Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Di Bilik Pengakuan Dosa

25 Februari 2017   22:44 Diperbarui: 26 Februari 2017   14:00 2591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


“Saya sudah berzinah, Romo...”

Suara perempuan 37 tahun itu lembut bak berasal dari dunia peri. Jernih, meski dibumbui isak. Kata-katanya mengambang, tertahan sejenak di udara, sebelum akhirnya menyublim begitu saja. Lenyap, terbentur empat penjuru dinding ruangan berperedam.

Ruang itu kecil saja. Hanya ada perempuan itu, dan Romo Frans –yang tepat di hadapannya perempuan itu berlutut. Air mata perempuan itu mengalir, menetes pelan pada bantal empuk yang memisahkan lututnya dengan lantai sekeras batu. Perempuan itu terus menunduk. Mungkin ubin berpetak kemerahan yang sewarna kuteks di jarinya itu memang terlihat lebih menarik dibanding wajah teduh Romo Frans.

“Kapankah itu, Anakku?” tanya Romo Frans. Sama sekali tak terdengar nada interogasi menakutkan dalam suara baritonnya. Sebaliknya...,  begitu lembut, begitu kebapakan, dan penuh kasih. Darimana dia mendapat semua wibawa dan ketenangan itu? Padahal Romo Frans masih cukup muda untuk seorang Pastor. Usianya belum lagi genap kepala empat.

“Sekitar dua minggu lalu, Romo,” jawab perempuan itu. “Saya..., tanpa sengaja bertemu mantan kekasih saat SMP.  Dan..., segalanya..., terjadi begitu saja....”

Romo Frans bergeming.  Sabar menanti perempuan itu melanjutkan ceritanya. Tangannya menggenggam kalung dengan manik-manik bulat serupa tasbih yang disebut rosario.

“Sudah lebih seperempat abad kami tak bertemu. Selama kurun waktu itu, saya pikir sudah berhasil melupakannya. Tapi ternyata tidak. Begitu bayang sosoknya terperangkap dua retina ini, segala memori tentangnya membuncah begitu saja tanpa bisa saya cegah. Saya tidak tahu mengapa ini bisa terjadi, Romo.”

“Anakku, memori –terlebih jika itu berkait dengan orang yang kita cintai—tidak akan pernah bisa hilang. Segala kenangan itu hanya bisa mengendap dalam diri, seperti bebatuan sedimen di dasar danau...”

“Ya, Romo. Saya sungguh menyesali diri karena ternyata masih sangat mencintainya. Dan ini membuat saya telah berzinah dan mendukakan hati Tuhan. Meski perbuatan kotor itu hanya terjadi dalam pikiran, namun saya tahu, pada saat itu juga saya telah mengkhianati suami dan anak-anak yang begitu mengasihi saya...”

Perempuan itu terisak semakin dalam. Bahunya terguncang hebat. Rasanya beban dosa menghimpit semakin berat hingga membuatnya tak sanggup berlutut lagi. Perempuan itu ingin tersungkur dan rebah sampai ke tanah, memohon ampun atas kelemahan hati dan ketakberdayaan dirinya. “Oh, Romo, saya sungguh-sungguh menyesal atas dosa-dosa saya. Dengan hormat dan segala kerendahan hati, saya mohon ampun dan penitensi*) atas dosa-dosa saya....”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun