Mohon tunggu...
Andri Rosita
Andri Rosita Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Bidan dan petugas Promosi Kesehatan di Puskesmas Poncowarno. Ibu rumah tangga dan penggila drama korea.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Serial Bidan Nina: Cinta Itu [Tidak] Buta, Kawan

23 Maret 2012   06:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:35 14862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Nin, kemarin bu Jarikem udah partus[1] ya?”, sapa Mbak Widya, bidan desa sebelah desa Bidan Nina.

“Iya, mbak. Huff deg-degan aku,mbak. Hampir saja aku kena audit karena kematian ibu dan bayi. Bisa-bisa jadi selebritis kabupaten aku.”

“Lha bukannya sekarang udah jadi selebritis, Nin. Kata bapaknya Arum, pemuda-pemuda desa sudah mulai rebutan si Nina, termasuk Pak Lurahnya” Kali ini bu Sri yang menimpali.

“Ih…apa sih. Bu Sri ngaco aja kalau ngendikan[2]” Bidan Nina. Pipinya bersemu merah.

“Eh iya lho, Nin. Kemarin ibunya Pak Lurah ketemu aku pas kondangan di tempat Pak Medi. Beliau bilang pengen punya mantu bidan. Wis gimana, Nin? Mau nggak?”, mbak Widya kembali menggoda. Bidan Nina hanya tersenyum sembari tersipu.

“Enggak ah, mbak. Kalau bisa sih gak dapet orang setempat.”

“Hus..jangan gitu. Dulu aku juga bilang gitu, walah dapetnya mas Dodo, pemuda sebelah PKD. Tuh bu Sri dapetnya bapaknya Arum. Yang paling gres si Eni, dapet Nento”. Dalam hati bidan Nina membenarkan ucapan mbak Widya. Dua belas dari lima belas bidan di Puskesmasnya menikah dengan penduduk di tempat mereka bertugas. Apakah nantinya aku akan seperti mereka, pikirnya. Ah tidak, masih ada Bagas. Teman masa kecilnya yang sangat dekat dengannya, meski akhir-akhir ini mereka jarang berkomunikasi semenjak Bagas bekerja di Jakarta.

“Mbak Nina, ada yang cari tuh.”  Mbak Yani, yang bekerja sebagai petugas loket di puskesmasnya menghentikan pembicaraan mereka seputar jodoh. Menggoda bidan baru dan menjodohkan mereka dengan pemuda setempat adalah tradisi di puskesmas mereka.

“Sapa, mbak?”. Mbak Yani hanya mengangkat bahu sebagai jawaban ketidak tahuannya. Bidan Nina mengikuti mbak Yani ke ruang tunggu pasien. Pasien puskesmas hari ini banyak sekali, maklum hari ini hari pasaran. Warga di kecamatan tersebut memang biasa memanfaatkan hari pasaran untuk berdangan, berbelanja atau sekalian berobat. Dalam satu minggu ada dua hari pasaran di kecamatan Pancawerna. Selasa dan jumat.

Seorang perempuan setengah baya menyongsong bidan Nina. Wajahnya gugup. Terlihat bekas tangis di kedua bola matanya. Mbah Lasinah. Nenek yang tinggal hanya dengan cucunya ini merengkuh bidan Nina. Air matanya kembali pecah.

“Bu..tulungi saya..tulungi…Siti, bu…Siti..”

“Siti kenapa,mbah. Ayo sini duduk dulu.” Bidan Nina membimbing mbah Lasinah ke ruang tamu Puskesmas. Diangsurkannya air putih.

“Ayo minum dulu biar tenang. Nanti baru cerita ada apa.” Mbah Lasinah menerima gelas berisi air putih dari bidan Nina. Diminumnya seteguk. Nafasnya mulai teratur.

“Ada apa, mbah?”

“Siti, bu bedan.. Siti.”

“Siti kenapa, mbah? Sakit?”

“Siti.. Siti..ha-mi-l..” mbah Lasinah kembali menangis. Bidan Nina terkejut. Siti, anak SMP seumuran Azizah, anak gadis yang menemaninya di PKD. Hamil? Dengan siapa? Selama ini Siti terlihat baik-baik saja. Memang kata Azizah, Siti sudah punya pacar. Tapi apa iya mereka sejauh itu.

Tulung, bu.. saya minta obat buat nglunturaken[3]” Bidan Nina masih terkejut dengan berita kehamilan Siti, sekarang kembali terkejut dengan permintaan mbah Lasinah. Obat peluntur?

“Mbah, saya tahu, simbah lagi panik. Tapi apa bener, Siti hamil?”

“Bener bu bedan. Siti muntah-muntah terus tiga pagi ini. Bulan ini juga dia belum men[4]

“Siti sekarang dimana, mbah?”

“Di luar, bu.”

“Coba mana,mbah. Bawa sini. Tak priksane

Mbah Lasinah mengangguk pasrah. Ia bergegas memanggil Siti yang menunggu di luar.

Tak lama kemudian, Siti dan mbah Lasinah masuk kembali. Wajah manis Siti pucat dan kusut. Bibirnya pecah-pecah dan kering, karena terlalu banyak muntah. Tiga hari muntah-muntah, bukan sesuatu yang mudah untuk anak sekecil dan sekurus Siti.

Nenek dan cucu itu duduk di ruang tamu puskesmas. Sengaja bidan Nina tidak membawa mereka ke ruang KIA (Kesehatan Ibu dan Anak). Terlalu banyak orang di sana. Ia khawatir justru membuat Siti dan mbah Lasinah tidak nyaman. Siti menunduk. Matanya sembab.

Ndhuk, Siti, jujur sama ibu ya. Jangan malu” Bidan Nina membuka percakapan. Siti menunduk lebih dalam. Lalu mengangguk perlahan. Sementara mbah Lasinah kembali menangis.

“Siti, sudah tahu kenapa simbah menangis?”. Siti kembali mengangguk.

“Siti tahu kenapa simbah mengira Siti hamil?” dan lagi-lagi anggukan kepala Siti pertanda dari jawabnnya,

“Siti kapan mens terakhir?”

“Bulan kemarin,bu.”

“Tanggal berapa, ndhuk?”

“Tanggal 7” Sekarang sudah tanggal 15. Berarti Siti memang sudah terlambat satu minggu. Tapi untuk anak seumuran Siti yang baru saja mendapatkan haid, siklusnya memang terkadang tidak teratur.

“Nah,bu..Sudah telat seminggu.” Mbah Lasinah menyahut panik. Air matanya mengucur deras.

Aku nggak hamil, mbah!” Tiba-tiba Siti berteriak. Bidan Nina dan mbah Lasinah terkejut dengan teriakan Siti

Lha nek kowe ndak hamil, kenapa belum men. Kenapa muntah-muntah amben esuk[5]?”

Pokoknya Siti ndak hamil. Titik” Siti tetap ngotot. Bidan Nina mencoba mengendalikan keadaan.

“Ssst..sudah-sudah..jangan teriak-teriak. Nanti semua orang dengar. Simbah dan Siti sabar dulu ya.”

“Nah, ndhuk. Kamu kok bisa bilang kalau kamu ndak hamil?” selidik bidan Nina.

“Garis di pipis Siti satu, bu. Bukan dua. Siti ndak hamil.”

“Garis di pipis?” Bidan Nina mengerutkan dahi. Apa iya Siti sudah test urin? Beli di mana dia. Kecamatannya tidak ada apotik. Penduduk di desa itu saja harus ke PKD untuk test urin. Apa mungkin Siti membeli di bidan lain. Tapi sepertinya itupun tidak mungkin. Tidak ada teman bidan Nina yang mengabarkan padanya perihal itu.

“Siti sudah test pipis?” Siti mengangguk mantap. Ia mengeluarkan buntalan plastik dari sakunya. Diulurkan buntalan itu ke arah bidan Nina. Stik test urin. Satu garis. Negatif. Siti tidak bohong.

“Siti beli alatnya dari mana, ndhuk?”

“Siti dikasih Azizah, bu.” Bidan Nina mengangguk faham. Ia ingat, dua hari yang lalu, ketika ia sedang membersihkan lemari obatnya, jumlah test pack memang tidak sesuai dengan jumlah pasien yang test urin. Selisih satu. Namun tidak ia ambil pusing. Sekarang ia tahu jawabnnya. Azizah mengambilkan untuk Siti.

Ndhuk, ibu mau nanya ya. Tolong dijawab sing jujur.” Siti mengangguk.

“Siti sudah punya pacar?” Siti mengangguk. Sebenarnya bidan Nina terkejut, Siti masih 13 tahun. Dan ini desa kecil.

“Mas Bawan,bu.” Jawab mbah Lasinah. Bawan, Subawan? Itu adik Nunu, anak mantan pak Lurah di desa mereka. Bawan, pacar Siti? Usia mereka terpaut jauh, tujuh tahun. Bawan sudah dua puluh tahun.

“Memangnya Siti sama mas Bawan ngapain saja kok Siti harus test pipis segala?” Bidan Nina masih belum mengerti alasan Siti melakukan test urin. Siti terdiam. Dia tampak ragu menjawab. Dilihatnya simbah lalu bidan Nina.

“Ayo, ndhuk. Cerita saja. Simbah ndak akan marah. Ibu jamin. Ya, mbah?” Mbah Lasinah hanya mengangguk meski berat.  Siti masih ragu. Ia lalu mendekat kearah bidan Nina. Dia membisiki bidan Nina. Saat berbicara, terasa sekali nafas Siti panas. Badan Siti juga panas.

Bidan Nina tersenyum. Siti sudah menjadi korban dari rumor yang keliru tentang penyebab kehamilan.

“Mbah, insyaAlloh, Siti ndak hamil. Simbah jangan kuwatir sama Siti ya. Sekarang lebih baik, Siti didaftarkan berobat saja. Badannya panas. Mungkin Siti masuk angin.”

Mbah Lasinah bengong, meski dalam hatinya lega. Kekhawatirannya tidak terbukti. Semoga Siti selamat sampai nanti menikah. Semoga peristiwa ibunya Siti tidak terulang, bisiknya dalam hati.

Bidan Nina menghantarkan mereka ke bagian pendaftaran, agar Siti bisa di periksa dokter di poliklinik umum dan bisa mendapatkan obat. Dalam hati bidan Nina juga merasa lega. Namun ia merasa ada hal yang harus ia lakukan untuk mencegah kehamilan yang tdiak diinginkan.

---

Matahari bergulir perlahan ke arah barat. Di halaman PKD, bidan Nina sedang menyiram bunga-bunganya. Meski tangannya bekerja, namun pikirannya penuh. Peristiwa Siti tadi pagi di Puskesmas membuatnya berfikir, bahwa ia harus berbuat sesuatu.

“Bu, kok ngalamun. Hayo ngalamuni siapa?” Suara berat milik pak Lurah mengagetkannya. Bidan Nina tersipu.

“Hehe..pertanyaanya lho,pak. Menjebak sekali. Ngalamunin siapa bukan ngalamunin apa. Memangnya saya tampak sedang memikirkan seseorang?”

“Ya, wis apa lagi. Kalau ngalamunin apa itu sudah pasti, ngalamunin kapan nikah. Pertanyaannya nikahnya itu dengan siapa. Iya tho?” Pak Lurah masih meledek bidan Nina.

“Ah, sudahlah pak. Kok jadi ngelantur. Wonten nopo niki[6] kok sore-sore masih pake seragam?” Tutur bidan Nina mengalihkan pembicaraan.

“Ini, bu. Mau ngabarin. Besok hari kamis ada undangan rapat Anggaran Dana Desa. Bu bidan sekalian bikin usulan buat pengembangan kesehatan”

“Baik, pak. InsyaAlloh nanti saya buat usulannya bareng-bareng bu kader. Eh, pak, karang Taruna di sini ketuanya siapa ya?”

“Memangnya ada apa, bu?”

“Ndak papa, cuma sepertinya saya pengen ngobrol-ngobrol sama beliau. Pengen bikin kegiatan buat remaja. Kayaknya remaja di desa ini anteng-anteng”

“O, ketuanya Mas Danar. Perangkat desa kita”

Deg. Bidan Nina tersentak. Danar. Anak lelaki yang kemarin ibunya meminta mbak Yamah melamarkannya.

“Tapi melalui saya juga bisa,bu. Saya juga ikut aktif kok di karang taruna. Hanya karena saya sudah kebanyakan tugas jadi saya limpahkan ke mas Danar” Pak Lurah cepat-cepat menyahut, ia khawatir jika bidan Nina akan intens berhubungan dengan Danar. Witing tresno jalaran saka kulina. Jatuh cinta itu karena sering bertemu.

“Memangnya bu bidan mau bikin kegiatan apa?” Pancing pak Lurah.

“Belum tahu sih, pak. Tapi intinya sesuatu yang membuat remaja di desa kita ini mendapatkan informasi yang memadai tentang kesehatan reproduski sehingga mereka bisa lebih pinter dan mawas diri dalam bergaul”

“Wah usulan yang bagus itu,bu. Dua tahun terakhir memang banyak pernikahan dini di desa ini. Kebanyakan sudah pada isi duluan sebelum nikah. Pas saya Tanya katanya demi cinta. anak muda bu, cinta buta. Kalau saya sudah tua gini sudah ndak jaman cinta buta, bu. Cinta melek” Bidan Nina tersenyu mendengar kalimat terakhit pak Lurah.

“Iya, pak. Cinta itu memang tidak seharusnya buta. Cinta harus tetap melihat. Melihat norma, melihat tata aturan yang ada. Kalau cintanya buta berarti cintanya sakit. Ndak sehat. Harus di bawa ke dokter mata, biar di operasi.”

Mereka berdua tertawa bahagia. Di kejauhan ada hati yang terbakar. Hati Danar dan hati Nunu yang sedang asyik memasang umbul-umbul untuk menyambut tim dari ekcamatanbesok pagi.

“Huh, sialan si Lurah. Kita disuruh kerja keras dia enak-enakkan menggoda bidan Nina. Awas ya, tunggu saja sampai pilihan Lurah besok dan aku maju jadi Lurah. Tak balas kamu.”

“Halah. Kesuwen,[7] Nu. Keburu mereka menikah.”

Pemuda lainnya tertawa mendengar jawaban pak bayan.

[1] bersalin

[2] bicara

[3] menggugurkan

[4] haid

[5] Setiap pagi

[6] Ada apa ini

[7] kelamaan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun