Mohon tunggu...
Sunita Yani
Sunita Yani Mohon Tunggu... -

penyair dari gunung serindit\r\nAku cinta Indonesia..Kalau tidak bisa memperbaikinya paling tidak kita tidak turut serta merusaknya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kalimat Sakti Johan Budi: Kita Lihat di Persidangan Nanti

18 Mei 2013   21:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:22 2575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Itulah kalimat paling bijak yang keluar dari Johan Budi (JB). Satu-satunya kalimat terindah dan rasional diantara simpang siur berita-berita setiap ada kasus korupsi di KPK. Pantaslah bila JB dianggap jubir terbaik di Indonesia. Gaya dia bicara yang runut, tertata tenang dan santun mengingatkan kita pada mensesneg era orde baru, Pak Murdiono almarhum. Hanya saja tentu JB memiliki nilai lebih dari sisi lain. Ucapanya masih dalam batas-batas dimana dia harus  berperan. Sebagai juru bicara lembaga yang mengamanahi dia. Menyampaikan hal-hal yang perlu terkait suatu kasus. Bukan asumsi pribadi.

Sayangnya memang terkadang JB harus berkata lebih. Terutama saat dia berhadapan dengan para pemburu berita. Pertanyaan-pertayaan tajam ataupun pancingan bisa membuat JB berpikir keras memilih kosakata yang paling akurat untuk memberikan informasi demi memuaskan para kuli tinta itu. Tidak berarti dia harus kepleset mengeluarkan bukti atau data yang memang jadi rahasia. Inilah susahnya. Tidak mudah menjaga konsistensi  seperti ini. Semua kalimat yang keluar dari dirinya harus dipertanggungjawabkan. Setiap statemen JB implikasinya luas.

Ini berbeda dengan para pengamat atau komentator. Para pengamat politik dan komentator pertandingan sepak bola, lebih mudah pekerjaa mereka. Para pengamat politik bisa mengeluarkan perkataan sesuai dengan ilmu pengetahuan atau  keinginan pribadinya. Tujuanya bisa untuk membentuk opini. Apalagi kalau memang dia sudah mendapat pesanan khusus. Opininya bisa diatur sesuai order. Mungkin juga dia akan beropini menyerang salah satu pihak dalam perkara itu, kalau saja salah satu diantara yang terlibat perkara itu adalah orang yang berseberangan ideolgi politik, competitor dan lain sebagainya. Komentar bisa di keluarkan sesuai kepentingan dan menjadi sangat Subyektif. Komentator sepak bola lebih menyenangkan. Karena bersifat hiburan, tidak akan memepengaruhi kepentingan hajat  hidup orang banyak, tidak berimplikasi hokum. Kesalahan fatal hanyalah bila dia salah dalam memprediksi siapa yang akan menjadi pemenang dalam pertandingan ini. Bila salah, tentu hanya dia menjadi malu saja. Namun itupun masih dapat berkelit,bisa dia tutup dengan komentar lainya, maka masalah selesai.

Maraknya opini yang berkembang di  masyarakat terhadap satu kasus, contoh kasus impor daging sapi yang tengah marak di media di sebabkan oleh danya berita-berita yang berhamburan dari media cetak dan elektronik. Ada upaya upaya menggiring opini kearah  tertentu. Ini di tunjukan dengan tersajinya berita-berita yang tidak berimbang. Mungkin para jurnalis tahu bahwa setiap pemberitaan haruslah berimbang dalam hal menggali informasi dari sumber berita. Bukan hanya dari satu pihak. Namun sebagiamana kita tahu bahwa setiap media ada pemiliknya. Pemilik mempunyai kepentingan tertentu. Juga ada bisnis mencari keuntungan materi di dalamnya. Akibatnya kejujuran para jurnalis haus berhadapan dengan kepentingan-kepentingan tersebut. Idealisme harus tunduk di bawah kekuasaan kepentingan. Jadilah media dan para jurnalisnya sebagai peluru-peluru yang ditembakan untuk menghantam pihak-pihak tertentu. Kejujuran semakin mahal harganya.

Tidak heran masyarakat menjadi bingung. Berita tidak semuanya fakta. Tudingan berita hanyalah pelintiran  makin ramai di masyarakat. Apalagi sudah bukan rahasia lagi ada sebagian oknum jurnalis yang memang bisa di beli atau bisa di sumbat dengan amplop agar tidak berkicau. Beberapa acara yang disiarkan secara live seperti gesture, ILC dan kick andi atau sejenisnya masih menyisakan tanda-tanda kejujuran. Itupun masih tanda petik. Karena sekali lagi bisa saja nara sumber memang di disain adalah orang yang akan bersuara sesuai dengan keinginan dan kepentingan pemilik media. Ini bukan paranoid, tapi realita.

Ribuan opini berkembang  di media yang akhirnya seolah olah sudah menjadikan media sebagai ruang sidang suatu perkara dan pengambil keputusan. Sementara sidang sebenarnya belum berjalan, orang yang diduga terlibat kasus sudah di tuding pasti bersalah berdasarkan berita dan analisis dari media. Sepertinya dialah yang lebih pintar daripada tuan hakim yang ada di KPK.Tidak terbayang betapa tertekan seluruh anggota keluarga yang bersangkutan. Anak-anaknya yang masih bersekolah tentu bisa menjadi bahan olok-olok teman bermainya. Betapa sakit dan tercabik-cabik perasaan ibu dan bapaknya  melihat anaknya di tuduh berbuat nista. Padahal para hakim dan jaksa yang tentu lebih berilmu dan lebih berhak menilai dan menyelesaikan perkara belum berkata sepatah katapun juga.

Kalimat sakti JB mungkindapat menjadi contoh bijak menghindarkan kita dari berprasangka buruk dan bergunjing terhadap orang lain. Bagi seorang muslim tentu tidak patut memakan bangkai sesama manusia, begitu kata-kata bijak sang nabi.

Kali ini tentu kita juga menjadi lebih bijak dan berbudi dengan berkata “ KITA LIHAT SAJA DI PERSIDANGAN NANTI” seperti kalimat sakti Johan Budi.

Salam bijak kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun