Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setop Pelecehan Nalar Publik!

27 Januari 2020   21:48 Diperbarui: 27 Januari 2020   21:49 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Stop Pelecehan Nalar Publik!*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Sudahlah hentikan pelecehan nalar publik. Menganggap rakyat luas itu gampang ditipu terus adalah suatu kepongahan, rasa diri kuat sampai-sampai lupa daratan.

Bagi mereka yang kerap mengelabui publik, ingatlah caveat (peringatan dini) dari Abraham Lincoln ini: "You can fool all the people some of the time and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time."

Kamu mungkin saja bisa ngibulin semua orang sesekali waktu atau sebagian rakyat sepanjang waktu, tapi kamu takkan pernah bisa mengelabui semua orang sepanjang masa. Suatu saat bau busuk bangkai yang kamu bungkus akan tercium juga, dan mereka akan mulai membongkar apa yang sesungguhnya terjadi.

Fenomena politik yang terjadi barusan dengan segala komentar dan tanggapan balik dari pihak yang sedang disoroti maupun menyoroti tampaknya lebih tampil sebagai suatu duolog ketimbang dialog politik yang mencerahkan.

Duolog terjadi manakala dua pihak saling bicara tapi tidak merespon apa yang ditanya oleh pihak lainnya. Responnya OOT (out of topic) istilah jaman sekarang. Sedangkan dialog adalah perbincangan yang logis dalam argumentasi, taat azas dan relevan dengan apa yang ditanyakan atau dengan tanggapannya.

Misalnya saja, pertanyaan seperti: mengapa caleg dengan suara terbanyak kedua dan sudah ditetapkan KPU sesuai Undang-undang dan malahan sudah dilantik pula, toh mau diganti dengan caleg nomor buntut lainnya? Lalu cuma dijawab, oh itu urusan internal partai. Atau kami cuma mengikuti putusan MA (mahkamah agung). Atau, oh caleg nomor buntut itu pintar lho, dia pernah dapat beasiswa dari ratu kekaisaran sejagat. So what?

Itu contoh gamblang sebuah duolog. Antara pertanyaan dengan jawaban tidaklah sinkron, tidak relevan, dan tentu saja sama sekali tidak menjawab apa yang ditanyakan.

Ada lagi contoh fenomena politik seperti ini: publik bertanya, bagaimana tentang keterbukaan pengelolaan anggaran publik? Kenapa tidak ditampilkan rinci di laman (website) resmi pemda? Lalu dijawab/direspon dengan berbagai rilis berita tentang peristiwa gunting pita proyek disana, kasih santunan disini, pejabat anu dapat penghargaan itu, dan beragam peristiwa Public Relations (kehumasan) lainnya.

Pertanyaan awal tentang proses transparansi anggaran akhirnya redup tertutup riuh rendah suara tepuk-tangan PR events yang dirancang untuk mengalihkah perhatian publik dari soal awalnya, yaitu akuntabilitas anggaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun