Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Geopolitisasi Sempit yang Menjerembabkan Bangsa

7 April 2020   15:32 Diperbarui: 9 Mei 2020   12:02 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Geopolitisasi Sempit yang Menjerembabkan Bangsa*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Nampaknya, kalau pun tidak secara keseluruhan tapi di sebagian masyarakat, sedang berlaku suatu cara pandang yang berdasar prinsip oposisi berpasangan (binary opposition).

Yaitu suatu prinsip pengelompokan dimana hanya ada dua kategori. Dan keduanya saling berhadapan, versus satu sama lain. Dalam kehidupan sosial dan politik semacam itu yang berkembang adalah cara pandang 'kami' berhadapan dengan 'kalian', kelompok kita versus kelompok sana.

Kelompok kami yang suci, sedangkan kelompok kamu adalah yang perlu dipertobatkan, kamu calon penghuni neraka sedangkan kita adalah ahli surga. Kamu salah banget, kitalah yang paling benar. Kita Pancasilais melawan kamu-kamu yang PKI.

Pokoknya kalau bukan bagian kita pastilah itu musuh. Dan karena dia musuh maka harus dimusnahkan, dengan cara halus maupun kasar. Begitulah prinsip dasar binary-opposition.

Suatu labelisasi yang amat sangat dangkal. Ya sederhana sekali, maka gampang dicerna dan ditelan otak awam manakala terus menerus disemburkan dengan agitasi massa.

Firehose of falsehood. Lewat pidato dari mimbar maupun lewat corong media yang sudah dikooptasi maupun lewat media yang naif atau malah kurang cerdas. Kebohongan disemprotkan terus menerus yang akhirnya memisahkan pikiran sosial dari realitas sosial.

Suatu cara pandang yang buta warna, semata hanya kombinasi hitam dan putih. Tapi bisa juga jadi abu-abu kalau ada mediatornya, dan biasanya (atau malah selalu?) mediatornya itu adalah fulus. Semua bisa diatur.

Yang melatarbelakangi dikotomi kasar (cuma ada 2 wilayah, kita benar dan kalian salah) yang 'brute' atau brutal seperti itu sesunguhnya adalah suatu politik teritorial. Upaya memperebutkan daerah kekuasaan. Ini adalah sebuah geopolitik. Dimensinya selalu global, yaitu nasional sekaligus internasional.

Mengikuti alur pemikiran Gilles Deleuze dan Felix Guattari (A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, 1992) bahwa pola teritorialisasi (model pengaplingan) seperti itu sesungguhnya dikontrol oleh suatu upaya politisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun