Mohon tunggu...
Ardin Sx
Ardin Sx Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan ala Kita

7 Juni 2017   10:43 Diperbarui: 7 Juni 2017   11:23 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjadikan sekolah dan universitas sebagai ladang penyebaran paham radikal “yang negatif” sungguh mencoreng dunia pendidikan kita. Siswa dan mahasiswa yang adalah agen masa depan bangsa ternyata tidak bisa mengambil jarak dan kritis terhadap paham-paham radikal dalam ajaran agama. Hal ini tentu saja karena pola pendidikan kita masih belum dapat dikatakan cukup memuaskan.

Pendidikan  A la Beo

Dalam beberapa bulan terakhir, kenyamanan, kedamainan dan keindonesiaan kita seperti sedang dicoba. Seperti muncul suatu “kekecualian” yang membuat kita semua sadar bahwa keadaan damai, persatuan, toleransi dan sistem demokrasi tidak selamanya aman. Ada kesan bahwa kelompok-kelompok yang menyebar pemahaman radikal mulai banyak tumbuh di bangsa ini. Lebih parah lagi, pemahaman radikal itu mendapat tempatnya dalam dunia pendidikan. Pendidikan kita memang harus diakui masih belum maksimal. Dewasa ini kita masih mengembangkan prinsip bahwa siswa yang baik adalah siswa yang bisa mengulang kembali apa yang disampaikan oleh gurunya. Murid-murid seperti ini selalu mendapat perhatian yang ekstra dari para guru, bahkan diberi beasiswa. Murid yang bisa “mengembalikan” pelajaran dengan baik pada saat ujian adalah murid yang paling cerdas. Murid seperti inilah yang diidamankan oleh guru-guru di sekolah kita.

 Alhasil siswa yang baik adalah siswa yang bisa menghafal apa yang dikatakan oleh gurunya dan apa yang dikatakan oleh buku pegangannya. Pola pendidikan seperti ini tentu saja tidak buruk. Bagaimana pun seorang murid mesti harus mengingat apa yang sudah disampaikan oleh gurunya. Dengan mengingat kembali apa yang disampaikan oleh gurunya, ia paling tidak bisa menjawab pertanyaan gurunya pada saat ujian. Tetapi apakah itu cukup? Pola pendidikan seperti ini dapat kita katakan setara dengan pendidikan  ala burung Beo.Beo adalah salah satu binatang yang “cerdas”, karena ia bisa diajarkan untuk mengulang kata-kata yang diucapkan oleh tuannya. Ia bahkah bisa mengulang/mengucapkan kembali dengan sempurna. Pertanyaannya sekarang adalah apa yang membedakan kita dengan burung Beo, sebab dia bisa mengulang kata-kata kita dengan baik? Apakah dengan demikian kita sama dengan burung beo? Apakah kita lupa bahwa kita adalah manusia?

Kita tentu berbeda dengan burung Beo. Kita adalah manusia dan kita mempunyai akal budi. Namun kita harus mengakui bahwa ada sesuatu yang kurang dengan pola pendidikan seperti ini yaitu membentuk budaya kritisnya. Dalam pola pendidikan ala Burung Beo, seperti ini, penyebaran paham radikal sangat mudah dilakukan. Hal ini pertama-tama karena dalam diri setiap individu tidak ada sikap kritis. Mereka menerima doktrin atau ajaran-ajaran tanpa mengambil jarak darinya, tanpa bertanya apakah ini baik atau buruk baginya dan sesama.

Membentuk sikap kritis dalam diri siswa

Bersikap kritis bukanlah terjadi secara otomatis. Bersikap kritis seperti juga sikap-sikap yang lain pasti diperoleh melalui proses belajar. Sikap menghormati orang tua misalnya. Sikap kritis bagaimana pun harus sudah mulai dididik kepada para siswa/i sejak mereka masih di masih  usia dini. Hal ini bisa dilakukan dengan mengajak para siswa/ untuk selalu bertanya ketika belajar. Untuk pemula, hal ini mungkin sangat sulit. Oleh karena itu, guru perlu kreatif untuk memicu para murid supaya bertanya. Semakin tingkatnya tinggi, daya  kritis juga seharusnya tinggi. Untuk itu, guru perlu bersabar jika ada murid yang bertanya hal-hal yang mungkin saja tidak berkaitan dengan pelajaran yang sedang dipelajari. Selain itu para guru juga harus menghargai jika para murid selalu bertanya dan guru harus memberi jawaban yang ia butuhkan.

Maka di sini guru perlu rendah hati, jika bisa menjawab katakan bisa dan tidak bisa  jika memang tidak bisa menjawab. Yang terjadi pada pendidikan kita, siswa yang selalu bertanya justru dicap “kurang ajar”. Hal ini terjadi terutama pada tingkat pendidikan dasar. Namun perlu diakui bersikap kritis tidak berarti bahwa orang harus menangguh segalanya. Bersikap kritis berbeda dengan bersikap skeptis atau pesimis. Bersikap kritis berarti mampu mengambil jarak terhadap sesuatu yang kita pelajari, kita dalami dan kita menilainya. Jika yang kita pelajari bermanfaat bagi kehidupan kita, sikap kritis sangat perlu yaitu untuk memberi apresiasi dan jika tidak berguna bagi kehidupan kita, maka sikap kritis  menjaga kita supaya kita tidak salah langkah dalam bertindak.

Komitmen para pendidik

Untuk itu perlu ada komitmen dari para pendidik terutama guru dan dosen. Sekolah merupakan ladang paling subur untuk membentuk budaya kritis bagi siswa/i. Di sekolah para siswa dan siswi dilatih untuk saling berargumen, mengkritik atau memberi apresiasi terhadap guru atau materi yang sedang dipelajari. Para guru yang hadir secara langsung sudah semestinya memiliki sikap kritis. Sikap kritis itu harus diwariskan kepada para murid. Guru yang kritis adalah guru yang selalu mengkritik entah memberi apresiasi terhadap pengetahuan yang diberikannya serta mengaku dengan rendah hati segala kekurangan yang ada dalam pengetahuan itu. Banyaknya kaum muda  yang tertarik pada paham-paham keagamaan yang radikal justru karena ketidakhadiran sikap kritis ini. Hal yang sama terjadi pada guru atau dosen.

Tidak dapat disangkal bahwa guru dan dosen pun tergiur dengan paham-paham agama yang radikal. Guru dan dosen seperti ini tentu saja tidak layak berkarya di dunia pendidikan kita karena mereka selain tidak mendidik anak bangsa juga karena mendegradasi hakikat pendidikan. Apakah  masih perlu belajar di sekolah atau universitas apabila guru dan dosennya tidak lagi bersikap kritis? Oleh karena itu, pola pendidikan dan cara kita mendidik haruslah berubah. Pendidikan a la Beo harus kita tinjau kembali. Dalam batas tertentu pola pendidikan seperti ini masih boleh diterima, akan tetapi, kita mesti sadar bahwa pola ini tidak relavan dipraktikan hingga tingkat universitas. Pola pendidikan   ala Beo seharusnya hanya sampai tingkat dasar seperti TKK dan SD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun