Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

Politik Dinasti: Antara Boleh dan Tidak

25 Januari 2017   08:25 Diperbarui: 7 September 2021   07:01 6161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - politik dinasti (Kompas)

Menjelang Pilkada 2017, isu mengenai politik dinasti muncul kembali. Ada pihak yang pro dan kontra dengan gejala tersebut. Pihak yang pro menyebut pelarangan politik dinasti melanggar hak asasi manusia dalam kebebasan memilih dan dipilih. 

Menurut mereka setiap orang bebas mencalonkan dan dicalonkan tanpa halangan apa pun. Sedang yang kontra memberi alasan bahwa politik dinasti cenderung korup yang berkepanjangan dan berjejaring luas. Dan hal yang demikian sudah banyak terjadi di berbagai daerah.

Meski perdebatan tersebut seru, aturan yang ada menyebut bahwa siapa pun berhak mengajukan diri menjadi kepala daerah atau yang lainnya dengan alasan pelarangan kepada seseorang yang hendak maju dalam pemilu merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan demikian, anak, istri, suami, atau saudara kepala daerah yang ingin maju dalam Pilkada mempunyai hak dan kewajibannya yang sama dengan yang lain. Mereka tetap diperbolehkan maju dalam Pilkada tanpa jeda.

Sebelumnya hak politik mereka dibatasi selama beberapa periode. Larangan itu dilakukan dengan tujuan selain untuk menciptakan pemerintahan yang bersih juga untuk memberi kesempatan yang lain sebagai kepala daerah. Politik dinasti selama ini membuat sebuah daerah hanya dipimpin oleh keluarga itu-itu saja.

Adanya larangan politik dinasti dari masyarakat bisa jadi sebuah peringatan kepada kita bahwa kita hidup dalam ruang demokrasi. Demokrasi lawan dari monarkhi, oligarkhi, dan feodal. Ketiga pengertian itu menganut pola bahwa kekuasaan hanya dijalankan oleh sekelompok orang, elite di masyarakat. 

Sistem itu muncul sejak sebelum masehi hingga saat ini masih ada yang menerapkan. Di negara maju seperti Eropa, sistem ini masih banyak digunakan meski dipadu dengan sistem demokrasi. Di Indonesia ada daerah istimewa yang mempunyai hak untuk menjalankan pola seperti itu.

Dalam perjalanan sistem monarkhi, oligarkhi, dan feodal, disebut dalam beberapa sumber tercipta suasana kehidupan masyarakat, kalau meminjam istilah Jawa, masyarakat yang toto tentrem kertorahardjo, gemah ripah loh jinawi, masyarakat yang makmur. Kalau meminjam visual dari film-film animasi produk Walt Disney dan Pixar, sebuah kerajaan di negeri Eropa yang raja, pangeran, dan putrinya dicintai rakyat.

Meski demikian, dalam sistem pemerintahan yang tidak melibatkan rakyat tersebut, perubahan-perubahan yang terjadi di keraton banyak diwarnai dengan pertumpahan darah. 

Contoh terdekat, bagaimana perubahan kekuasaan yang terjadi di Singasari pada masa Ken Arok dan keturunannya. Pun demikian pada masa Majapahit terjadi Perang Paregreg dan perang lainnya. Di antara keluarga raja dan ratu mereka saling bunuh demi sebuah tahta.

Pengalaman buruk pada masa pemerintahan monarki yang korup di Eropa membuat lahirlah demokrasi. Dengan harapan tatanan masyarakat yang ada menjadi lebih bagus. Demokrasi bisa jadi evolusi terakhir dari sistem pemerintahan yang ada. Mungkin akan ada bentuk baru pasca demokrasi.

Menjadi pertanyaan mengapa politik dinasti yang masih mencerminkan sistem monarki, oligarkhi, dan feodal, itu masih bertahan di masyarakat bahkan dilegalkan oleh demokrasi? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun