Mohon tunggu...
Ari Budiyanti
Ari Budiyanti Mohon Tunggu... Guru - Lehrerin

Sudah menulis 2.780 artikel berbagai kategori (Fiksiana yang terbanyak) hingga 24-04-2024 dengan 2.172 highlight, 17 headline, dan 106.868 poin. Menulis di Kompasiana sejak 1 Desember 2018. Nomine Best in Fiction 2023. Masuk Kategori Kompasianer Teraktif di Kaleidoskop Kompasiana selama 4 periode: 2019, 2020, 2021, dan 2022. Salah satu tulisan masuk kategori Artikel Pilihan Terfavorit 2023. Salam literasi 💖 Just love writing 💖

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Pemusik Itu Memberiku Seikat Bunga

13 Oktober 2019   11:37 Diperbarui: 6 Oktober 2021   13:30 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sekar" panggil pak Ardi saat melihatku duduk menikmati makan siang sendirian di kantin. "Pak Ardi? Anda sendirian?" Jawabku dengan tanya yang lain. Rasanya itu selalu spontan kulakukan pada siapa saja. Aku suka bertanya balik pada orang yang memberiku tanya.

"Memang kamu berharap aku datang sama siapa? Pak Rianmu itu?" Pak Ardi ini memang terkenal "to the point" tidak suka basa-basi. Kalau tahu sesuatu selalu diucapkankan tanpa ragu. Kalau menebak juga jarang salah. Jawaban sering tepat sesuai perkiraan penanya.

"Saya kira begitu biasanya. Anda selalu bersama beliau." Jawabku menutupi salah tingkah karena yang dia katakan benar. Aku mengharapkan ada sosok Rian datang bersamanya. 

"Dengar baik-baik Sekar, aku sudah mengamati kalian berdua beberapa waktu ini. Sepertinya kalian cocok satu sama lain. Apakah kanu mau terima saranku untuk bisa mendapatkan hati Rian lebih cepat?"

Aku hanya menatap Pak Ardi bengong dengan ekspresi tak menentu. Mau-mau tapi malu. Ini orang tebakannya benar lagi. Daya observasinya kuat rupanya. Dan hanya kuberi anggukan kepala tanda setuju. Kulihat sekilas senyuman di wajah pak Ardi. 

"Pertama, kamu harus berani menunjukkan perasaanmupadanya. Gunakan cara yang "smart". Tidak terlalu kentara tapi menyentuh tepat di hatinya. Paham?" Kugelengkan kepala  kali ini bahasanya sederhana dan lugas seperti biasa, tapi tak bisa kupahami maksud di balik kata-kata itu. 

"Ah, kamu ini. Kreatif sedikit. Amati dan perhatikan Rian. Berikan apa yang kira-kira paling dia butuhkan saat bekerja dengannya. Pelajari dia. Karakternya seperti apa dan hal-hal apa yang tidak disukainya harus sebisa mungkin kau jauhkan." Papar pak Ardi.

"Apakah Pak Ardi mau memberi saya sedikit petunjuk?" Berusaha kudapati sedikit "clue" tentang pak Rian dari sohib terdekatnya. "Dia suka sop ayam kampung. Sudah itu saja yang akan kuberitahukan. Lainnya, pikir sendiri. Semangat berjuang dan tidak boleh putus asa ya. " Selesai memberi petuah kecil padaku, pak Ardi langsung pergi.

"Terimakasih pak Ardi" aku berseru seiring langkahnya meninggalkanku ke meja lainnya. Tapi, kenapa hanya bilang sop ayam kampung. Kenapa pak Ardi ini tak bilang saja apa hobi pak Rian atau mungkin karakternya. Kan lebih membantuku daripada sekedar bilang sop ayam kampung. 

Ada sedikit gerutu kesal. Kulirik jam tanganku. 20 menit lagi jam istirahat makan siang berakhir. Kumakan buah jeruk terakhirku. Sambil mengelilingi kantin dengan kedua mataku. Tak kudapati pak Rian yang kuharap bisa kulihat di salah satu sudutnya. 

Lalu melihat diujung kantin ada tulisan besar nasi sop ayam kampung. Entah mengapa aku langsung teringat nasihat pak Ardi. Segera aku menuju ke penjual sop ayam kampung dan membeli 1 box untuk pak Rian, tentu saja beserta nasinya. Sepertinya pak Rian belum kelihatan makan siang. Aku bawakan saja ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun