Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Putar Haluan Ketika Salah Jurusan

28 September 2019   10:11 Diperbarui: 28 September 2019   21:19 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Putar halauan ketika salah jurusan (Ilustrasi: picography.co)

Kalau di jalan raya, misalnya sudah kebablasan salah jalur, pengemudi harus pintar-pintar mencari persimpangan arah balik, meski jauh putarannya; Begitu pula halnya mahasiswa 

Indonesia, negeriku yang sudah menahun lamanya untuk disebrangi lalu-lalang kendaraan bermotor merek apa saja. Mau yang klasik ataupun non-klasik, tetap saja membabi buta di jalan raya. 

Asal terobos masuk jalur sana-sini, namanya juga motor pasti punya knalpot, merasa dirinya paling kencang dan tak mau dikalahkan. Hingga akhirnya, mencapai titik konflik yang paling kacau kala motor tersebut terjebak dalam kemacetan. 

Tak habis pikir, mereka lantas membunyikan klakson dengan bisingnya atau rela selip-menyelip diantara kerumunan truk, bus kota atau mobil-mobil pribadi. Hufft...

Seusai segala halang rintang terlewati dengan sempurna, motor itu akan terus melaju tanpa memperhatikan rambu-rambu yang ada. Katanya, "Yang penting gue mahir megang stang motor, punya SIM serta STNK, dan ber-helm." Polisi manapun juga enggan menilang; challenge accepted.

Tanpa disadari oleh pengemudi sampai akhirnya entah di mana dia menyetir motor, dia tersesat. "Ah! rumah temen gue kan ada di selatan, kenapa gue pergi ke utara?"

Kalau dalam cerpen, namanya: konflik yang berkepanjangan. Mau tidak mau, si pengemudi harus putar haluan dan rela menerima konsekuensi, yaitu berhadapan dengan macet lagi.

Kekesalan yang terucap karena kebodohannya tidak melihat plang daerah di sisi jalan. Saya anggap itu suatu kebodohan realistis. Kok bisa-bisanya salah jalan? Padahal, sudah diperingati jauh-jauh 200 meter, kalau tidak salah.

Memang si pengemudi tidak berhak menyalahkan rambu tersebut, melainkan dirinya sendiri karena terlalu bersemangat menerobos ataukah memang dia tak tahu pasti d imana rumah temennya itu; praduga sementara.

Ah! Saya juga pernah melakukan hal bodoh itu, saat saya ingin berkunjung ke rumah teman di bilangan Setia Budi, Bandung tetapi ego motor terus melaju sampai daerah Lembang. Terlalu jauh faktanya, tapi apa boleh buat, saya harus memutar balik dan berjam-jam saya bertahan dalam kemacetan kota Bandung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun