Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pentingnya Guru Menulis

21 November 2014   12:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:14 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belajar, dengan menulis.

Menulis, tetap ingat apa yang dipelajari.

Mendengar lupa. Menulis ada catatan.

Guru menulis memang harus.

Paling sedikit ada satu yang harus ditulis oleh guru.

1.Perencanaan kegiatan belajar. Dalam acara Nangkring Bareng Tanoto Foundation, 7 November 2014, Pak Dedi Dwitama mengatakan bahwa ruang kelas adalah panggung. Agar panggung ini bisa dikuasai perlu rencana. Adakah artis yang mau manggung tanpa rencana, dengan lagu yang tak dikuasai, suara fals dan tanpa tata rias? Gurupun seharusnya demikian. Kita tidak bisa mengajar tanpa rencana. Belajar adalah suatu kegiatan terencana dan bertujuan. Tanpa rencana = merencanakan kegagalan.

Mengapa rencana harus ditulis? Agar tidak lupa. Setuju?

Selain itu, rencana diperlukan, bilamana, guru berhalangan hadir, guru pengganti mengetahui dan dapat melakukan tindak lanjut dari rencana tersebut. Seorang guru yang (seperti saya) kurang ideal kondisi kesehatannya bisa lebih detail dalam menulis rencana-nya, agar sewaktu-waktu tidak hadir (karena sakit) bisa tetap berjalan pelajarannya sesuai rencana.

Rencana merupakan outline penting yang harus dituliskan guru. Pada satu rencana bisa saja penerapan lapangannya tergantung pada guru yang bersangkutan, namun sekurangnya jelas tujuan pembelajaran dan kelihatan apa yang sudah dicapai.

[caption id="attachment_336822" align="aligncenter" width="300" caption="Nangkring Bareng Tanoto, Bandung, 7 November. Dari Jakartapun berangkat demi ilmu. Guru juga mencari ilmu lho."][/caption]

2.Guru perlu menuliskan refleksi dari pembelajaran yang sudah dilaksanakan. Refleksi merupakan hal penting lain, bisa melakukan perencanaan belum tentu sesuai dengan harapan pada pelaksanaan. Refleksi merupakan evaluasi, pencapaian dalam pelaksanaan, kekurangan dan hal hal yang perlu diperbaiki serta hal-hal yang penting untuk dipertahankan. Refleksi merupakan evaluasi diri secara mandiri. Walaupun seorang guru ingin berhasil dalam mengajar, belum tentu bisa dicapai dalam sekali pertemuan. Refleksi ini mencakup rasa, emosi saat mengajar, kesiapan siswa belajar, dan juga pemikiran terhadap perbaikan.

Mengapa refleksi penting? Karena pendidikan bukan tergantung pada faktor siswa saja, namun juga pada faktor guru yang siap belajar. Belajar dari kesalahan dan kekurangan pada pembelajaran sebelumnya.

3.Guru juga dapat menularkan kebiasaan menulis refleksi ini pada siswa. Guru perlu membaca refleksi siswa untuk melengkapi refleksi dirinya.

Belakangan ini, di kelas saya menyediakan buku catatan untuk siswa menuliskan perasaan dan pemikirannya setelah pembelajaran seharian. Pada buku yang saya berikan siswa lebih bisa mengekspresikan dirinya dan menjelaskan perasaannya berkaitan dengan pembelajaran.  Salah satu siswa saya menggunakan buku yang saya bagikan untuk mencurahkan pemikirannya mengenai manajemen kelas saya juga.

Menarik karena dalam Nangkring bareng Tanoto, disebutkan nara sumber bahwa guru yang baik belajar juga dari siswanya. Tulisan siswa saya mengajarkan saya hal-hal yang perlu saya perbaiki. Ia memotret hal-hal yang terjadi yang terlewatkan oleh saya. Siswa saya ini membuat saya semakin termotivasi menulis.  Jadi, kebiasaan guru menulis memicu siswa untuk menulis juga. Seperti halnya membaca ditularkan, maka menulis-pun juga bisa ditularkan.

4.Saya menulis, karena tulisan saya adalah pemikiran saya, refleksi dari pengalaman hidup saya. Jadi sebagai guru, beberapa tulisan saya adalah berkaitan dengan pengalaman saya di sekolah. Koreksian, aturan, dan kegiatan keseharian guru. HANYAREFLEKSI. Cermin pemikiran dan perilaku, dan jika meminjam ungkapan seorang dosen,TERAPI JIWA.

Menulis diawali dari keinginan meluapkan rasa, berkelanjutan karena adanya fasilitas dari KOMPASIANA. Sejak mengenal KOMPASIANA, dan menyadari tulisan-tulisan saya mempunyai pembaca, maka timbullah semangat untuk menulis.

Guru juga manusia biasa. Punya perasaan, punya problem. Kehidupannya mungkin tak hanya berkutat di sekolah. Ada guru yang menjadi kepala keluarga, ada guru yang menjadi ibu rumah tangga. Ada guru yang melajang. Kondisi psikologis guru mempengaruhi interaksinya dengan siswa. Dengan menulis, guru dapat menerapi jiwanya sendiri, bertutur menyembuhkan diri sendiri.

Contoh sederhana, kemarin saya dipuji seseorang. “Hebat ya, miss. Ulangan bisa dikoreksi dengan cepat.” Kebetulan pujian itu hanya terdengar telinga saya. Kalau ada telinga guru lain mendengar, tentunya akan terjadi bisik-bisik. Seperti waktu kepala sekolah menyebutkan kepada guru-guru, “ Guru kita dipuji, mengerjakan koreksi ulangan cepat. Kepala sekolah tidak salah pilih guru. Selamat ya miss.” Reaksi spontan yang timbul di antara guru-guru adalah, “sudah buat analisisnya?” Guru yang dipuji memang baru bergabung dan belum tahu apa itu analisis. Perhatikan, bahwa guru punya rasa. Bisa merasa iri atau kurang dihargai, karena sudah bekerja lama tidak pernah dipuji, yang baru malah dipuji. Menulis menjadi TERAPI yang baik. Mencatat perasaan iri atau kurang dihargai bahkan mencatat keberhasilan, sehingga saat rasa iri mengganggu, kita punya pemikiran,… saya juga pernah mencapai prestasi kok. Guru tetap punya semangat dan gairah dalam mengajar. Saya punya beberapa buku berisi pujian siswa pada saya, yang pada saat saya lelah dan kendur, menjadi motivasi yang menyegarkan. Tetapi, bukan hanya siswa yang dapat menuliskan motivasi. Sebagai guru, kita perlu memotivasi diri. Caranya? Ya menulis.

5.Karena kebetulan saya di sekolah, maka saya bisa memotret kejadian-kejadian dalam lingkup sekolah. Tantangan yang dihadapi guru dan sukacita mengajar anak-anak.  Saya menulis, karena ingin. Tentunya, saya berani mempertanggungjawabkan tulisan saya. Artinya, saya belajar dari semua pengalaman dan peristiwa yang saya alami. Memotret berarti mewariskan pengetahuan pada generasi berikutnya.

6.Tujuannya berbagi. Memang kelihatannya hanya berbagi, namun apa yang kita miliki, jika dibagikan akan memperkaya isinya. Berbagi yang paling sederhana, adalah pemikiran melalui tulisan.  Guru yang profesional tentu saja guru yang mumpuni di bidangnya, dan guru yang cerdas dapat menuliskan pemikiran dari kompetensi yang telah dikuasainya. Interaksi antara guru dan peserta didik akan terlihat ketika guru menuliskan pengalaman terbaiknya, dan tentu saja melalui tulisan (sekali lagi) mampu mewariskannya pada guru-guru di masa yang akan datang.

Guru adalah figur yang secara professional dituntut mampu berbagi. Khususnya membagikan pengetahuannya sesuai mata pelajaran yang diampu.  Ini dibuktikan melalui karya tulisnya baik secara ilmiah sebuat penelitian tindakan kelas, maupun secara reportase yaitu catatan harian. Orang yang pandai belum tentu bisa menjadi guru, karena berbagi adalah seni dan naluri seorang guru. Saya sudah sering mendengar pernyataan, “saya tidak sanggup mengajari anak saya, bukannya tidak tahu sih, tetapi bagaimana caranya?” Masalah besarnya adalah pada cara berbagi. Pintar saja tidak cukup, bagi seorang guru. Ia perlu mewakafkan diri, memberikan diri untuk berbagi.

Ruang ajar guru hanya sebatas kelas, atau lingkungannya saat ia berbagi. Dengan menulis, ia membuatnya menjadi global, apalagi dengan adanya blog, dan buku. Menulis di blog, menulis di media cetak, menulis buku memperluas jangkauan kelas kita. Distribusi guru tidak merata, mungkin dengan sumbangsih tulisan, guru dapat menjadi guru di tempat-tempat yang tak pernah dijejakinya. Saya misalnya, saat ini berdomisili di Jakarta, tulisan saya mengenai pembelajaran di SD bisa saja dibaca dan menjadi inspirasi bagi ibu rumah tangga di Papua, dan menolong guru yang bukan berasal dari pendidikan guru di pelosok Aceh. Apa mungkin? Mungkin.

Berkait dengan pentingnya guru menulis, Tanoto Foundation dapat melaksanakan visi dan misinya sebagai berikut:

Visi Tanoto Foundation berupaya menjadi pusat unggulan dalam penanggulangan kemiskinan melalui Pendidikan, Pemberdayaan dan Peningkatan Kualitas Hidup.

Misi Tanoto Foundation bekerja bersama masyarakat dan mitra untuk mencari solusi terhadap akar permasalahan kemiskinan dengan cara:


  • Mengembangkan dan menerapkan program-program inovatif, program inovatif bisa berkembang dan diterapkan dan terus dikembangkan jika ditulis. Bukannya sayang jika program yang dimiliki terlewatkan tanpa adanya rekaman tulisan. Tulisan guru dapat memotret program inovatif yang diterapkannya dalam manajemen kelas, pelaksanaan pembelajaran bahkan juga konseling siswa untuk perkembangan diri mereka.

    [caption id="attachment_336816" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana Nangkring Bareng Tanoto Foundation, 7 November 2014, Bandung"]

    1416520392835680020
    1416520392835680020
    [/caption]

    [caption id="attachment_336817" align="aligncenter" width="300" caption="Nangkring Bareng, para narasumber. "]

    1416520523391973541
    1416520523391973541
    [/caption]

    [caption id="attachment_336818" align="aligncenter" width="300" caption="pendidik generasi lewat tulisan, ya guru. Harusnya."]

    1416520568136731248
    1416520568136731248
    [/caption]


  • Membangun kapasitas dan memberdayakan penerima manfaat. Penerima manfaat Tanoto Foundation, tidak hanya menjadi penerima pada akhirnya namun mampu memberdayakan dan menginspirasi anak didik serta lingkungannya. Guru bukan hanya berfungsi di sekolah, namun juga di luar sekolah. Menulis adalah salah satu caranya. Guru yang tidak menulis berhenti pada titik menerima, tidak berdaya apalagi berkapasitas lebih.
  • Bekerja bersama mitra dan mendukung program-program yang dilaksanakan oleh mitra.
  • Mendokumentasikan dan berbagi praktek-praktek terbaik kepada masyarakat. Menulis adalah proses dokumentasi yang tak akan hilang. Apa yang kita pikirkan akan lenyap jika tidak didokumentasikan. Guru yang menulis mewariskan pemikirannya pada masa depan.

Berkait dengan penulisan buku, guru dapat memasyarakatkan kesenangan membaca. Budaya literasi ditularkan dengan teladan. Ketika saya bercerita pada murid saya, bahwa saya menulis buku, mereka senang sekali. Padahal, penerbitannya masih indie. Mereka berebut membaca dan tak jarang menanyakan kebenaran cerita yang saya tulis. “ini cerita terjadi benar ya miss? Real story?” Ada juga di antara murid saya bertanya, “ apa menulis buku susah miss? ”

Pentingnya guru menulis bagi saya adalah sebagai refleksi dari apa yang sudah dilakukannya. Saya menjadi lebih mawas diri dan terus memperbaiki kinerja sebagai seorang guru. 

Tantangan yang dihadapi guru untuk menulis, WAKTU. Saya mengagumi beberapa rekan kompasianers yang selain mengajar, masih punya waktu menulis. Tumpukan koreksian tak ada akhir di atas meja, dan juga administrasi menunggu untuk dikerjakan. Belum lagi, bagi ibu rumah tangga, atau kepala keluarga, yang juga seorang guru, waktu menulis. Kesibukan yang bertubi-tubi, ternyata justru memberi lebih banyak inspirasi untuk menulis, kata beberapa di antaranya.

[caption id="attachment_336812" align="aligncenter" width="300" caption="Buku lain bersama penulis di kompasiana"]

1416517824223902045
1416517824223902045
[/caption]

[caption id="attachment_336813" align="aligncenter" width="300" caption="Buku pertama,... sebuah karya keroyokan bersama pak Wapres, Jusuf Kalla dan kompasianers lain"]

14165184851419706204
14165184851419706204
[/caption]

[caption id="attachment_336814" align="aligncenter" width="300" caption="Terbaru, Pancasila Rumah Kita "]

1416520105517965911
1416520105517965911
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun