Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lilin Putih dan Cemara Merah Jambu

17 Desember 2019   12:27 Diperbarui: 17 Desember 2019   12:42 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lain dengan dulu, Desember yang sekarang selalu bikin semangatku menguap entah kemana. Meski kutahu persis alasannya. Papa. Ini sudah tiga kali Desember yang berlalu tanpa hadirnya. 

Saat semua teman gerejaku bersukacita nyiapin natal, aku malah mengurung diri dalam kosan. Menolak keluar atau pergi jika benar-benar nggak ada urusan. Yah, aku tahu sikapku kekanakan. Tapi siapa memangnya yang berhak mengukur duka?

Eh, aku bukannya tidak ikhlas lho ya. Aku cuma merindukannya. Kupikir nggak ada yang salah dengan itu. Aku percaya Tuhan yang kusembah itu akan maklum. Dia sungguh lembut dan penuh kasih. Kuyakin Dia nggak akan marah hanya karena aku nggak mau ambil bagian apapun dalam perayaan natal di gereja. Nggak kaya sesama manusia yang kadang suka nyenyes, Dia pasti ngerti kalau aku masih butuh waktu untuk pulih.

Tapi berhubung aku masih punya monster dalam diri yang bisa bangun kapan saja, aku nggak boleh berlarut di fase depresiku. Ingat pesan dokterku, jadi kupaksa badan ini tetap beraktivitas meski pengennya goleran saja di kasur sambil nonton.

Sama sekali nggak gampang. Terlebih cuaca Palembang belakangan ini benar-benar sempurna untuk bermalasan. Tapi tetap kupaksa. Biar si monster itu nggak ngambil alih otak warasku.

Kumulai dengan membongkar kontrakanku dan merapikannya. Menata ulang barang-barang di kamar sekaligus membersihkan setiap sudutnya. Lumayan, bikin aku berkeringat dan ga terlalu nangisin papa lagi. 

Aku menemukan cukup banyak lilin. Sedikitnya ada 9 batang lilin yang kukumpulkan dari berbagai tempat dalam bedengan. Ada yang dari atas lemari, terselip di antara buku-buku, di bawah kasur, sampai di kamar mandi dekat wadah sabun. Hampir semua berwarna putih meski sebagian besar tampak kotor kena debu.

Aku nggak ingat kapan membelinya atau bagaimana lilin sebanyak itu bisa ada di sana. Mungkin semua lilin itu sudah ada sejak kakakku masih di sini. Lucunya, aku nggak pernah menemukan satu batang lilin pun kalau mati lampu

Melihat lilin-lilin itu, bikin aku mendadak ingat dengan suasana natal saat masih kecil. Gereja kami dulu ada di dusun yang belum teraliri listrik. Ada satu pohon natal besaaar untuk dekorasi. Bukan cemara, tapi dari batang pisang yang kemudian ditancapi ranting-ranting penuh dedaunan. Pohon natal itu juga ditancapi bilah-bilah bambu yang ujungnya dipasangi lilin untuk penerangan sekaligus hiasan alih-alih rangkaian lampu kecil kelap-kelip warna-warni. 

Bukan pohon natal tercantik, memang. Tapi demi apa, itu adalah pohon natal paling menakjubkan yang pernah kulihat di dua puluh delapan tahun hidupku. Tentu saja karena akulah yang memasang hiasan bintang di pucuknya dengan bantuan papa yang menggendongku di atas pundaknya.

Ah, mataku berkaca lagi. Tapi bukan oleh duka atau kehilangan sama sekali. Melainkan oleh rasa syukur untuk semua hal indah yang pernah kulewati bersama orang-orang terkasih... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun