Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendengar Kisah Pilu Horor Guru Honorer

11 Desember 2017   18:04 Diperbarui: 11 Desember 2017   18:15 2001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjadi guru merupakan pilihan mulia. Tak sembarang orang bisa menjadi guru. Terutama guru yang memiliki dedikasi pada dunia pendidikan, yang jiwa dan raganya tertambat pada anak-anak yang membutuhkan pencerahan. Guru yang memiliki tekad kuat untuk berjuang mencerdaskan dan memberikan pencerahan kepada anak bangsa. Upaya besar untuk mencerdaskan anak bangsa tentu harus selaras dengan peningkatan martabat dan kesejahteraan guru. Namun, impian memiliki hidup layak sepertinya masih jauh dari harapan guru-guru honorer di republik ini.

Kisah miris Fandi, Guru PPKn di salah satu sekolah swasta di Jakarta adalah contoh nyata dari betapa masih memprihatinkannya kondisi guru honor di negeri ini. Diberitakan Tribunnews.com (4/12/17), Fandi harus menjaga toilet umum di kawasan Kota Tua dan berdagang membantu kerabatnya karena gaji yang diterimanya sebagai guru tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Masih banyak Fandi-Fandi lainnya di negeri ini, guru honorer yang tak mendapat penghasilan yang layak. Bayangkan saja, di saat kebutuhan hidup semakin berat, masih ada guru honorer yang setiap bulan hanya menerima uang kurang dari 500 ribu rupiah. Masih beruntung jika uang tersebut diterima secara rutin setiap bulannya. Penundaan gaji adalah hal yang amat biasa terjadi. Padahal kebutuhan harian tak pernah bisa menunggu. Uang belanja yang harus dipenuhi, susu anak yang harus dibeli, atau biaya sekolah yang harus dibayarkan tak bisa ditunda-tunda.

Jangan heran juga jika masih banyak guru honorer yang berselingkuh tak bersetia dengan siswa yang diajarnya karena harus mengasong di luar pekerjaan rutinnya sebagai pendidik. Tak jarang mereka mendua, bekerja di dua sekolah yang berbeda, Ada yang mengajar secara privat maupun di tempat bimbel, menjadi tukang ojek online, pekerja bangunan, berdagang, dan atau melakukan jenis pekerjaan lainnya. Yang penting periuk nasi tetap terisi, dapur tetap ngebul.

Menjadi guru honorer adalah horor yang mencekam. Bayangkan saja, dengan gaji seadanya mereka harus tetap bertahan. Mereka harus siap digaji kecil alakadarnya. Jangan harap ada jaminan kesehatan, jaminan hari tua, atau jaminan kematian. Dibayar tepat waktu saja sudah sangat beruntung. Jangan bayangkan pula penjenjangan karir yang pasti. Kondisi tersebut sangat jauh berbeda dengan guru berstatus PNS atau guru tetap yayasan di sekolah-sekolah swasta bonafide yang penghasilannya sudah memadai.

Guru honorer yang mengajar di sekolah swasta yang kebanyakan siswanya berasal dari kalangan tidak mampu, dituntut kesabaran dan keikhlasan tingkat tinggi. Sebab sekolah pasti memiliki keterbatasan dalam memberikan gaji bagi mereka. Untuk biaya operasional sekolah saja sudah sulit, apalagi jika harus mencukupi kebutuhan guru. Jelas mereka tak bisa berharap banyak mendapat kesejahteraan yang layak.

Tak jauh berbeda, guru honorer di sekolah negeri pun demikian. Bedanya, guru honorer yang mengajar di sekolah negeri sedikit punya harapan agar dapat diangkat menjadi PNS. Itupun mereka harus sabar menunggu. Ada guru yang harus menunggu 5 tahun, 10 tahun, bahkan sampai 15 tahun untuk diangkat menjadi PNS.

Yang lebih sedih, sudah menunggu lama tapi tak kunjung diangkat menjadi PNS. Memang mekanismenya sering tak jelas dalam proses pengangkatan PNS bagi guru honorer. Di beberapa daerah bahkan agar status mereka meningkat, bukan rahasia lagi, mereka dipungut sejumlah uang. Tentu sulitnya semakin berlipat-lipat.

Akhirnya banyak yang kemudian terpental karena tak kuat menahan beban.  Tak sanggup mengikuti lamanya pengangkatan. Mereka akhirnya menyerah dan meninggalkan profesinya sebagai guru. Bukan karena tidak mencintai profesinya sebagai guru. Tapi, kebutuhan hiduplah yang menjadikan mereka memalingkan diri dari profesi guru. Sebab, seperti profesi lainnya, mereka  membutuhkan mendapatkan kehidupan yang layak.

Tak salah jika setiap tahun, guru-guru tersebut menuntut agar diperhatikan pemerintah. Tuntutan demi tuntutan disuarakan agar mereka mendapatkan hidup yang lebih baik dan layak.   Jika dari aspek kinerja guru dituntut untuk menjadi profesional seharusnya diiringi dengan komitmen pemerintah untuk memberikan insentif yang juga sepadan. Dalam kinerja bahkan tak ada beda antara guru honorer dengan guru berstatus PNS. Beban kerja dan tanggung jawabnya sama dengan guru PNS tapi kesejahteraannya bagai langit dan bumi.

Para guru honorer juga berkontribusi bagi pencerdasan anak bangsa. Posisinya sama seperti guru PNS. Oleh sebab itu pemerintah harus mencari cara terbaik agar merweka pun mendapatkan kehidupan yang layak. Di Provinsi DKI Jakarta misalnya sejak tahun 2015 terdapat Pergub No. 235 tahun 2015 yang mengatur mengenai pemberian gaji sesuai UMP bagi guru dan tenaga kependidikan honorer di lingkungan sekolah negeri. Meskipun dalam aturan ini guru swasta tidak termasuk. Guru swasta pun sudah semestinya mendapatkan perhatian dari pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun