Mohon tunggu...
Anton Kurniawan
Anton Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

SMA Kolese Kanisius 2013 | Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB 2013

Selanjutnya

Tutup

Politik

2014: Pemilu, Pencitraan, dan Post-modernisme

21 Januari 2014   21:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:36 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Barangsiapa dapat menunjukkan citra positif dan tanggap dalam fenomena post-modernisme akan memenangkan hati rakyat.

Memasuki tahun 2014, persiapan pertandingan politik lewat Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia semakin gencar dilakukan. Berbagai pihak, entah itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak yang mempunyai hajat hingga partai politik termasuk di dalamnya calon legislatif melakukan jurus-jurus untuk meraih simpati publik. Bagi mereka, seolah tidak ada kesempatan kedua, sekarang waktunya, tidak ada kesempatan lain. Buat kontestan yang memiliki kantong tebal, pemasangan iklan jelas bukan masalah besar. Hanya saja, menjadi problema bagi kontestan berdana pas-pasan. Jangankan iklan, pemasangan baliho atau spanduk saja sudah membuat dompet kian menipis. Namun, semua tetap dilakukan. Mutlaklah pepatah: “Tak kenal maka tak sayang”. Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan elektabilitas diri maupun partai. Bakti sosial lebih sering ditemui, perbaikan jalan kampung, kerja bakti pembenahan saluran drainase, hingga yang paling primitif, panggung kesenian diselingi dengan kocokan hadiah juga mewarnai langkah-langkah jelang 9 April 2014. Semua itu wajar, pengorbanan maksimal biasanya selaras dengan hasil optimal. Hanya perlu diingat, masyarakat Indonesia semakin cerdas akhir-akhir ini. Pengalaman “ditipu” pada 1999, 2004, dan 2009, membuat mereka semakin hati-hati dalam memilih. Lebih lanjut, sebagian yang merasa ditipu maksimal cenderung pasif, ogah memilih lagi karena merasa hidup tetap akan sama, siapapun yang mewakili aspirasi mereka. Terjadilah pergulatan sengit untuk memenangkan hati rakyat seperti ini. Kontestan berlomba dengan gaya masing-masing agar jangan sampai suara potensial hanya menjadi kertas kosong tanpa coblosan. Masyarakat Indonesia memang masih dikenal sebagai masyarakat yang sangat terpengaruh dengan pemberitaan media, baik media massa berupa cetak maupun elektronik ataupun media sosial yang menjadi candu zaman ini. Masyarakat seolah dapat melupakan dosa-dosa manusia di masa lalu dengan citra yang baik di media. Sebaliknya, masyarakat bisa mengutuk habis-habisan seseorang yang menjadi si jahat di media tanpa mengetahui duduk perkara sebenarnya. Pencitraan, Solusi Jitu Masyarakat Telenovela Telenovela, drama yang pernah meledak di Indonesia era 2000-an merupakan representasi masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia menggemari tayangan ini bukan tanpa alasan. Masyarakat yang waktu itu menonton, merasa punya keterkaitan dengan bintang telenovela. Masalah kompleks, entah percintaan beda kasta, ekonomi, dan konflik dengan orang tua seolah mengajak penonton ikut hidup di dalamnya. Pemirsa diundang untuk berjuang bersama tokoh, menonton dari perspektif berbeda perjuangan hidup masing-masing yang kala itu masih dibayangi krisis moneter 1998. Faktor wajah menawan dari bintang kian menarik mata yang dahulu jenuh dengan percaturan politik di Senayan dan Istana Negara untuk menikmati telenovela. Tahun 2014 yang dikenal juga sebagai tahun kuda kayu dalam hitung-hitungan fengshui China ternyata menunjukkan fenomena masyarakat telenovela kembali. Berbagai survei yang digelar oleh lembaga independen menampilkan hasil mengejutkan. Tokoh-tokoh lama dalam perpolitikan Indonesia digeser oleh satu sosok yang seperti datang dari langit, Joko Widodo ‘Jokowi’. Gubernur DKI Jakarta yang sebenarnya tidak memilii perawakan pemimpin, entah bagaimana mampu meraih simpati masyarakat. Masyarakat ibukota yang sudah gerah dengan tiga masalah krusial namun abadi, yakni banjir, kemacetan, dan tata kota seolah mempunyai harapan baru. Tokoh-tokoh lama, seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, Jusuf Kalla, hingga empunya partai Jokowi, Megawati Soekarnoputri dilangkahi oleh pria asal Solo ini. Pemberitaan luar biasa dari media semakin menambah kesan baik dalam diri eks Walikota Solo tersebut. Bayangkan saja, apabila kita yang merasakan kekecewaan saat banjir lalu melihat pemimpin kita ikut jalan kaki, melepas atribut mewah dan protokoler sambil mencoba menghibur kita di dinginnya genangan air. Walaupun tidak memberi dampak apa-apa waktu itu, seolah ada harapan tumbuh. Pemimpin gue banget tampak dalam diri Jokowi. Masyarakat akar rumput yang telah muak dengan birokrasi berbelit seperti memiliki napas kedua untuk percaya dengan pemerintah. Apabila Jokowi maju dalam pemilihan presiden sebagai calon presiden, tampaknya kemenangan mutlak akan diraih. Namun, diamnya Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) patut ditunggu. Beranikah ia membiarkan sekaligus merelakan seseorang yang tidak bertrah Soekarno untuk menasbihkan diri sebagai presiden di negeri yang dimerdekakan oleh ayahnya? Lantas, kemana saja tokoh-tokoh lama bangsa? Aburizal Bakrie yang telah dibaptiskan menjadi calon presiden Partai Golongan Karya seperti terhambat dengan citranya sebagai pengusaha yang turut bertanggungjawab dengan kasus lumpur Lapindo Brantas. Ada anekdot dimana sampai lumpur terus mengalir, maka ARB, inisial baru Aburizal Bakrie, tetap akan tenggelam dalam lumpur kekalahan. Prabowo Subianto, masih dikejar masyarakat soal kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor-Timur (Timor Leste saat ini). Untung saja, partai Gerindra yang ia arsiteki memberi gambaran jelas mengenai visi ke depan: Indonesia Macan Asia. Masyarakat yang rindu kemandirian ekonomi dan kebanggaan berbangsa cenderung memilih Prabowo apabila Jokowi tidak maju menjadi calon presiden pada April mendatang. Jusuf Kalla, sosok yang pernah menjadi wakil presiden Republik Indonesia seperti sudah kehilangan momentum. Dalam survei, namanya selalu muncul ke permukaan, namun, peran guru bangsa seperti sudah melekat kepadanya. Akan tetapi, dalam politik, yang pasti adalah ketidakpastian. Kita tunggu saja, bukan tidak mungkin Partai Demokrat yang sudah berdarah-darah akibat dikerjai kadernya sendiri dalam kasus korupsi menjadi kendaraan Jusuf Kalla. Masyarakat telenovela sebenarnya tidak ingin macam-macam. Harga pangan terjangkau, biaya kesehatan dan pendidikan yang masuk akal, dan ketersediaan sumber daya macam Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik, dan air secara konsisten sudah menyenangkan. Masyarakat telenovela tidak peduli angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Yang mereka peduli, lebih soal negara tidak menambah repot kehidupan mereka yang sudah dipusingkan dengan konflik di dalam rumah tangga, maupun masalah klasik seperti telenovela. Memasuki tahun 2014, pembangunan citra akan menjadi hal yang digembor-gemborkan tiap kontestan. Masyarakat Indonesia harus benar-benar hati-hati dengan yang satu ini. Memperhatikan dengan seksama, apakah calon atau pemimpin benar-benar tulus untuk bekerja buat rakyat atau dirinya sendiri menjadi obat penangkal pencitraan semu. Jangan sampai, kita tertipu lagi seperti yang sudah-sudah. Apakah baik benar-benar baik atau justru menutup borok-borok masa lalu? Apakah sungguh tulus ataukah hanya ingin mengembalikan fulus ke kantong mereka? Media juga, jangan dilupakan, berada di pihak mana mereka saat ini? Siapa pemiliknya dan apa kepentingannya? Masyarakat telenovela biasanya sudah tahu jawabannya hanya belum mau menjawabnya. Nanti saja, di surat suara tanggal 9 April 2014! Selamat Datang Post-modernisme! Post-modernisme tampaknya sudah merasuki bangsa Indonesia di 2014. Post-modernisme sendiri merupakan tahap dinamika kehidupan setelah era modernisme. Modernisme ditandai dengan penggunaan teknologi informasi menggeser tradisionalisme yang selama ini melekat. Post-modernisme adalah sebuah antitesis dari kegerahan modernisme. Post-modernisme dapat diklasifikasi menjadi tiga ciri, yaitu dekonstruksi, simulasi, dan hiper-realitas. Pertama, dekonstruksi dimaknai sebagai pembangunan kembali makna dari sesuatu. Sebagai contoh, latar belakang seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) seperti tidak terlalu penting saat ini. Semakin banyak di Indonesia pernikahan antaragama, antarsuku, hingga antarbangsa. Batas-batas kedaerahan semakin pudar, bahkan hilang di kota-kota metropolitan. Faktor seperti itu dianggap tidak terlalu penting. Mulai timbul kenyamanan melihat manusia sebagai manusia tanpa vonis alami dari Tuhan seperti warna kulit dan suku. Kalaupun ada gesekan horizontal akibat agama, itu lebih banyak dihasilkan dari pertikaian individu yang kebetulan beda agama lalu merambat seolah ada pertentangan antaragama. Dewasa ini, Indonesia juga semakin akrab dengan hal-hal yang dahulu tabu, seperti seks dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Film yang ada di bioskop dan pasaran semakin vulgar, kasus pelecehan kian menjadi-jadi, dan mulai ada suara untuk mengesahkan pernikahan homogen alias sesama jenis. Dalam hal ini, agama menjadi benteng terakhir. Secara manusia, memang tidak ada yang salah dengan percintaan sesama laki-laki atau perempuan. Namun, secara agama, Indonesia masih cukup kolot dengan belum melegalkan pernikahan sesama jenis. Kasus transgender yang dulu selalu mengundang perhatian pun kini biasa saja terjadi. Memang, masih ada sentimen miring terhadap pelaku, namun permisifnya masyarakat telenovela memungkinkan hal itu. Kontestan dalam Pemilu 2014 ini harus hati-hati benar dalam menghadapi hal ini. Kedua, simulasi semakin gencar terjadi di Indonesia.  Masyarakat ingin mudah, praktis, dan tidak repot-repot. Fenomena teknologi informasi menjadi idola saat ini. Media sosial memakan sebagian waktu kita yang biasa digunakan untuk perbincangan tatap muka. Lebih muda memakai Global Positioning System (GPS) saat ini dibandingkan bertanya dengan mulut untuk mencari alamat. Fenomena permainan di dalam komputer dan tablet juga menggandrungi anak-anak. Permainan yang mengandalkan fisik semakin dipinggirkan terutama bagi anak-anak di kota besar. Seolah ada kebanggaan apabila berjaya di dunia simulasi walaupun dalam kehidupan nyata melempem. Dikaitkan dengan politik 2014, calon pemimpin potensial seperti Anies Baswedan, Dahlan Iskan, dan Gita Wirjawan masuk dalam bagian ini. Anies Baswedan, sosok intelektual yang merupakan rektor Universitas Paramadina tampil meraih simpati masyarakat lewat tajuk klasik “Melunasi Janji Kemerdekaan”. Jawaban-jawaban cerdas dalam setiap forum, termasuk mengapa mau ikut konvensi Partai Demokrat memukau banyak pihak. Salah satu rekam jejak paling baik yang ia torehkan adalah program “Indonesia Mengajar”, program untuk mengirimkan mahasiswa ke pelosok daerah untuk berbagi kecerdasan dengan anak-anak yang masih tertinggal. Selain itu, aksi #turuntangan cukup meraih simpati publik di media sosial. Sebuah ungkapan menarik pernah ia lontarkan, “Bila yang baik berdiam diri saja, maka sama saja membiarkan yang jahat duduk di kursi kekuasaan”. Dahlan Iskan, sosok menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini meraih simpati publik lewat aksi yang cenderung nekat. Ia mengganti direksi BUMN yang dianggap kurang kompeten, mendukung program mobil nasional, sekaligus tampil dengan tampilan sederhana, yakni kemeja putih dan sepatu kets. Beberapa mungkin masih ingat, saat ia menggeser portal di gerbang tol di Jakarta. Kala itu, semua gempar. Maklum saja, masyarakat telenovela biasanya alergi dengan hal semacam itu. Namun, dengan aksi sederhana itu, terlihat perbedaan. Mulai ada perbaikan di sistem pembayaran jalan tol. Citra positifnya ditambah dengan iklan obat masuk angin yang ia bintangi. Ia cenderung kandidat calon presiden alternatif yang biaya kampanyenya dibantu oleh produk, salah satu efek post-modernisme. Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Gita Wirjawan juga bermain di lapangan yang sama dengan Anies Baswedan dan Dahlan Iskan. Sosok muda, tampan, dan intelektual menjadi idola masyarakat. Jawaban cerdas serta kemampuannya dalam bermain musik menambah baik penilaiannya. Dalam konvensi Demokrat, ia menjadi sosok yang diunggulkan. Maklum saja, Susilo Bambang Yudhoyono, presiden RI sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat saat ini, sudah tidak dapat maju dan memilih jalan paling aman untuk mengerek kembali popularitas Partai Demokrat yang telah tiarap. Kemungkinan besar, ia memilih Gita Wirjawan, sosok muda untuk maju menjadi citra Partai Demokrat bagi masyarakat. Wibawa yang ia miliki kira-kira hampir sama dengan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004. Ketiga nama yang disebut memang berlomba dalam konvensi calon presiden Partai Demokrat. Bukan masalah apabila mereka gagal, namun ada sebuah fenomena baik dimana pemimpin sungguh datang dari masyarakat. Yang menjadi pertanyaan, apakah itu cukup untuk menutup kebobrokan Partai Demokrat akibat dibunuh kadernya sendiri? Apakah pemenang konvensi Demokrat ini cukup tangguh menghadapi Jokowi dan Prabowo Subianto, dua sosok paling populer saat ini? Waktu akan menjawab. Hiper-realitas menjadi ciri terakhir post-modernisme di Indonesia. Ada pelebih-lebihan dalam berbagai peristiwa akhir-akhir ini. Media jelas menjadi motor terbesar. Masyarakat disuguhkan oleh berita-berita keras seperti korupsi, terorisme, dan narkotika. Ketika ada berita baik, masyarakat heboh, gempar dan senang, walaupun berlebihan. Fenomena ini tampak saat Tim Nasional Sepakbola U-19 berhasil juara Piala AFF di Jawa Timur pada 2013 kemarin. Kehebohan dimana-mana terjadi. Selain karena kerinduan juara, memang ada harapan baru di tengah kemerosotan prestasi Indonesia di dunia. Tanggapan sensasional terjadi lagi saat Evan Dimas dkk. sukses menekuk Korea Selatan. Indonesia seperti sudah juara dunia waktu itu. Padahal jalan masih panjang. Belum ada gangguan dunia hiburan dan pesan politik yang sudah-sudah, semoga juga tidak. Hal-hal mendasar seperti ideologi tidak terlalu penting saat ini. Yang dinilai sungguh hanya individu. Ada fenomena melebih-lebihkan dari masyarakat yang sudah terlanjur rindu kemajuan. Partai sesungguhnya menjadi nasionalis murni, hanya figur yang membedakan. Kalaupun ada pemilih setia, itu dapat disebabkan latar belakang dan lingkungan yang mendukung. Maka dari itu, gagasan Soekarno dapat muncul kembali ke permukaan dalam perpolitikan Indonesia di masa mendatang. Indonesia niscaya akan maju apabila memiliki satu partai saja, partai nasional. Orang-orang terbaik dari berbagai golongan, faksi, dan ideologi bergabung dalam satu partai, tidak terpisah seperti saat ini. Meskipun gagasan ini dianggap kuno, dengan kondisi hiper-realitas saat ini justru dapat terjadi. Tidak akan ada persaingan kekuasaan untuk tokoh-tokoh potensial melainkan saling mendukung untuk negara ini. Tidak ada lawan politik, yang ada hanya kawan politik. Gagasan ini sangat mungkin terjadi apabila Pemilihan Umum 2014 gagal melahirkan pemimpin yang merepresentasikan kebutuhan rakyat. Ide ini dapat pula terjadi saat pencitraan semakin menjengkelkan, semua memakai topeng dan tidak tampil apa adanya. Masyarakat Indonesia benar-benar dalam kegentingan politik pada 2014. Barangsiapa dapat menunjukkan citra positif dan tanggap dalam fenomena post-modernisme akan memenangkan hati rakyat. [caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Barangsiapa dapat menunjukkan citra positif dan tanggap dalam fenomena post-modernisme akan memenangkan hati rakyat."][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun