Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pahami Ini Jika Membahas Utang Pemerintah RI

4 Juli 2019   20:24 Diperbarui: 4 Juli 2019   20:40 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BI menyatakan utang Indonesia aman (sumber: kompas.tv)

Banyak pihak yang membahas utang Pemerintah hanya berbekal jumlah nominal utang yang dianggapnya sangat besar yaitu sekitar 5.000 triliun rupiah. Jumlah utang tersebut lantas disimpulkan sangat berbahaya. Kemudian seenaknya menyatakan bahwa Indonesia akan mengalami krisis ekonomi dan keuangan.

Sayangnya kesimpulan tersebut tidak didukung oleh indikator atau standard yang bisa diterima secara ilmu pengetahuan. Juga tidak dilengkapi data-data lain yang memperkuat argumentasinya. Lebih banyak hanya berdasarkan perasaan dan prasangka saja.

Salah satu standard yang digunakan untuk menilai utang pemerintah adalah rasio jumlah utang dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Makin besar nilainya, maka makin beresiko terhadap perekonomian negara. Namun rasio tersebut juga harus didukung dengan data-data ekonomi dan keuangan lainnya.

Beberapa indikator yang perlu diperhatikan antara lain besaran defisit yang terjadi pada anggaran negara, apakah anggaran digunakan untuk sektor produktif atau memberikan keuntungan di masa depan, bagaimana kebijakan perpajakan yang tepat agar pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi menjadi optimal.

Perkembangan pertumbuhan ekonomi juga menjadi salah satu yang harus dipertimbangkan. Selain itu, juga sangat penting bagaimana penilaian/rating dari lembaga kredibel terkait utang dan keamanan investasi di suatu negara. Rating yang baik tentunya akan membuat investor tenang dan tidak akan melakukan tindakan drastis yang bisa merugikan perekonomian negara.

Selain indikator-indikator ekonomi yang berlaku universal diatas, juga sangat penting untuk memahami tata kelola utang yang dilaksanakan oleh pemerintah suatu negara. Tata kelola utang pemerintah tentunya wajib mengikuti konstitusi atau undang-undang (UU) yang berlaku. Tata kelola yang sesuai dengan undang-undang akan mencegah penyalahgunaan ataupun tindakan yang merugikan perekonomian negara.

Di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-undang adalah hasil pembahasan antara Pemerintah (Presiden RI & jajarannya) dengan anggota legislatif yaitu DPR/DPD. Sedangkan anggota legislatif terdiri dari tokoh-tokoh politik atau partai politik. Dengan demikian Presiden RI dan jajarannya hanya menjalankan hasil dari pembahasan yang telah disepakati dengan DPR/DPD.

Dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara, terdapat batasan maksimal utang pemerintah yang diperbolehkan yaitu sebesar 60 persen dari PDB. Utang pemerintah yang boleh dibuat setiap tahunnya ditetapkan dalam APBN yang disahkan dengan UU. RAPBN pun harus dibahas bersama DPR/DPD untuk kemudian disahkan sebagai APBN dengan UU APBN, kemudian harus dilaksanakan oleh Presiden RI bersama jajarannya. DPR/DPD pun bisa saja menolak RAPBN jika tidak menyetujuinya.

Dalam pelaksanaan dan pengelolaan APBN, yang di dalamnya terdapat utang pemerintah, juga mendapatkan pengawasan dari DPR/DPD. Selain itu masih ada Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang melakukan audit dan pemeriksaan. Presiden RI dan jajarannya tidak bisa seenaknya sendiri apalagi ugal-ugalan dalam melaksanakan APBN termasuk di dalamnya dalam membuat utang dan mengelola utang.

Mekanisme seperti ini terjadi di era reformasi yang menggantikan era orde baru (ORBA). Dilaksanakan oleh pemerintahan sebelumnya dengan Presiden yang berbeda-beda. Termasuk terus dilaksanakan oleh Pemerintahan saat ini di bawah Presiden RI Joko Widodo.

Mekanisme tersebut jelas tidak terjadi pada jaman ORBA di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pada jaman ORBA yang terkenal otoriter, semuanya bergantung pada Presiden RI dan jajarannya. Keberadaan DPR bisa dikatakan hanyalah untuk melakukan koor tanda setuju. Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika pada tahun 1997/1998 Indonesia mengalami krisis ekonomi dan keuangan yang sangat parah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun