Mohon tunggu...
Anon Prihatno
Anon Prihatno Mohon Tunggu... -

Penggulat Hukum, Menang Tanpo Ngasorake (Menang Tanpa Mempermalukan), Saat ini tinggal di Lereng Merapi yang sedang berusaha memaknai hidup.......

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Penalaran Hukum untuk Keadilan Masyarakat Miskin

2 Juni 2010   15:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:47 2101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penalaran hukum sebagai suatu metode atau bagian dari ilmu hukum harus mampu menjawab persoalan-persoalan keadilan di masyarakat khususnya bagi masyarakat miskin dalam pengertian baik secara ekonomi, politik maupun sosial budaya yang mengakibatkan lemahnya akses terhadap hukum. Penalaran hukum yang didalam dirinya memang merupakan proses berfikir dengan menggunakan hukum-hukum penalaran yang mampu menembus batas-batas doktrinal hukum, pada saat kondisi terjadinya karut marut dalam praksis hukum maka harus dikembalikan kepada penalaran hukum untuk dapat menemukan keputusan hukum yang benar. Disamping itu penafsiran atas hukum dengan mengingat struktur masyarakat Indonesia yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin haruslah menjadi pertimbangan dalam penerapan hukum.

Menurut Schroth, adanya kebutuhan untuk melakukan penafsiran itu dapat dikembalikan kepada tiga alasan yaitu (Budiono Kusumohamidjojo, 2004):

1. Pertama, penafsir tidak dapat lagi ‘mengikuti' naskah kaidah undang-undang yang harus dipahaminya, karena dia tidak tahu bagaimana harus mengikutinya,

2. Kedua, naskah kaidah undang-undang yang harus dipahami memang tidak lengkap,

3. Ketiga, naskah kaidah undang-undang sebagimana adanya itu memang tidak dapat dipahami.

Permasalahan ketumpang tindihan hukum dan ketidaktaatan azas bisa terjadi karena tafsir atas hukum yang dilakukan oleh para legislator terlebih para aparat penegak hukum yang mengoperasionalkan hukum tidak dilandasi pemahaman yang mendasar atas hukum yang harus memenuhi prinsip-prinsip yuridis, historis dan filosofis demi keadilan masyarakat.

Sejarah hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui bersama selama tiga setengah abad perjalanan bangsa Indonesia berada dalam penjajahan Belanda. Seiring dengan itu pula bangsa Belanda menerapkan hukumnya didaerah jajahannya tidak terkecuali di Indonesia. Apabila kita runtut lagi ke belakang hukum Belanda berasal dari Perancis sejak jaman Romawi, yang tidak lain sebagai negara yang menjajah Belanda. Salah satu diantaranya (Kansil, 1992) adalah Code Civil yaitu "Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perancis" yang dibukukan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1804, banyak dimasukkan didalamnya hukum Romawi.

Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri prinsip-prinsip dan azas-azas hukum yang berlaku di Indonesia hampir sama dengan hukum Belanda, tentu disamping hukum adat dan hukum kebiasaan sebagai living law yang tidak dapat terelakkan. Indonesia berhukum Belanda ini setelah jaman kemerdekaan dikukuhkan kembali (Andi Hamzah, 1994) dengan berlakunya Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 mengatakan "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menrut Undang-Undang Dasar ini". Keadaan kesejarahan yang demikian telah menempatkan Indonesia ke dalam sistem hukum Eropa Continental.

Perjalanan kesejarahan hukum di Indonesia yang kental dengan sistem hukum Eropa Continental / civil law yang menghendaki adanya unifikasi dan kodifikasi hukum membawa konsekuensi aliran positivisme hukum sangat kental di Indonesia. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan sebagai sebuah kenyataan kesejarahan hukum. Oleh karena itu positivisme hukum di Indonesia merupakan realitas hukum yang hidup, berkembang dan berlaku sebagai sebuah kebudayaan dalam arti sebagai hasil karya, karsa dan cipta bangsa Indonesia tentu dengan menyesuaikan kondisi sosial, politik dan budaya setempat.

Aliran positivisme hukum di Indonesia yang berakar pada kesejarahan hukum di Indonesia membawa konsekuensi logis pada berkembangnya model penalaran positivisme hukum terutama pada Pengembanan Hukum Praktis tidak terkecuali Polisi, Jaksa dan Hakim. Berangkat dari kenyataan kesejarahan hukum di Indonesia tersebut diatas maka model penalaran positivisme hukum dengan segala kekurangannya dan kelebihannya dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif. Salah satu kekurangannya adalah model penalaran positivisme hukum pada tataran aksiologis mempunyai kecenderungan menghasilkan kesimpulan yang menitikberatkan pada kepastian hukum.

Untuk menghindari jebakan kepastian hukum maka untuk meminimalisirnya perlu adanya design model penalaran positivisme hukum yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Berkaitan dengan penyesuaian dalam konteks keindonesiaan Shidarta menjelaskan (Shidarta, 2006) mengingat penalaran hukum melibatkan subjek hukum (manusia) yang ketika menghadapi suatu kausus konkret harus berpikir kontekstual dalam lingkaran kebudayaannya demi melahirkan putusan yang bersifat praktis (dapat dieksekusi), maka tujuan penalaran hukum yakni kepastian hukum tersebut tidak mungkin dapat berdiri sendiri tanpa didampingi dengan tujuan-tujuan keadilan dan kemanfaatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun