Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Novel | Bagian-bagian yang Kita Sederhanakan

20 April 2016   23:34 Diperbarui: 23 April 2016   02:20 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Shutterstok"][/caption]

Cerita sebelumnya

Apa pun khayalanmu tentang hari buruk, mereka tetap saja menuntut kita tersenyum. Semua hari adil bagi mereka yang tersenyum manis maupun getir.

Setelah acara makan siang yang tidak pernah direncanakan kami pulang. Bumi pulang ke rumahnya sendiri, sementara aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku lulusan sarjana ekonomi tiga tahun lalu. Pernah bekerja di sebuah pabrik percetakan alat-alat berat sebagai assistance manager. Satu tahun enam bulan di sana dan mengundurkkan diri dan mencari pekerjaan lain. Pontang-panting menenteng ijazah SMA dan di terima di sebuah pabrik pisau cukur sebagai operator produksi selama hampir tujuh bulan. Setelah itu, membawa serta-merta ijasah SMP, memutuskan bekerja sebagai cleaning service di sebuah mall pusat kota. Percayalah, ibu tak menyukai pendapatku bahwa aku ingin merasakaan bagaimana orang-orang menyukai titik nyamannya, ketika ibu bertanya dan berkata, “Kau seperti belalang sembah mencari makan saja?” Setelah itu, ibu menyerahkanku pada Tuhan dan waktu.

Waktu terus melaju seperti laju kereta yang disiplin dan dingin, menabrak apa saja di hadapannya bahkan ketika kau tak sempat mengelak dan menyelamatkan diri.  

Bekerja sebagai guru TK, ibu adalah perempuan cantik yang pertama kulihat ketika lahir, bangun dan tidur setiap hari. Sosok perempuan yang senantiasa terjaga tengah malam untuk kesedihan anaknya yang menganggur dan beranjak tua. Seperti yang kau tahu, ibumu cerewetnya ya ampun. Ketika dalam sehari ibumu dapat menghasikan berjuta-juta kosa kata dan menganggap semua perkataannya adalah penting. Dengan penuh kesadaraan, demi waktu dan demi kebaikanmu, semua kata-katanya memanglah penting—masih menurut ibumu. Ibuku tidak, ia membatasi dirinya sendiri untuk sedikit berbicara.

Minggu pukul 10 pagi, ketika aku pulang dan masuk rumah, ibu sedang duduk di kursi sofa malasnya dengan tenang sekali. Ia sedang menonton televisi—siaran ulang pertandingan bola Liverpool melawan Manchester United—sambil ngemil ubi goreng. Liverpool team kesayangan ibu. Kebiasaan ibu dengan team Livepoolnya itu membuat tetangga yakin bahwa kami pendukung fanatik partai politik yang memiliki lambang banteng bertanduk itu. Karena cat rumah kami berwarna merah. Menjelang hari besar Idul Adha, teman-teman ibu secara manis dan dengan dana iuran mereka, menyeret seekor banteng gemuk dan bertanduk ke halaman depan rumah kami. Teman ibu baik, namun mereka konyol. Pertama, banteng tidak suka disembelih di waktu Idul Adha. Kedua, ibu yang ketika itu mengenakan kaos oblong berwarna merah nyaris saja tewas disruduk banteng kalau saja binatang mamalia itu masih memiliki ambisi keras bahwa ia menganggap warna adalah benar-benar musuhnya. Ibu dirawat beberapa hari di rumah sakit dan pulang dengan membawa luka yang cukup menjawab bahwa waktu menyembuhkan segalanya—secara berkala.

Ayah jarang pulang, aku bahkan tak tahu kini dimana dia berada. Aku adalah anak satu-satunya dan kukatakan pada ibu, “Kau tak perlu khawatir, aku akan merawatmu.” Aku merawatnya dan memutuskan mengundurkan diri sebagai tukang sapu di mall pusat kota itu. “Maaf merepotkan.”

Semuanya kembali pulih seperti yang dijanjikan waktu. Satu-satunya yang belum ia tepati adalah kepulangan Ayah. Dua puluh tahun lalu ia pergi meninggalkan aku dan meninggalkan ibu dengan secarik kertas yang kucurigai adalah kertas tabungan. Ibu selalu berdoa dan bermimipi ingin berangkat ke tanah suci bersama ayah. Namun belakangan ibu lebih banyak menangis sedih ketimbang menangis bahagia. Kau tentu dapat membedakan kedua-duanya, bukan? Kau tentu lebih tahu daripada aku. Aku tak yakin pada diriku sendiri dan rasa ingin tahu membuatku naik pitam dan ketika ibu sedang tak ada dirumah, aku memeriksanya. Dan yah, itu adalah surat cerai. Namun sampai saat ini mereka belum secara resmi bercerai.

Kepergian, kau tahu, membuat orang-orang sekitarmu khawatir. Aku ingin sekali mereka yang pergi dapat berpikir bahwa setiap kepergian dapat membuat mereka berakhir dan berpikir bahwa keberadaannya selalu dirindukan dalam rumah. Kuharap semua orang dapat berpikir seperti itu. Aku mengenal ayah sebagai seorang pelaut dari cerita-cerita ibu dan album-album lama yang sering ibu bersihkan dari debu.

Setiap sore, satu hari setelah kepergian ayah, ibu suka menyetel lagu yang sama berulang-ulang yang dihasilkan dari DVD dan speker ruang tengah di rumah kami. Bary Manilow seperti keyakinan ibu, mewakili suara hatinya. Sambil mengepel lantai rumah, ia menari dan bernyanyi dan berdansa dengan dirinya sendiri, menirukan setiap bagian-bagian lirik lagu yang menurutnya adalah bagian terdalam dalam hidupnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun