Lihat ke Halaman Asli

Citizen Journalism: Ketika Warga Menjadi "Jurnalis"

Diperbarui: 17 Maret 2017   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

logo NET. CJ

Minggu-minggu lalu, saya telah membahas mengenai era media massa baru atau yang kini disebut media massa online juga "New Media". Media massa online atau jurnalisme online nyatanya juga berkaitan dengan apa yang kini disebut dengan citizen journalism. Citizen Journalism yang identik pula dengan sebutan jurnalisme warga, kini tengah menarik perhatian masyarakat, baik para ahli yang menekuni bidang jurnalistik, maupun masyarakat biasa. Bagi para ahli di bidang jurnalistik, mereka mempertanyakan sisi jurnalistik dari jurnalisme warga itu sendiri. Sementara bagi masyarakat, ini menjadi momentum bagi mereka untuk dapat mengirim atau berbagi informasi di media-media massa mainstream. Bagi saya, yang juga sedang menekuni dunia jurnalistik di salah satu perguruan tinggi swasta  di Yogyakarta, fenomena ini dapat dibagi menjadi dua kubu yaitu pro dan kontra. Di sisi lain saya mendukung adanya jurnalisme warga, namun di sisi lain pula ada yang perlu dikritisi dari hadirnya jurnalisme warga. Lantas, apa saja kedua hal tersebut. Mari kita bahas bersama mulai dari sejarah awal hadirnya jurnalisme warga ini.

Menyinggung sedikit soal media baru, hadirnya jurnalisme warga juga diawali dari hadirnya media baru. Media baru merupakan jawaban dari media lama yaitu media cetak dan penyiaran (televisi dan radio). Khusus media cetak, terhambat pada time and space di mana penyebarannya tersendat dan cukup memakan waktu lama, terutama di Indonesia yang jangkauan daerah yang sulit dijangkau masih cukup banyak. Jakob Oetama dalam bukunya yang berjudul "Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus" disebut bahwa media baru tidak dihambat oleh time and space sehingga penyebaran dan kehadirannya serentak ke mana-mana dan di mana-mana (Oetama, 2001: 19). Ini pula yang menjadikan pamor dari media cetak kini mulai menurun, lantaran media baru ini menekankan pada kecepatan, dan jangkauan penyebaran. 

Lambat laun, warga mulai berpikir utuk menciptakan berita, jika dirasa media cetak mulai lambat dalam memberikan berita. Muncul lah fenomena blogger (sebutan untuk pengguna blog), yang berlanjut kepada citizen journalism. Dari yang saya ketahui mengenai citizen journalism adalah sebutan dari sebuah buku yang berjudul "Lentera News #5 Agustus 2014| Setelah Pekik Merdeka, Lalu Apa?" definisi dari citizen journalism adalah bahwa warga mengirimkan berita ke media massa mainstream, warga masih perlu mempertimbangkan beragam peraturan pengelola media massa itu (Lentera News, 2014: 13). Dengan definisi ini berarti warga pun secara tidak langsung juga harus mematuhi syarat-syarat jika berita yang dibuatnya ingin ditampilkan di media massa. Seperti halnya kompasiana, media ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab dari penulis artikel di kompasiana. Maka dengan ini, jurnalisme warga patut dipertanyakan sisi jurnalistiknya. 

Meski warga bebas mengirimkan berita dan merdeka untuk berbagi informasi, sisi jurnalistik tetaplah harus diperhatikan, jika ia ingin tetap disebut membawa embel-embel "jurnalisme". Karena kata jurnalisme sendiri adalah kegiatan olah berita, mulai dari mencari berita, mengolahnya, hingga menjadi output berita dengan berbeda-beda salurannya. Di tengah-tengah proses tersebut, jurnalis haruslah mengutamakan dan memperhatikan kode etik jurnalistik (KEJ) yang mana mengatur segala aturan mengenai kaidah jurnalistik. Jurnalisme warga dirasa kurang dalam hal jurnalistik. Maka dari itu apabila ingin disebut sebagai produk jurnalistik, warga harus dilatih layaknya seorang jurnalis.

Di Indonesia, praktik-praktik jurnalisme warga benar-benar terlihat dari sisi dunia penyiaran, di mana kerap kali terlihat warga yang mengirimkan video layaknya liputan jurnalistik ke beberapa media massa mainstream. NET TV salah satu media massa yang bergerak di bidang media massa penyiaran pun juga memberikan kesempatan bagi warga atau masyarakat untuk mengirimkan video melalui segmen NET. CJ. Dengan slogan "Everbody Can Be a Journalist" menjadikan masyarakat biasa pun bisa menjadi jurnalis, atau mungkin seperti jurnalis. Namun tentunya video-video yang telah masuk ke NET.CJ adalah video-video warga yang telah melalui proses editing dan filterisasi dari pihak NET sendiri. 

 

img-5173-58ca382cce9273441489ca04.jpg

Setelah mengetahui definisi dan contoh-contoh jurnalisme warga, kini saya akan membahas mengapa ada yang kontra terhadap jurnalisme warga. Banyak dari para ahli di bidang jurnalistik yang mengkritisi adanya jurnalisme warga. Dalam buku yang berjudul "Blog Gospel" karangan Purnawan Kristanto tertulis bahwa jika dilihat dari standar jurnalistik, jurnalisme warga memiliki sejumlah kelemahan seperti tidak adanya keberimbangan, faktualitas, dan objektivitas (Kristanto, 2010: 77). Alhasil, banyak dari hasil karya jurnalisme warga yang kebanyakkan hanya berupa opini dari masyarakat. Padahal jurnalistik tidak mengenal berita yang berisi opini dari wartawan penulis, semua murni dari peliputan dan objektivitas si wartawan. 

Meski tidak mengenal kaidah jurnalistik di dalamnya, jurnalisme warga ini bukan berarti tidak boleh tidak ada. Keberadaannya justru dibutuhkan untuk mengisi celah-celah kosong yang tidak diliput oleh jurnalisme konvensional (Kristanto, 2010: 78). Misalnya, coba kita tengok ke belakang, kala tsunami Aceh melanda tahun 2004, banyak video amatir dari warga yang beredar di media massa televisi. Kala itu, jurnalis yang tidak sedang berada di lokasi sangat terbantu dengan adanya video dari warga yang merekam kejadian tersebut, agar informasi situasi terkini di lokasi dapat dilihat oleh warga atau masyarakat yang menonton berita tersebut. 

Pada akhirnya, jurnalisme warga memang bukanlah produk jurnalistik, karena berbagai alasan yang mengikutinya, seperti tidak adanya keberimbangan berita (cover both side), objektivitas, kredibilitas yang dipertanyakan, faktualitas, verifikasi data dan lain sebagainya. Namun, bukan berarti kita harus menghilangkan jurnalisme warga, melainkan kembangkan dan perlu adanya pelatihan jurnalistik bagi warga yang ingin serius menggeluti dunia jurnalisme warga. Hal ini dikarenakan, jurnalisme warga membawa embel-embel jurnalistik di dalamnya, maka dari itu kode etik jurnalistik harus lah berlaku pula di dalamnya, agar kaidah-kaidah jurnalistik tak ternodai dengan bebasnya informasi atau berita yang berseliweran di tengah masyarakat. 

Daftar Pustaka:

Kristanto, P. 2010. Blog gospel. Indonesia, Jakarta: Inspirasi PT BPK Gunung Mulia

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline