Mohon tunggu...
Anazkia
Anazkia Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Fansnya Anuar Zain, suka baca buku, suka baking, acap berkicau pendek di Twitter @anazkia dan kadang di anazkia.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pak Mista, Pria Sederhana yang Luar Biasa

13 Maret 2015   17:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:42 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14262406981028957861

[caption id="attachment_355365" align="aligncenter" width="410" caption="Pak Mista yang luar biasa"][/caption]

Hari masih gelap ketika kami semua berjalan beriringan menuju Kampung Cibuyutan dari Desa Sukarasa. Matahari belum menampakkan diri tatkala kaki-kaki kecil kami mulai menjejaki jalanan berbatu. Tak ada senter di tangan saya, pandai-pandailah mata kaki ini menjejakkan langkah. Perkampungan mulai tertinggal. “Dua jam jalan kaki untuk menuju Kampung Cibuyutan,” hal ini sudah kami ketahui sejak sebelum berangkat, saat kami masih kerap berdiskusi di group whatsapp volunteer Kampung Sarjana.

Malam  mulai beranjak pergi. Perlahan tirai gelapnya berubah benderang menuju pagi. Tak ada sinar matahari. Sisa hujan semalam masih membekas dengan genangan air di sana-sini. Belum setengah perjalanan, hari mulai cerah. Ya, ini baru permulaan. Satu sama lain saling menyusul dan menyemangati. Sesekali berbincang dengan beberapa teman. Semakin terang hari, semakin banyak lalu lalang warga yang akan menuju ke sawah. Susul-menyusul. Tentunya, rombongan kami selalu terlewat oleh warga setempat.

"Bade ka Cibuyutan, Neng? Masih jauh Cibuyutan, teh," tidak ibu-ibu atau bapak-bapak yang kami sapa, pasti akan menjawab serupa. Sepertinya, mereka sudah hapal kami akan menuju ke mana.

Kampung Cibuyutan, Desa Sukarasa, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor ini cukup terisolasi. Berada di antara Gunung Sungging dan Gunung Langgar, desa ini belum tersentuh pembangunan. Baik jalan, maupun pencahayaan. Pencahayaan sendiri di Cibuyutan kini menggunakan tenaga surya. Kalau musim hujan seperti sekarang, biasanya tidak menyala karena tidak ada penyimpanan tenaga surya. Untuk mencapai ke Kampung Cibuyutan, kita harus menempuh perjalanan kaki selama dua jam. Ada kendaraan motor yang bisa mencapai Cibuyutan, tapi saya pribadi jujur akan memilih jalan kaki daripada naik motor. Jalannya berbukit-bukit, sepanjang jalan dipenuhi bebatuan.

Sampai di Cibuyutan menjelang pukul sepuluh pagi. Kami rehat sejenak di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Miftahussholah, satu-satunya sekolah yang ada di Kampung Cibuyutan. Di sekolah ini juga, ada seorang guru yang sudah mengajar sangat lama.

Pak Mista Mulyadi, pria berusia 43 tahun ini asli kelahiran Kampung Cibuyutan. Nenek moyangnya dulu, merupakan orang-orang yang pertama kali datang ke Kampung Cibuyutan. Beliau mengajar sudah puluhan tahun di Cibuyutan, dari sekolah yang hanya dinding bambu, sampai kini sekolahnya berdinding batu. Dari zaman dulu tak ada lampu, sampai kini di kampung Cibuyutan ada lampu meski masih menggunakan tenaga surya.

Layaknya guru-guru lainnya, Pak Mista mengajar anak-anak MI Miftahussholah. Tak cukup mengajari anak-anak, Pak Mista juga mengadakan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di mana program ini adalah mengajari para orang tua yang buta menulis dan baca. Selain itu juga belajar berhitung.

“Waktu ngajar, kadang sampai ada yang muntah, Neng. Maklum, faktor usia kadang para orang tua ini susah belajarnya,” ujar Pak Mista ketika diajak berbincang menanyakan suka-duka mengajar para orang tua.

Jangan ditanya Pak Mista ini lulusan universitas besar mana. Karena beliau mengenyam pendidikan hanya sampai bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs). Tapi itu tak menghalanginya untuk tetap mengabdi dan berkarya di kampung halamannya. Pria yang sehari-harinya berprofesi sebagai petani selain mengajar ini sedang belajar menanam pisang daun. Tanah yang digunakan merupakan tanah sewa milik keluarga cendana.

Lantas berapa gajinya sebagai seorang guru?

“Rp 800.000 itu pun rapelan enam bulan, Neng. Kadang ada uang tambahan, tapi itu pun tidak selalu,” kata Pak Mista saat ditanya nominal gajinya. Kalau dihitung, tak sampai Rp 200.000/bulan gajinya.

“Siapa yang menggaji Bapak?” tanya saya penasaran.

“Dari Yayasan, Neng.”

Saat ditanya apa beliau pernah jenuh dan bosan mengajar, Pak Mista menerawang. Ia kemudian melanjutkan cerita kalau pernah sekali ia berada di titik kejenuhan, kemudian ia berhenti mengajar. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Karena setelahnya, ia mulai kembali menjejakkan kaki di sekolah, mengajar anak-anak dan para orang tua.

“Tak usah memikirkan banyak hal, Neng. Yang penting, apa yang Bapak punya bisa dibagikan. Saling berbagi," tegas Pak Mista dalam obrolannya. "Harapan terbesar saya adalah melihat anak-anak Kampung Cibuyutan ini bisa melanjutkan sekolah, sampai perguruan tinggi, Neng. Makanya Bapak sangat merasa terbantu dengan programnya adik-adik dari Kampung Sarjana. Selain itu, masih banyak juga komunitas yang kerap datang ke sini untuk membantu kami," Pak Mista menutup cerita.

Saya mengucap terima kasih kepada Pak Mista atas obrolannya. Diam-diam, ada rasa malu yang berbuku. Bertanya-tanya, kalau beliau Pak Mista bisa dengan segala keterbatasannya, lantas saya bisa apa?

Terima kasih kepada Kampung Sarjana atas pengalamannya. Sedikit mengenai Kampung Sarjana

[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Jalanan menuju kampung Cibuyutan"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun