Aku ingin menceritakan pengalamanku yang terjadi pada bulan Agustus di tahun 2018. Pada saat itu, aku lagi menyusun skripsi yang mengangkat tema Politik Jawa dalam pandangan Pramoedya Ananta Toer (Pram). Aku intens berkomunikasi melalui surat elektronik (e-mail) dengan Max Lane, Indonesianis sekaligus penerjemaah novel fenomenal Tetralogi Bumi Manusia yang terdiri atas Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.
"Reza, saya saat ini sedang berada di Jakarta. Kalau kamu mau bertemu dan berdiskusi dengan saya di hari Rabu, datang saja ke Cafe Dua Nyonya di Cikini pada jam 2 siang."
"Max ke Indonesia untuk menghadiri sebuah acara di Jakarta dan Yogyakarta. Reza kalau mau ketemu saya sendiri saja dan bawa juga skripsi yang lagi kamu tulis."
"Baik Pak Max, saya kesana sendirian dan tidak lupa membawa skripsi yang lagi ku tulis."
Hari yang telah ditentukan tiba. Aku berangkat dari kosanku di Rawasari, Jakarta Pusat menuju ke Cafe Dua Nyonya yang berada di seberang Menteng Huis, Cikini, Jakarta Pusat. Dalam perjalanan menggunakan motor matic, aku berpikir rasanya seperti mimpi seorang mahasiswa dari kampus biasa bisa bertemu dengan seorang Indonesianis sekaligus penerjemah novelnya Pram. Semoga aku tidak grogi dan minder ketika bertemu dengan beliau.
Akhirnya, tibalah aku di Cafe Dua Nyonya Cikini, Â pada pukul 2 siang. Di Cafe tersebut, Max Lane sudah datang dulu bersama seorang mahasiswanya. Mereka sudah memesan dua kopi hitam yang sudah setengahnya diminum. Aku pun berkenalan dengan Max Lane beserta mahasiswanya yang bernama Mas Aryo. Max mempersilakan ku untuk duduk di sofa depan tempat duduknya. Aku saat itu memesan Espresso untuk minum saat mengobrol dengan beliau.
"Halo Doktor Max  Lane."
"Halo juga Reza, kamu cukup panggil saya Max Lane, jangan panggil Doktor. Reza kuliah di mana dan mengambil jurusan apa."
"Max Lane, maaf bahasa Inggris saya tidak bagus, apakah saya boleh bertanya dalam bahasa Indonesia."
"Tentu saja boleh, kamu bisa tanya saya dengan bahasa Indonesia atau Jawa pun boleh."
Aku kagum dengan beliau seorang doktor dan Indonesianis yang tidak mau disebut gelarnya dan hanya mau dipanggil nama saja. Aku baru pertama kali ini bertemu seorang inteleketual asing yang rendah hati seperti beliau.