Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ketika Ingin Terlihat Gagah sebagai Demonstran

30 Maret 2012   15:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:14 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13331203701313960895

DARIPADA hanya mengomel di status facebook, mendingan saya menulis uneg-uneg serupa curhatan ini. Biasalah, kalau seminggu terakhir ini obrolan orang-orang berkisar soal BBM berikut aksi protes dan segala kontroversinya. Makin dekat ke hari H, 1 April, makin gencar pula tampaknya aksi para mahasiswa pendemo. Aksinya bahkan sudah cenderung membabi buta dan anarkis. Tak jelas lagi apa sebenarnya yang ingin mereka perjuangkan selain ingin memancing kericuhan dengan aparat atau warga yang menentang aksi mereka. Jadi mikir, mereka (mahasiswa pendemo) ini maunya apa? Ada pula yang lucu. Saya sempat menonton aksi mahasiswa pendemo di Makassar selang beberapa hari yang lalu di salah satu stasiun TV. Orang-orang yang mengaku mahasiswa ini memasuki satu gerai restoran cepat saji dan meminta minuman secara cuma-cuma. Aksinya sampai naik-naik meja segala dengan masih sambil berorasi. Haha! Saya cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tindakan yang sudah keterlaluan dan memalukan ini. Coba, apa hubungannya unjuk protes kenaikan harga BBM dengan restoran tersebut? Memangnya restoran itu dapur umum yang bisa menyediakan hidangan gratis untuk para demonstran? Kemana ciri mereka yang katanya berpendidikan dan terpelajar? Ah, terpelajar. Selang beberapa tahun sejak awal reformasi pada Mei 1998, saya mulai sedikit sinis akan aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa, apalagi yang sampai bertindak anarkis. Saya meragukan tindakan mulia mereka untuk berdemonstrasi berdasarkan niat tulus untuk memperjuangkan nasib rakyat. Entahlah. Mereka seperti hanya ingin mencontoh kisah heroik pada Mei 1998 itu, dimana mahasiswa berjaket almamater terlihat gagah berunjuk rasa melawan tirani lalu digelari pahlawan reformasi. Saya memang tidak terlalu paham dengan dunia politik, tapi makin hari agaknya aksi-aksi para mahasiswa itu lebih banyak ditunggangi kepentingan golongan-golongan tertentu dan tidak lagi mencerminkan perilaku serta intelektualitas yang seharusnya mereka sandang. Padahal mereka adalah calon sarjana yang notabene sebagai generasi penerus bangsa. Tahun 1998, saya memang belum menjadi seorang mahasiswi, apalagi pendemo. Saat kerusuhan Mei itu terjadi, saya masih remaja berumur 15 tahun, yang dua bulan lagi akan duduk di bangku SMU. Masih segar dalam ingatan ketika para mahasiswa di daerah kampus, yang dekat dengan lokasi bimbingan tes saya kala itu, sering melakukan aksi bakar ban bekas dan berorasi. Masih tercium aroma perih menusuk hidung gas air mata saat melintasinya, padahal demonstrasi sudah usai sore itu. Masih tampak jelas bekas-bekas kerusuhan di pusat kota yang jauh hari setelahnya baru saya lihat. Kaca-kaca jendela gedung yang berpecahan, belum diperbaiki. Pintu-pintu rumah dan toko warga keturunan tionghoa yang dicoreti kata "Pribumi!" karena ketakutan mereka diamuk dan dijarah massa. Luar biasa memang. Gejolak yang merembet dari pusat sampai ke daerah-daerah di luar pulau Jawa. Memang tujuan tercapai. Orde baru dengan segera digantikan orde reformasi. Tapi sungguh, bekas aksi kekerasan plus kebrutalan yang dilakukan pendemo dan warga yang berubah anarkis pastilah masih membekas sampai kapanpun di hati para korban dan keluarganya. Lalu, apakah para demonstran sekarang ingin mengulangi sejarah yang sama? Revolusi macam apa yang sedang mereka gerakkan? Apakah revolusi atau -setidaknya- demonstrasi anarkis sebagai satu-satunya jalan untuk menyelesaikan segala persoalan di negara ini? Apakah mereka hanya sedang membela ego dan kepentingan pribadi mereka? Takut betul saya bertanya; Apakah hanya karena mereka ingin disebut pahlawan yang akan dikenang sebagai pembela kepentingan rakyat? Memang pemerintah sudah banyak salah pada rakyatnya. Terlalu banyak sudah luka-luka menganga yang diasami oleh kelakuan para petinggi negeri yang tak peduli pada rakyat. Korupsi. Kata lama yang entah kapan akan usang. Tak peduli berapa panjang gelar, berapa tinggi jabatan yang mereka duduki, mereka yang korup sudah menunjukkan kalau diri mereka termasuk orang-orang yang tak terpelajar secara akal dan moral. Tapi apakah kita sebagai rakyat harus ikut tak terpelajar seperti pemimpin-pemimpin yang korup itu? Jika unjuk rasa yang sehat tak lagi mampu mengusik kepekaan para pemimpin kita, tak perlu juga rasanya harus membuang-buang energi untuk ber-anarkis ria melawan kebijakan yang terlihat tak pro rakyat. Siapa yang kemudian dirugikan dalam hal ini? Kita juga. Rakyat juga. Berbagai fasilitas umum dirusak untuk sesuatu yang belum tentu didengar. Lalu akan diperbaiki dari hasil jerih payah kita juga. Belum lagi nyawa yang ikut terancam melayang sia-sia, dan itu juga belum tentu mampu membuka hati mereka. Jadi untuk apa? Indonesia masih muda usia. Baru beberapa tahun lewat setengah abad. Jangan bandingkan negara muda kita dengan negeri jiran yang sudah pandai berlari, sementara kita masih berjalan, bahkan merangkak. Negara tetangga memang lebih muda usia, tapi mental mereka sudah terbina baik sejak awal merdeka. Sementara kita masih terus berusaha bangkit, agar mampu berdiri tegak di antara pandang remeh negara-negara lain. Kita masih belajar untuk bermental baja dan menyikapi segala sesuatu dengan lebih dewasa. Menuju Indonesia yang aman, adil, dan makmur sentosa itu membutuhkan proses yang panjang. Tidak semudah mengedipkan mata. Perihal terpelajar, teringat lagi saya akan kalimat bijak tokoh Jean Marais pada Minke, dalam Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer; "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan". Sepenggal kalimat yang begitu membekas di hati dan pikiran. Menjadi refleksi bagi siapa saja yang ingin bercermin diri. Bila dicerna dan diresapi baik-baik, sudah terpelajarkah kita sebagai manusia yang berpendidikan? Adilkah kita jika melihat sesuatu hanya dari satu sudut pandang saja? Bisakah kita lebih adil menilai, dalam hal ini, dari sisi pemerintah yang mungkin memang sudah kewalahan untuk mencari alternatif lain selain menaikkan harga BBM? Mampukah kita berpikir positif dalam menyikapi situasi ini? Jauh di atas itu semua, kita bisa coba mencernanya dari sisi spiritualitas. Bukankah Tuhan Maha Adil? Bukankah Tuhan Mahakaya? Bukankah Tuhan Maha Pemberi Rezeki? Jika kita mengaku makhluk yang ber-Tuhan, situasi macam apapun tidak akan membuat kita gentar, tidak akan membuat kita putus asa. Ragukah kita akan jaminan Tuhan untuk mencukupi rezeki tiap-tiap makhluk-Nya? Bukankah beserta kesulitan itu akan ada kemudahan? Apa yang sesungguhnya kita takutkan? Tidak mungkin Tuhan membiarkan hamba-hambaNya mati kelaparan begitu saja, kecuali jika hambaNya malas mencari rezeki. Bahkan yang malas mencari rezeki pun tetap memperoleh rezeki dari jalan yang tak disangka-sangka. Toh, sampai kapanpun, akan tetap ada golongan masyarakat miskin. Itu adalah ladang amal yang disiapkan Tuhan bagi hambaNya yang diberi kecukupan rezeki. Siapa yang bisa memastikan prediksi statistik yang menyebutkan jumlah rakyat miskin akan bertambah pasca kenaikan harga BBM? Bisa jadi keterdesakan ekonomi akan membuat banyak orang berpikir lebih kreatif dan inovatif untuk menciptakan lapangan usaha. Bukankah itu pertanda baik? Segala hal yang tampaknya buruk, biasanya sejalan dengan datangnya hikmah kebaikan. Tuhan tidak menciptakan manusia dengan asal jadi. Manusia memiliki insting untuk bertahan hidup dan kemampuan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Bahkan hewan yang diciptakan tak berakal mampu bertahan hidup dengan kemampuan terbatas yang dimilikinya. Senantiasa gagah berani menjalani kehidupan yang penuh tantangan. Lalu mengapa manusia justru takut dengan kenyataan yang akan dihadapinya? Tak terbantah lagi, pastilah semuanya berawal dari pemikiran yang salah, dari pikiran-pikiran negatif yang merasuk sampai ke jiwa. Jika anugerah akal pikiran tak digunakan dengan baik, apapun akan tampak sebagai sesuatu yang buruk, tanpa harapan. Lalu pada akhirnya akan bermuara pada tindakan buruk yang merugikan. Tak mudah, Kawan. Sungguh, tak mudah untuk menjadi pemimpin negeri ini. Negara beribu-ribu pulau dengan beragam kemajemukan. Seandainya para mahasiswa yang saat ini membusungkan dada, yang maju dengan gagah perwira sebagai demonstran, yang menyuarakan hak-haknya atas nama rakyat, diberi kesempatan untuk memimpin negara ini, mereka belum tentu bisa membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Kursi di atas itu empuk. Terlalu empuk hingga mungkin mereka akan tertidur lebih lelap daripada yang sekarang duduk di sana. *** >> Hasil diskusi curhat dengan kompasianer Lintang CR, yang juga menuliskan hasil diskusi curhatnya di sini. >> Gambar ilustrasi dari sini.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun