Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bagiku, Lebaran Tak Perlu Ada...

8 Agustus 2012   19:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:04 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah tahun ke tiga ketakutan saya jelang hadirnya lebaran, ketika banyak orang justru merindukan kehadirannya. Makin dekat lebaran, makin berdebar-debar jantung saya, nyaris berharap ia tak perlu hadir untuk saya. Sebab lebaran hanya merangsang deras linang air mata saya. Namun, saya harus mengerti bahwa ini adalah pengharapan yang sungguh tidak baik. Maka, tidak ada jalan lain, saya harus berani menghadapinya. Membiarkan sang lebaran, hadir apa adanya. Membahagiakan semua yang merindukannya.

Bukan karena apa. Saya, hanya, belum mampu melupakan sebuah kenangan yang sangat indah dan penuh makna, kejadian ketika seluruh orang berlomba-lomba mendamba percikan cahaya damai Lailatul Qodar.

Saya mengingat prosesi kejadian kepergian bunda yang begitu saya kasihi. Saya ingat betul kejadiannya. Semalaman saya memeluk, ”ngeloni” seonggok tubuh yang sedang terbujur dalam dingin “sakhratul maut”.

Semalaman saya berbaring dalam ranjang yang sama, menemaninya berjuang melepas nyawa, membisikkan do’a-do’a di telinganya, menghapus air matanya yang deras mengalir sementara matanya terpejam. Matanya yang memejam, air matanya yang melimpah, seolah mengatakan bahwa ia ikut mendengarkan dan mengaminkan lantunan doa-doa dari segala penjuru. Doa-doa yang menguatkannya dalam menunggu “saat untuk dirinya”.

Saya terus menerus mengasihinya, mencium keningnya, pipinya, kelopak matanya, meneteskan air do’a, agar basah kerongkongannya yang sedang berjuang melepas “nafas”, mewudhukan dan menjaga kesuciannya, memandikan dengan handuk hangat kegemarannya, menggunting bajunya dan menggantinya dengan yang baru, mengenakan kerudungnya dan menyaksikan kecantikannya untuk terakhir kalinya...

Saya seperti sedang mengikuti kursus kilat yang harus saya selesaikan semalaman. Saya mempelajari semalaman apa yang hendak Tuhan ajarkan pada saya kali itu melalui seorang ibu guru yang bukan hanya cantik wajahnya, namun juga sangat indah hatinya…..

Guru saya yang cantik itu, sedang mengajarkan kebesaran HIKMAH. Meskipun secara fisik ia sedang “tidak berdaya”, Tuhan masih “mempercayainya” dan memberinya kesempatan terakhir untuk “mengajari” saya.

Bahwa perempuan jangan hanya belajar menjadi ibu, tetapi perempuan juga harus belajar “Bagaimana seharusnya menjadi seorang ANAK yang penuh bhakti….”. Semoga Allah membahagiakan dan menempatkan beliau di tempat yang paling dekat di sisiNya. Amin.

Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah SWT. Terima kasih pada seluruh kematian yang menginspirasi tulisan ini.

Salam bahagia dan terus berkarya!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun