Papa duduk di teras dengan kopinya, saat ojek online datang menjemputku. Aku melambaikan tangan pada wajah murung itu, dan dia tersenyum sekilas. Senyum yang jarang semenjak kecelakaan itu.
Dulu, setiap pagi aku dan Papa menembus keramaian Jakarta dengan motor besarnya. Aku yang sudah 12 tahun ini duduk di jok belakang yang tinggi, sementara Papa membungkuk di depan menyetir motor Ninja itu.
"Pegangan pundak Papa sayang," katanya.
"Siap bosss," jawabku sambil meletakkan  dua telapak tanganku di pundak Papa.
Di jalanan yang ramai itu aku seperti raja, karena posisi dudukku yang tinggi, berbeda dengan motor matic biasa yang menjadi mayoritas di jalanan.
Papa mahir sekali naik motor. Dia meliuk-liuk diantara mobil-mobil yang melaju tenang. Juga di antara motor-motor yang terburu-buru. Dan aku menikmati sekali setiap perjalanan ke sekolah itu.
Sampai suatu hari, sudah jam empat sore, tetapi Papa yang mau menjemputku tidak juga datang. Hampir satu jam aku menunggu karena bubaran sekolah jam 3 sore.
Bu Sisil, wali kelasku memanggilku yang duduk di parkiran motor. Wajah ramah Bu Sisil terlihat muram, dan dia membawa telepon selulernya untuk ditunjukkan padaku.
"Papamu kecelakaan saat menuju sekolah, kamu ditunggu Mama di rumah sakit, Mamamu meminta ibu memesankan ojek online untukmu," katanya.
Aku mengangguk, perasaanku sungguh tidak enak. Bu Sisil tidak menyebutnya seperti apa kecelakaan itu. Bagaimana keadaan Papa sekarang. Tidak sabar rasanya menunggu abang ojek online itu mengantarkanku ke rumah sakit.
Mama menjemputku di gerbang dekat pintu UGD. Mama memelukku dan terlihat wajahnya sangat muram. Lalu dia mengajakku ke ruang UGD. Papa terbaring disitu dalam kondisi koma.