Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini, Perempuan Pejuang Literasi Sejati

22 April 2019   14:36 Diperbarui: 22 April 2019   14:42 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selalu saja April menjadi momentum,  mendorong saya menelaah kembali sejarah hidup Kartini. Wanita jawa, pendobrak tradisi yang pemikirannya menginspirasi jutaan wanita di negeri ini. Yang kehadirannya juga dihormati kaum lelaki. Dia lembut njawani, tidak seperti Srikandi yang garang di medan perang, namun penanya setajam pedang. Mampu merobek ulu hati siapa saja yang membacanya. Tak hanya perempuan tapi juga kaum laki-laki.

Wanita yang lahir Jepara Jawa Tengah tanggal 21 April 1879 dari pasangan  Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yakni bupati Jepara dengan M.A. Ngasirah, sebagai anak tertua perempuan.  Dipanggil sebagai Raden Adjeng ketika belum menikah dan bergelar Raden Ayu Kartini, ketika sudah menikah. 

Wanita yang dinilai pendobrak tradisi ini mampu meluluhkan hati suami ketika meninggal setahun setelah menikah. Pasca melahirkan anak pertamanya. Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Dia meninggal pada 17 September 1904, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 25 tahun. Dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang Jawa Tengah.

Meninggalnya Kartini  mampu membuat suaminya Raden Mas Djojo Adiningrat sangat terpukul, padahal dia bukanlah  satu satunya istri.

Perasaan sedihnya ini dengan nyata ia tulis dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, sahabat sekaligus wanita yang sudah dianggap layaknya seorang ibu oleh Kartini.

"Dengan halus dan tenang, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan saya, lima menit sebelum hilangnya (meninggal) pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir ia masih sadar."

"Dalam segala gagasan dan usahanya, ia adalah lambang cinta dan pandangannya dalam hidup demikian luasnya."

"Jenasahnya saya tanam keesokan harinya di halaman pesanggrahan kami di Bulu, 13 pal dari kota," tulis Djojo Adiningrat, seperti di kutip dari buku "Kartini: Sebuah Biografi" yang ditulis oleh Sitisoemandari Soerto.

Meninggalnya Kartini menghadirkan duka bagi siapa saja yang mengenalnya. Sosok yang selalu haus akan ilmu, yang terus berusaha mencari keadilan untuk kaumnya, terutama dalam mengambil peranan dalam kehidupan. Ini dibuktikan dengan kegigihannya belajar di sekolah.
Pendidikan dasarnya, ia tempuh di ELS (Europese Lagere School) sampai umur 12 tahun. Dari sekolah tersebutlah Kartini belajar bahasa Belanda. Setelah lulus Kartini tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Usia 12 tahun dia sudah harus dipingit.

Tak berhenti belajar, Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshoft. Ia juga membaca majalah wanita belanda saat itu, De Hollandsche Leile. Banyak membaca  buku berbobot. Beberapa dari koleksi buku Kartini adalah Max Havelaar karya Multatuli, De Stille Kraacht karya Louis Coperus, Roman-feminis karya Goekoop de-Jong Van Beek yang semuanya berbahasa Belanda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun