Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politisi Kita Jauh dari Sikap Negarawan

10 Agustus 2017   07:59 Diperbarui: 10 Agustus 2017   08:11 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selepas Pilkada Serentak tahun 2017, rupanya suhu politik tidak reda bahkan menjelang Pilkada Serentak Tahun 2018 dan Pemilu Presiden dan Legislatif 2019, suhu politik semakin meningkat. Meningkatnya suhu politik itu terlihat dari disahkannya UU Pemilu di mana dalam Pemilu Presiden harus ada syarat 20 persen suara di DPR dan 25 persen suara di tingkat nasional serta perang kata-kata fitnah dari para politisi.

Disepakatinya undang-undang itu dalam rapat paripurna,  di satu pihak yakni partai pendukung pemerintah seperti PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem, PKB, PPP, merupakan siasat agar calon Presiden yang ada menjadi minimal, dua, bila perlu terjadi calon tunggal. Langkah tersebut tentu membuat panas partai politik seperti Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN, yang tidak sepakat dengan Presidential Threshold sebanyak itu. Untuk itu mereka akan menggugat undang-undang Pemilu di MK.

Dua blok partai politik yang mendukung pemerintah dan di luar kekuasaan, mengkutub pada blok serupa dalam Pilkada sehingga hal demikian membuat hubungan partai politik tidak cair. Dua kutub partai politik yang ada membuat kutub politik itu saling berhadapan. Sebab saling berhadapan tak lain dan tak bukan yang dihadapi bukan yang lain namun yang ada di hadapan mereka sendiri.

Dua blok kutub politik bisa menjadikan proses politik yang ada menjadi lebih efisien. Bila dalam Pemilu Presiden atau Pilkada hanya ada dua calon maka proses pemilihan yang terjadi pastinya hanya satu putaran. Dengan satu putaran pasti ongkos untuk membiayai Pemilu lebih murah dibanding dengan banyaknya calon. Lihat saja dalam Pilkada Jakarta, sebab ada tiga calon maka Pilkada itu sampai tiga putaran. Tiga putaran tak hanya membuat ongkos menjadi lebih banyak namun energi masyarakat secara waktu dan tenaga terkuras demikian besarnya sehingga bisa mengganggu aktivitas lain.

Namun sangat disayangkan, dua blok partai politik yang ada tidak diimbangi dengan sikap negarawan para politisinya. Para politisi yang ada malah melontarkan kata-kata kasar, fitnah, dan merendahkan pihak yang lain. Ada seorang politisi menuduh sebuah partai mirip dengan partai terlarang, PKI. Ada pula politisi menuduh partai yang lain sebagai kelompok intoleran, ekstrimis, dan mendukung khilafah.

Saling tuduh tersebut pastinya tidak membuat demokrasi yang ada menjadi sehat dan menyejukan. Demokrasi yang ada menjadi seram, menakutkan, dan bisa menimbulkan konflik di tingkat masyarakat. Mengapa politisi kita cenderung dan sering bersikap arogan, memfitnah, dan merendahkan pihak lain sehingga membuat situasi politik suhunya menjadi panas?

Politis bersikap membabi buta seperti demikian karena, pertama, partai politik kita cenderung ingin menang sendiri. Dalam bersikap mereka mengambil keputusan menang-menangan.Menang-menangan ini dilakukan secara berkelompok agar suaranya banyak. Akibatnya yang suaranya kalah menjadi tak berdaya. Setiap keputusan diambil tanpa kompromi atau mendengar pendapat pihak lain. Bukti dari sikap politik menang-menangan adalah disepakatinya undang-undang Pemilu. Bisa jadi undang-undang itu sebelumnya dibahas dengan melibatkan semua fraksi namun hasil akhirnya diambil lewat 'voting' tanpa kompromi.

Memang harus diakui bahwa cara mengambil keputusan lewat 'voting' sudah menjadi tradisi di DPR dan itu sah menurut aturan yang ada, sah juga menurut paham demokrasi, namun masalahnya dalam keputusan pasti ada pihak yang menang dan  ada pihak yang kalah. Masalahnya dalam demokrasi di negara yang sedang berproses, di negara berkembang, kelompok yang menang berusaha untuk 'membunuh' lawan politiknya seperti yang terjadi di Turki, Myanmar, Thailand, termasuk Indonesia. 

Di Thailand, kubu keluarga Thaksin selalu dikriminalisasi oleh pihak lawan. Kubu keluarga Thaksin selalu dikriminalisasi sebab partai yang dibentuk oleh Thaksin dan putrinya, berpotensi menang dalam Pemilu yang digelar. Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Partai politik di luar kekuasaan berpotensi untuk mengalahkan kekuasaan yang ada. Ketahuan potensi itu maka kelompok di luar kekuasaan terus dikriminalisasi.  

Kedua, sikap menang-menangan bisa terjadi karena politisi kita jauh dari sikap negarawan. Tidak usah jauh-jauh mengukur sikap kenegarawanan mereka, dilihat dari lontaran politiknya sudah menunjukan sikap mereka. Sangat menyedihkan bila politisi tingkat nasional memfitnah kelompok yang lain. Sebagai seorang politisi bisa saja mereka menyebut apa yang dikatakan tersebut sebagai sebuah fakta dan kebebasan berpendapat namun yang perlu dipikirkan adalah dampak dari ucapan tersebut. Ucapan yang sifatnya fitnah bisa saja diselesaikan di tingkat elit partai atau meminta maaf namun gaungnya sampai ke bawah sehingga menimbulkan citra yang buruk pada partai yang difitnah.

Politisi kita berbicara yang demikian buruknya bisa jadi karena terbawa emosi. Terbawa emosi  karena tingkat kompetisi dalam berdemokrasi yang demikian ketatnya. Suasana yang demikian membuat mereka secara sadar atau tidak berkata yang sifatnya melecehkan pihak lain. Sebab melecehkan pihak lain maka pastinya ia melanggar hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun