPI merupakan organisasi yang mendasarkan diri pada ajaran Islam yang dijalankan menurut penafsiran mereka (anggota FPI). Dalam Islam terdapat wacana mengenai keluarga dan wacana hubungan seksual yang “baik”. Islam sangat mengecam kaum homoseksual, baik laki-laki maupun perempuan dengan ancaman yang sama, neraka dan siksa dunia. Karena itulah tindakan FPI selalu menggunakan teriakan takbir. Wacana keluarga dalam Islam ini kebetulan mirip dengan wacana Orde Baru. Walaupun dalam Islam tak ada keharusan pembatasan kepemilikan keturunan. Keluarga Islam boleh memiliki anak berapapun banyaknya. Namun, keduanya tetap mementingkan proses reproduksi dalam keluarga . Satu hal yang perlu diingat, mirip tidak berarti sama. Orde Baru mendasarkan dirinya pada budaya Jawa dan modernisme pembangunan, sedangkan Islam dilihat dalam pandangan ilmu sosial hanya sebagai bagian dari tradisionalism.

Kemungkinan besar, alasan lain (selain tendensi “menyerang” Orba yang bisa dilihat dari kepentingan geopolitik-ekonomi Australia di mana mereka tergantung dengan Indonesia, sehingga saat penting “membangun hubungan baik” dengan menihilkan potensi kekuatan politik yang dpat membahayakan) yang mendasari “pemaksaan” wacana Orba adalah paradoks yang muncul ketika memasukkan Islam ke dalam ilmu sosial (modern).

Kedua hal ini memang seakan tak bisa disatukan mengingat ilmu pengetahuan barat berkembang dengan menjadi antitesis dari agama Kristen. Ilmu pengetahuan sekuler ini menjadi tidak cocok ketika dihubungkan dengan agama, mengingat agama juga sudah didesak ke dalam wilayah privat. Maka, agama dan ilmu sosial modern membentuk oposisi biner privat vs publik.

Penyatuan dua hal ini akan menjadikan dasar pijakan ilmu sekuler menjadi tergoncang. Penolakan akan agama, walaupun ia berhubungan dengan subjek pembicaraan (masalah) tetap harus dilakukan, kecuali agama itu telah terlebih dahulu dikeluarkan dari agama dan dimasukkan hanya sebagai sebuah fenomena sosial masyarakat. Hal ini pada dasarnya mendangkalkan usaha untuk mengkaji masalah lebih dalam. Konstruksi tulisan Clark pun terkesan dipaksakan dan dangkal. Wacana Islam sebagai bentuk sensor baru lewat kekerasan dan unjuk kontrol serta kuasa menjadi kehilangan maknanya. Dasar teori ini ketika digunakan untuk melihat perkembangan film Indonesia menjadi terasa kurang bumbu.

Upaya penggabungan Islam ke dalam ilmu sosial modern telah dan sedang diupayakan kelompok Islam Liberal (walaupun artinya, mengkerdilkan Islam dan memasukkannya ke dalam ilmu sekuler. Karena menurut saya, tak ada yang namanya Islam modern. Dua kata itu akan saling meniadakan makna). Kemungkinan besar, dari sini akan didapatkan sebuah konstruksi yang lebih dekat dan tepat untuk meneliti fenomena budaya masyarakat Indonesia terutama yang berhubungan dengan Islam. Sebuah konstruksi tentang konteks sosial historis kehidupan teks. Sekali lagi, saya tegaskan, sebuah konstruksi bukan sebuah kebenaran yang “real”. Karena bagi pandangan anti essensialisme, tak ada lagi yang asli (real). Tidak ada apapun di luar tanda dan makna akan tanda berasal dari konstruksi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun