Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Membaca Data Covid-19, Pemerintah Kalkulator atau Konduktor?

28 Maret 2020   11:22 Diperbarui: 28 Maret 2020   14:24 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebaran Covid-19 (Sumber www.google.com/covid19-map/

Hari ini, 28 Maret, kita kembali disuguhi berita "kemajuan" jumlah kasus Covid-19 di negara kita. Negara kita mulai menembus angka 1000 tepatnya 1.046 kasus. Informasi serupa bisa didapatkan dari worldometers  atau Mbah Google. 

Ya, kita sekarang cukup kaya dengan informasi perkembangan Covid-19 dari seluruh penjuru dunia, termasuk negara kita. Kenapa data semacam ini banyak dipublikasikan oleh banyak pihak? Jawabannya sederhana, karena kesesatan informasi dapat membahayakan bahkan bisa mengancam kehidupan. Laman-laman di atas sudah memberi data dan informasi yang cukup komprehensif untuk mencegah terjadinya kesesatan penafsiran (misleading) dan karenanya diharapkan dengan berbasis data yang akurat  akan diperoleh penjelasan apa yang sedang terjadi dan langkah antisipatif atau penanganan yang tepat dapat disusun.

Di tengah sajian data dan informasi yang memadai, apakah kepanikan di masyarakat bisa reda? Sepertinya belum. Buktinya berita bohong banyak menumpang dan menyebar bersama penyebaran paparan Covid-19. Nalar apa yang melandasi banyak orang mempercayai anjuran balita untuk mengkonsumsi telur rebus tengah malam sebagai penangkal Corona?

Bila sejenak kita memperhatikan, selain untuk memenuhi hasrat ingin tahu, sebenarnya data yang disajikan setiap hari melalui beragam media itu untuk apa? Pernyataan pers pemerintah bahwa Corona setiap hari di Indonesia semakin meningkat sebenarnya memberi pesan apa? Meningkatkan kewaspadaan bersama dan menggalang aksi nyata dari segenap lapisan masyarakat, barangkali itu jawaban yang dapat kita rangkum dari beragam media.

Kalau komunikasi diterjemahkan sederhana sebagai tindakan atau upaya memperlakukan orang dengan informasi, apa yang sebenarnya kita perlukan saat ini adalah kejelasan perintah dari pemerintah sendiri. Pemerintah artinya pihak yang memberi perintah. Tidak cukup dengan himbauan agar setiap kita melakukan social distancing misalnya. Pemerintah atau penghimbau? Tidak cukup juga pemerintah hanya memberi saran atau anjuran kepada pemda, karena pemerintah tidak identik dengan pemrasaran atau penganjur. 

Dalam situasi yang cenderung memburuk akhir-akhir ini, "Pemerintah" mestinya memberikan narasi "perintah", bukan lagi himbauan.

Ayolah pemerintah, berhentilah menyejajarkan pemutakhiran datanya dengan Mbah Google atau worldometers. Biarkanlah mereka yang terus berperan dengan mendeskripsikan setiap kejadian Covid-19 dari setiap penjuru dunia. Bahwa hari ini jumlah korban sudah sekian, yang sembuh sekian dan meninggal sekian, lalu jumpa pers ditutup dengan himbauan menerapkan Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS), Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS). Hanya seperti itu kah yang kuasa dilakukan pemerintah? So, what next?

Jaga Jarak dan sejenisnya memang tidak salah, tapi rasanya ada lompatan antara sajian data dan fakta dengan solusi yang diterapkan. Belum lagi diksi solusinya disampaikan dalam bentuk himbauan dan saran. Rakyat lebih butuh preskripsi. Ketika Institut Teknologi Bandung meramalkan bahwa akhir pandemi Corona ini sampai ke akhir lebaran nanti, arti atau konsekuensi dari prediksi semacam ini yang lebih penting bagi publik.

Apakah pengumuman resmi pemerintah atau prediksi dari peneliti seperti ITB di atas telah berperan menurunkan kecemasan dan kepanikan dalam masyarakat?

Kecemasan memiliki korelasi dengan harapan masa depan yaitu dalam bentuk hilangnya rasa percaya dalam diri seseorang. Ketika kecemasan dihubungkan dengan ancaman serangan yang luarbiasa maka muncullah kepanikan yang bisa dipicu oleh perasaan bahwa suatu bencana benar-benar akan terjadi atau justru karena pengendalian diri yang buruk.

Prediksi dari ITB akan kita tempatkan sebagai ancaman atau gambaran perasaan publik? Gelombang mudik mahasiswa yang mulai menguat tidakkah merupakan gejala meningkatnya kecemasan para orang tua di kampung? Bahwa kepulangan mereka akan memperluas sebaran kejadian Covid-19 sampai ke pelosok negeri dan sekaligus mendorong kecemasan lebih besar, lalu menjadi kepanikan, itu merupakan hal lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun