Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Hidup terus bergulir, kau bisa memilih diam atau mengikutinya, mengacuhkan atau mempelajarinya. Merelakan, atau meratapinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan yang Dipasung

20 April 2016   12:58 Diperbarui: 20 April 2016   13:06 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apakah awal itu akhir yang bermula? Lalu terpintal seperti benang, kepada permulaan, kepada pengakhiran, terus berselingan tanpa akhir, atau tanpa mula, tergantung bagaimana kau melihatnya. Dan pengulangan akan keruh kemudian, dikotori oleh jenuhmu yang deras berpeluh, menetes karena berusaha memandangi setiap kelebatan, namun dayamu terbatas, dan peluhmu menderas. Jika sudah begitu, akankah kau masih terus berusaha dengan matamu untuk menguak dasar yang sudah dilapisi dengan berbagai peluh keruh itu?

Angin sudah lelah untuk marah pada hari itu, dia hanya ingin tenang, dan diam. Hanya mungkin menari perlahan sambil menunggu selembar lagi hidupnya terlepas. Untuk kemudian jatuh di selokan, atau di rerumputan, atau di kamar, atau di pasar, atau di tempat akhir dimana sampah berlabuh. Seakan dia tau tentang itu. Mungkin akan menampar mereka yang suaranya berkuasa atas kehidupan mereka, atau mengangkat mereka yang terpuruk terjatuh, terjegal oleh ribuan kaki dalam perjalanan sendiri mereka. Seakan dia tau tentang itu.

Tapi rupanya perempuan itu tak mengijinkan hari itu untuk berlalu dalam tenang. Kemarahan adalah jati dirinya. Mungkin dia merasa akan hilang bila melepasnya. Angin belum berani menyatakan keyakinannya mengenai itu. Pekik si perempuanpun mengoyak di antara keramaian, dan gaduhpun menyusul. Ternyata keramaian itu masih bisa ditambah, walaupun sudah meluber dari bibir gelasmu. Dia bisa meluber-luber melebih-lebihi itu, mungkin lalu tumpah ruah dan mengudara, lalu terhisap oleh paru-paru hingga sesak dadamu. Biar terasa di setiap penjuru nadimu.

Dan Anginpun sesak sudah, setiap sudut-sudut nadinya yang sudah tergelitik sejak tadi, lalu menggelinjang karena gelombang kemarahan yang kini juga melanda dirinya.

"Diam!" pekiknya satu oktaf lebih tinggi dari si perempuan, yang lalu terkaget, pekiknya pun terkubur sudah.

"Aku hanya ingin menari perlahan sambil menunggui malam berlalu, apakah permintaanku ini berlebihan?"

Perempuan lalu termangu. Tersadar akan sesuatu. Ternyata kemarahan itu masih bisa ditambah, walaupun sudah meluber-luber dari mulutnya. Gelombang tinggi hasil luberan itu ternyata masih bisa disapu dalam sekejap oleh satu ombak yang tak begitu meyakinkan dari penampilannya. Dia jadi teringat sesuatu tentang buku. Dan dia mengira sampul Angin adalah kekosongan di balik muka tampan, sebagaimana dirinya yang cantik, namun dia berharap orang melihatnya lebih dari sekedar itu.

Perempuan ditampar sekali lagi oleh kesadaran karenanya. Benih Angin lalu tertinggal dalam dirinya, dan bagaikan benih ajaib, langsung bertumbuh pesat dan keluar dari segenap pori-porinya. Dan ketika perempuan itu melihat ke arah kakinya, sebuah rantai sudah memasung dirinya. Dan dia tak pernah mengira bahwa dipasung akan senyaman ini. Yang dia tau, dipasung itu akan menggerus sampai hilang jati dirimu. Dia lalu teringat kepada kemarahannya. Bukankah kemarahannya adalah jati dirinya? Dan kini setelah tersapu sudah amarahnya oleh ombak yang tidak begitu meyakinkan itu, perempuan makin mengerti bahwa dia memang sudah dipasung kini. Hanya saja dia tak pernah tau bahwa dipasung akan senyaman ini.

Lelaki yang sedari tadi berusaha mengurai gelombang tinggi yang dihasilkan kemarahan si perempuan, hanya meneruskan usahanya itu, tanpa tau mengenai pasung yang kini ada di kaki perempuan itu. Dia memiliki caranya tersendiri untuk mengikatkan rantai ke perempuan itu, yang telah dia gulung dan gulung secara perlahan-lahan. Caranya adalah bertahan terus-menerus kala gelombang itu sedang bertubi, sambil menyelam di antaranya dan berusaha mengurai gelombang tersebut. Bila kemarahan adalah jati diri si perempuan, maka dia telah membutakan matanya, agar tak bereaksi sama sekali ketika gelombang itu mulai menggulung dari kejauhan. Dia hanya akan menerima saja bila gelombang itu sudah menyentuh dan menggulungnya. Sehingga ketika si perempuan sudah lelah menggulungnya, ganti si lelaki yang akan mengikatkan rantainya satu putaran ke tubuh si perempuan. Dia berharap suatu saat nanti si perempuan akan terikat penuh dan menjadi miliknya seutuhnya.

---

Perempuan yang dipasung itu sedang duduk di tepi pantai. Berharap Angin dapat menghampirinya, karena yang dia tau, disitulah tempat angin-angin berkumpul. Rantai mengikat di tubuhnya berpuluh gulungan, dan dia mulai kehilangan kenyamanan karenanya. Dia tau lelaki itu telah terus menggulungkan rantai itu berkali-kali ketika ia sudah lelah mengamarah. Dan dia juga tau, hanya lelaki itulah yang terus bertahan di tengah sapuan-sapuan gelombangnya, sehingga dia membiarkan lelaki itu mengikatnya dengan rantai itu. Tapi kini amarah sudah bukan jati dirinya, sehingga rantai yang mengikat tubuhnya itu mulai terasa menyesakkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun