Mohon tunggu...
Andi Tri
Andi Tri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Akhir Cerita Panas Pilkada Jakarta

24 April 2017   19:13 Diperbarui: 27 April 2017   06:00 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Beberapa kejadian memang sempat membuat panas Pilkada Jakarta. Kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok menjadi salah satu kejadian yang sangat panas. Ahok yang pada bulan September 2016 yang berkunjung di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, mengutip Surat Al-Maidah ayat 51 dan mengatakan bahwa lawan-lawan politiknya memakai salah satu ayat dalam Al-Qur’an untuk menyerang dirinya, karena identitas ganda sebagai Kristen dan Tionghoa. Semenjak itu, Surat Al-Maidah terutama Al-Maidah ayat 51 menjadi terkenal, baik ayatnya dan tafsirnya.

Penggunaan Surat Al-Maidah ini sebenarnya tidak hanya digunakan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan Ahok untuk menjabat sebagai Gubernur Jakarta kembali saja. Setidaknya sejak Ahok mencalonkan diri sebagai Bupati Bangka Belitung pada 2007, Surat Al-Maidah ayat 51 ini sudah masif digunakan. Surat Al-Maidah ayat 51 ini menjadi semakin masif diperbincangkan. Sejak seseorang bernama Buni Yani mengunggah video Ahok yang memunculkan ucapan tentang Surat Al-Maidah ayat 51 di Pulau Pramuka pada akun facebooknya. Video yang didapat dari akun facebook Media NKRI itu telah dipangkas durasinya dan kemudian dengan cepat menjadi viral di media sosial dan memicu perdebatan serta kemarahan dari umat Islam yang tidak sudi kitab suci dan ulamanya dihina.

Sebagai respon dari video ini, ormas-ormas Islam di seluruh penjuru Indonesia pun melaporkan Ahok atas dugaan menistakan agama Islam. Mereka meminta pada kepolisian untuk menindak lanjuti pernyataan dari Ahok itu. Pada 10 Oktober 2016, Ahok meminta maaf kepada publik karena telah menimbulkan kegaduhan. Beberapa tokoh Islam pun menyatakan bahwa menerima pernyataan maaf Ahok, namun tetap meminta bahwa proses hukum terhadap ahok harus tetap berjalan. Ahok pun resmi menjadi terdakwa kasus penistaan agama pada bulan November 2016.

Namun penegak hukum dinilai lambat dalam menangani kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, sehingga Umat Islam berdemontrasi besar-besaran dengan tajuk Aksi Bela Islam. Mulai dari Aksi Bela Islam I pada 16 Oktober 2016 dengan ribuan ormas Islam yang dikomandoi oleh FPI melakukan aksi unjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta. Mereka menuntut agar penyelidikan terhadap kasus penistaan agama oleh Ahok segera dilakukan. Mereka juga menuntut akan membawa masa yang lebih banyak jika penegak hukum tidak merespon kasus ini. 3 minggu kemudia pada 4 November 2016, ormas Islam kembali menggelar Aksi Bela Islam yang dikenal dengan Aksi 4 November karena proses penyelidikan terhadap Ahok yang dianggap sangat lamban. 

Aksi ini dihadiri oleh sekitar ratusan ribu massa yang berasal dari berbagai daerah. Kemudian pada 2 Desember 2016, umat Islam kembali menggelar aksi yang dikenal Aksi Bela Islam III. Aksi ini berjalan damai dengan kegiatan berdoa dan sholat Jum’at bersama. Aksi ini juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo. Kemudian lanjutan dari Aksi Bela Islam III yakni pada 11 Februari 2017 yang dikenal den/gan Aksi Bela Islam IV. Aksi ini dikoordinasi oleh Forum Umat Islam (FUI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) yang digelar di Masjid Istiqlal dan dikuti oleh lebih dari 200ribu jamaah. 

Kemudian pada 21 Februari 2017, Forum Umat Islam (FUI) kembali menggelar Aksi Bela Islam V di kawasan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka menuntut agar DPR melayangkan surat kepada Presiden untuk menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur Jakarta karena dinilai tidak layak jika Jakarta dijabat oleh seseorang dengan status terdakwa kasus penistaan agama. Kemudian pada 31 Maret 2017, Forum Umat Islam (FUI) dan diikuti berbagai ormas Islam kembali menggelar aksi yang dikenal sebagai Aksi Bela Islam VI. Mereka melakukan long march dari Masjid Istiqlal menuju Istana Merdeka bertujuan agar Presiden Joko Widodo memberhentikan Ahok dari jabatan Gubernur Jakarta.

Respon masyarakat Jakarta dari rentetan Aksi Bela Islam untuk menuntut Ahok ini pun beragam. Masyarakat yang merasa memang Ahok menistakan agama, memilih mendukung atau pro dengan Aksi Bela Islam Ini.  Sedangkan masyarakat yang kontra dengan Aksi Bela Islam ini hanya akan membuang-buang waktu dan dapat menggganggu ketertiban umum, juga membiarkan penegak hukum yang memproses kasus ini. Karena mengawal kasus hukum itu tidak perlu sampai turun ke jalan, cukup percayakan kepada penegak hukum. Perdebatan antara massa pro dan kontra ini ramai terjadi di media sosial.

Rangkaian sidang penistaan agama yang dilakukan Ahok pun menambah suasana panas di masyarakat. Masyarakat yang pro dan kontra terhadap Ahok sama-sama berunjuk rasa di depan gedung tempat persidangan kasus Ahok. Kedatangan massa kedepan tempat persidangan ini saya rasa akan menjadi tekanan bagi penegak hukum dalam memproses kasus ini. Mengawal kasus hukum itu sebenarnya tidak perlu sampai turun ke jalan, cukup percayakan kepada penegak hukum. Ahok sendiri sebenarnya tidak terbukti melakukan penistaan agama sehingga hanya dikenai Pasal 156 KUHP dan dituntut satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Hukuman yang cukup ringan bagi Ahok.

Kejadian panas berikutnya adalah ketika perseteruan lama antara Antasari Azhar dengan SBY kembali terjadi. Antasari yang mendapat grasi bebas bersyarat dari Presiden Joko Widodo, meminta mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk jujur mengenai kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen pada 2009. Antasari mendatangi Bareskrim, Polri sehari sebelum pencoblosan Pilkada Jakarta putaran pertama itu menyatakan bahwa dirinya “dikriminalisasi” dalam kasus pembunuhan Nazarudin. 

Pernyataan Antasari itu pun langsung ditanggapi oleh SBY “Apa belum puas terus memfitnah dan hancurkan nama baik saya sejak November 2016, agar elektabilitas Agus hancur dan kalah”. Dan Pasangan Agus-Silvi pun pada pilkada Jakarta hanya meraih suara dibawah 20 persen. Namun  dari kekalahan Agus-Silvi ini tidak bisa menyalahkan sepenuhnya Antasari yang dinilai menurunkan elektabilitasnya karena melaporkan SBY sehari jelang hari pencoblosan, karena beberapa hari jelang hari pencoblosan, elektabilitas dari pasangan Agus-Silvi ini sudah menurun.

 Dari serangkaian kejadian-kejadian panas selama Pilkada Jakarta inilah masyarakat juga ikut merasakan dampaknya. Masyarakat menjadi terpecah antara mendukung pasangan 1, pasangang 2, hingga pasangan 3. Mereka berdebat di media sosial, saling mengunggulkan pasangan yang mereka dukung, hingga saling menjelek-jelekan pasangan calon lain. Ujaran kebencian, hoax atau berita bohong, hingga provokasi melalui kaos, banner, hingga ancaman tidak akan menerima jenazah muslim untuk disholatkan jika tidak memilih pemimpin Islam pun bermunculan yang  mereka gunakan untuk menjelek-jelekkan pasangan calon lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun