Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berharap pada Pendidikan?

24 Januari 2017   10:51 Diperbarui: 24 Januari 2017   10:57 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membaca tulisan Y. Sari Jatmiko yang berjudul Mlarat in Ningrat (2008) begitu menarik. Mlarat in ningrat adalah ungkapan dari Romo Mangun yang berarti miskin namun bermartabat. Ungkapan yang merupakan pilihan sikap dari Romo Mangun terhadap kaum miskin dan pemerdekaan kaum miskin menjadi manusia yang bermartabat, yang secara praksis diwujudkan pada pendidikan formal alternatif SD Mangunan.

Dalam salah satu bagian disampaikan bagaimana pendidikan menurut Romo Mangun seharusnya menjadi mediasi terwujudnya sosok citra 'Manusia Pasca Einstein'. ‘Manusia Pasca Einstein’ ini mempunyai karakter eksplorer, kreator dan integral.

Manusia eksplorator cirinya suka mencari bertanya dan berpetualang. Manusia kreator cirinya berjiwa terbuka, pembaharu, dan merdeka. Kritis, kaya imajinasi-fantasi dan tidak mudah menyerah pada nasib. Manusia integral cirinya menyadari akan multidimensionalitas kehidupan, paham akan kemungkinan jalan-jalan alternatif, bijak membuat pilihan yang benar atas dasar pertimbangan yang benar. Yakin akan kebenaran atas dasar pertimbangan yang benar, yakin akan kebhinekaan kehidupan, namun mampu mengintegrasikannya dalam suatu kerangka yang sederhana.

Namun, kalau melihat dunia pendidikan akhir-akhir ini kontruksi manusia pasca einstein yang diharapkan Romo Mangun tersebut sepertinya semakin sulit dilakukan. Utamanya membuat anak menjadi (atau setidaknya menuju) manusia integral yang sangat menyadari multidemensional kehidupan. Bahwa ada kebhinekaan dalam kehidupan. Yang artinya tak pernah ada tafsir tunggal terhadap segala sesuatu.

Hari-hari ini kita begitu disesaki oleh beragam cuitan, status, broadcast dan banyak hal tentang banyak tema. Saling serang dan hantam menjadi hal biasa. Biasa saja jika argumentasinya yang diajukan tepat, data yang disajikan akurat. Bisa saling konfirmasi dan berbagi. Namun, problemnya adalah saling serang karena diawali ketidaksukaan atau lebih buruknya kebencian. Kalau sudah benci ya bagaimana lagi. Apapun yang dilakukan salah.

Dan seluruh ruang hidup kita disesaki oleh hal-hal yang tidak menyenangkan. Saya pernah menghadiri maulid nabi, khutbah jumat, sampai ceramah pernikahan yang isinya hanya serangan kepada pihak yang bersebrangan, yang tak disukai. Jangan bayangkan maulid nabi bercerita tentang uswah Rasulullah atau ceramah pernikahan berisi tentang wejangan membentuk keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Saya yang masih perlu banyak belajar, dan bersemangat mendengarkan ceramah tersebut tiba-tiba menjadi merasa lelah dan kesal. Kenapa ruang-ruang pertemuan dengan umat dijadikan sarana untuk saling menghujat.

Yang paling saya khawatir ruang-ruang kelas yang harusnya menjadi ruang pertemuan beragam ide atau gagasan tak terkooptasi oleh pertarungan di sosial media. Akan sangat buruk jika ini terjadi. Semoga saja tidak. Karena pada dunia pendidikanlah harapan bagi masa depan kebangsaan ini disematkan.

Pendidikan yang memanusiakan, memberikan ruang besar bagi kreativitas dan kemerdekaan peserta didiknya, yang menjadikan para siswa tak lupa pada keindonesiannya, yang menjadikan anak-anak yang saling menyangi, yang membuat anak tak saling benci dan curiga. Pendidikan yang membuat mereka selalu bahagia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun