Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Kubur Suara Saya akan Lebih Keras

23 Februari 2020   03:08 Diperbarui: 23 Februari 2020   11:42 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Tujuh puluh satu tahun lalu, tepatnya 21 Februari 1949 Tan Malaka mati ditembak bangsanya sendiri. Usianya 51 tahun kala itu.

Dalam magnum-opus MaDiLog (Materialisme-Dialektika-Logika) ia menawarkan cara mendekonstruksi alam pikir mitis bangsa kita.  Dengan tiga tahapan: dari logika mistika lewat filsafat menuju sains. Madilog sebagai panduan cara berpikir realistis, pragmatis, dan juga fleksibel.

Ditengarai budaya bangsa ini masih pasif dan kerap menafikan atau enggan menggunakan asas eksplorasi berdasar filsafat dan logika sains.

Bangsa Indonesia masih mesti mematahkan belenggu logika mistika, cara pikir yang yang serba irrasional, tidak masuk akal, percaya takhayul, mantra-mantra, roh, ramalan, kultus, pemberhalaan dan sebangsanya.

Tan Malaka berpikir, sejak periode Yunnan sampai imperialisme Jepang, bangsa kita belum punya riwayat kesejarahan sendiri selain perbudakan. Efek dari kebudayaan feodalisme-tradisional dan penjajahan kolonial seakan masih terus "membunuh" cara berpikir bangsa Indonesia menuju kemandirian berpikir (sapere-aude).

Kebiasaan memberhalakan sesuatu tanpa daya kritis dan tanpa keberanian mengubah keadaan, tidak akan dapat menghantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Kemerdekaan dalam berpikir mesti mendahului kemerdekaan Negara yang sesungguhnya.

Dan ini masih berlaku sampai sekarang.

Masih banyak warga kita yang dikungkung logika mistika dalam memahami realitas kontemporer Indonesia. Ditambah lagi absennya keberanian untuk mengubah keadaan secara radikal dan substantif. Masih terlalu banyak kompromi, bahkan dagang sapi dalam hal yang prinsip.

Setelah Tan Malaka, ada Abdurrahman Wahid yang berani berpikir merdeka dan bertindak merdeka. Mereka tak kenal takut untuk mendobrak mistisisme dalam cara berpikir. Sangat rasional, terbuka dan inklusif.

Untuk Gus Dur, walau periode kepresidenannya singkat (sekitar 20 bulan), namun jejak sejarah yang ditorehkannya luar biasa. Menjaga dan merawat kebhinekaan bangsa dan konsekuen menjalankan konstitusi. Berani bayar harga, bahkan sampai dijerat untuk dilengserkan. (Simak: https://www.youtube.com/watch?v=XazIMPOdXCo & https://youtu.be/Js-SiAtICCo)

Sumbangsih mereka berdua dalam membangun budaya baru Indonesia di bidang pendidikan, toleransi, cara berpikir modern dan terbuka, serta praktek politik yang beradab sungguh besar dan abadi tercatat dengan tinta emas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun