Mohon tunggu...
Arief Anas
Arief Anas Mohon Tunggu... wiraswasta -

simple, apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bisnis Ala Gus di Pesantren

14 April 2014   05:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:42 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Titel "Gus" merupakan sebutan anak kyai di Jawa. Predikat ini sebagai sikap penghormatan para santri kepada anak kyai di pesantrennya. Ia dihormati sekaligus menjadi bakal penerus bapaknya dalam mengasuh dan membina santrinya. Predikat "Gus" sempat tenar saat (alm) KH Abdurrahman Wahid atau dikenal "Gus Dur" menjadi Presiden RI ke-4.

Bisa dikatakan, patuh dan taat kepada "Gus" menjadi sebuah tradisi pesantren yang dilakukan para santrinya. Ia menjadi diteladani laiknya santri meneladani sang kyai. Pendek kata, apapun fatwa (ucapan) sang Gus, sama halnya fatwa sang kyai.

Era sekarang, titel "Gus" seolah mengalami pergeseran. Predikat ini kini tak ubahnya sekedar sebutan atau julukan saja. Ia tak lagi menjadi penerus wujud pribadi teladan sang kyai. Jika dulu, sang "Gus" turut berperan aktif mentransformasi ajaran Islam di pesantren kepada santrinya. Tapi kini telah bergeser menjadi sosok materialistik dengan memperlebar jaringan bisnis di pesantrennya.

Disini, penulis tidak bermaksud gebyah uyah atau menyama-ratakan perilaku semua "Gus" yang telah bergeser itu. Tulisan ini sekedar fenomena unik yang penulis lihat.

Santri, saat ini, juga telah menjadi pangsa pasar empuk untuk meraup keuntungan dari bisnis yang dimiliki sang Gus. Semakin banyak jumlah santri, semakin banyak pula pundi-pundi laba yang bakal didapat. Sebut saja, bisnis kantin/koperasi, cattering, hingga laundry (cucian), dan lainnya.

Perilaku bisnis sang Gus ini memiliki efek luar biasa yang dirasakan masyarakat sekitar pesantrennya. Pasalnya, mereka sebelumnya sudah menjalankan bisnis serta pangsa pasar yang sama. Berebut santri sebagai konsumen, menjadi tontonan nyata sekaligus miris antara Gus dengan masyarakat sekitar pesantrennya.

Tentu saja, yang menang dalam perebutan pasar disini adalah sang Gus. Ia menggunakan kewenangannya sebagai penerus/pemilik pesantren. Ia memanfaatkan kepatuhan dari santrinya dengan trik "fatwa" yaitu mewajibkan santri menjadi konsumen bisnisnya. Meski tidak terang-terangan, fatwa itu pun berlaku. Santi dilarang makan diluar pesantren, karena sudah ada cattering/boga santri. Santri dilarang jajan diluar pesantren, juga karena sudah tersedia komplit jajanan. Pun demikian, santri dilarang cuci pakaian di laundry luar, karena di pesantren sudah tersedia.

Masyarakat sekitar pesantren, nyaris tidak bisa berbuat apa-apa akibat efek bisnis ala Gus itu. Usaha yang lama digelutinya, telah beralih menjadi ladang penghasilan sang Gus. Ia hanya setia memberi pelayanan usahanya pada sisa-sisa konsumen yang tidak seberapa.

Kini, Gus tak ubahnya sosok pengusaha, bukan sebagai putera mahkota di pesantrennya. Penulis yakin, niatan sang kyai (orang tuanya) mendirikan pesantren, adalah untuk kemaslahatan umat di dalam (santri) maupun di luar (masyarakat sekitar) pesantren. Bukan malah dijelma menjadi ladang bisnis pribadi semata.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun