Mohon tunggu...
amin yeremia siahaan
amin yeremia siahaan Mohon Tunggu... Lainnya - penyuka buka fiksi dan sejarah...

Historia Magistra Vitae

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyoal Calon Legislatif

5 Juni 2013   13:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:30 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komisi Pemilihan Umum telah merilis jadwal bagi partai politik peserta pemilu 2014 untuk menyerahkan daftar calon legislatif sementara pada April nanti. Karenanya, semua partai kini berpacu dengan waktu untuk segera menyusun daftar caleg mulai dari pusat, provinsi, dan kota/kabupaten. Pertanyaan pentingnya adalah sejauh manakah kualitas caleg yang direkrut parpol? Apakah dapat memenuhi ekspektasi masyarakat atau justru sebaliknya?

Kaderisasi partai

Sejatinya anggota parlemen bukan saja representasi partai di lembaga eksekutif. Seorang anggota dewan adalah bentuk perwujudan dari ideologi dan nilai-nilai partai yang diwakilinya. Ideologi dan nilai-nilai inilah yang nantinya akan diperjuangkan oleh anggota parlemen dalam bentuk kebijakan atau undang-undang. Makanya, dapat dikatakan sepak terjang anggota dewan dalam menjalankan fungsinya adalah juga cermin dari watak partai tempatnya bernaung. Jika regulasi yang dihasilkan parlemen ternyata jauh dari rasa keadilan, maka partai tersebut akan menuai kritikan dari masyarakat. Demikian pula sebaliknya.

Namun, pola ini tidak serta-merta diterima oleh elite partai. Misalnya, jika ada anggota dewan yang terbukti melakukan korupsi atau memakai narkoba, partai akan mati-matian membela diri. Sembari mengatakan itu adalah perbuatan oknum partai yang kebetulan menjabat sebagai anggota legislatif. Jarang ada permintaan maaf secara resmi oleh partai kepada publik.

Berdasarkan hubungan organisatoris antara partai dan anggotanya yang duduk di parlemen, maka sudah sepatutnya partai tidak bisa lepas tangan terhadap kadernya yang bermasalah secara hukum dan etika moral. Partai harus ikut bertanggungjawab karena memiliki konstituen yang telah memilihnya. Dengan kata lain, partai juga memiliki relasi organisatoris dengan masyarakat. Dan karenanya harus memberikan laporan pertanggungjawaban pula kepada masyarakat. Jika tidak demikian, maka partai hanya menjadikan konstituennya sebatas alat komoditi semata. Oleh sebab itu, untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang dari anggota parlemen diperlukan sistem kaderisasi yang mapan dan solid di partai politik.

Anggota partai yang duduk di parlemen sudah mestinya merupakan kader-kader terbaik yang dimiliki partai. Mereka adalah anggota partai yang sudah terbukti memiliki integritas tinggi berupa kesetiaan kepada ideologi dan nilai-nilai partai. Hanya saja, untuk menghasilkan kader berkualitas tidaklah mudah. Butuh proses panjang. Ini dimulai ketika partai melakukan perekrutan pra anggota. Pendidikan politik yang dilakukan partai di masyarakat adalah bagian dari pelaksanaan sistem kaderisasi partai untuk menjaring konstituen menjadi calon anggota. Bentuk utama pendidikan ini adalah membuat diskusi yang terjadwal dan berkesinambungan. Melalui program pendidikan politik ini, masyarakat diperkenalkan ideologi, nilai, visi-misi, asas, dan program partai. Dari sinilah masyarakat akan menilai apakah garis perjuangan partai telah sesuai dengan keperluan mereka. Jika ya, maka akan terjadi komunikasi dua arah antara partai dan masyarakat.

Komunikasi inilah yang segera ditindaklanjuti dengan mengajak konstituen terlibat langsung dengan kegiatan-kegiatan partai. Sampai fase ini, partai telah melakukan perekrutan pra-anggota. Dengan interval waktu tertentu, biasanya 3-6 bulan, partai dapat menilai apakah seseorang sudah dapat diterima menjadi anggota partai atau tidak. Di sini kita bisa lihat, untuk menjadi anggota saja, partai membutuhkan usaha keras dan waktu yang cukup lama. Makanya, menjadi pertanyaan jika ada partai yang dengan mudahnya mengeluarkan kartu tanda anggota dengan cepat tanpa proses seleksi terlebih dahulu.

Sesudah menjadi anggota, maka ia berkewajiban untuk setuju dan melaksanakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Selanjutnya partai melakukan kaderisasi terhadap anggota untuk diangkat statusnya menjadi kader. Indikatornya adalah sejauh mana ia berhasil melaksanakan tugas-tugas kepartaian. Seperti keaktifan dalam mengikuti pendidikan politik di tataran anggota, kemampuan analisa sosial yang semakin meningkat, sering turun ke bawah untukberdiskusi dengan konstituen, dan menjaga harga diri partai dengan tidak melakukan perbuatan tercela seperti korupsi, memakai narkoba dan tindakan asusila.

Anggota yang lulus menjadi kader selanjutnya diproyeksikan menjadi pengurus partai. Beban dan tanggungjawabnya pun bertambah. Tidak hanya kepada anggota namun juga terhadap konstituen partai. Selain menjadi pengurus partai, kader yang ada kemudian diseleksi untuk dinominasikan menjadi caleg. Kader yang lulus menjadi anggota legislatif pun tidak lepas dari program kaderisasi partai. Dalam hal ini untuk merekrut calon anggota dewan untuk ditempatkan di level nasional. Artinya, mereka yang akan duduk di parlemen pusat harus sudah terlebih dahulu menjadi anggota dewan di daerah. Dengan sudah teruji di daerah, diharapkan ia akan berbuat lebih banyak lagi untuk masyarakat dengan cakupan wilayah yang lebih luas tentunya.

Menolak caleg instan

Lalu bagaimana fenomena perekrutan calon anggota legislatif kita saat ini. Benar, setiap partai memiliki pedoman dan tata cara sendiri dalam menjaring dan merekrut kader partai atau masyarakat menjadi calon anggota parlemen. Pada umumnya standar tiap partai tidak jauh berbeda. Para calon harus memiliki integritas, tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan pidana, dan memiliki akseptabilitas tinggi. Namun, dinamikanya tidak demikian. Misalnya, partai masih permisif bagi calon yang bermasalah secara hukum sepanjang belum keluarnya keputusan hukum yang bersifat final. Partai terjebak pada formalitas status hukum.

Padahal, pada diri calon anggota dewan melekat juga fungsi etika dan norma. Seharusnya partai berani tidak mencalonkan seseorang yang diduga tersangkut kasus hukum, meskipun yang bersangkutan memiliki pengaruh luas di masyarakat dan memiliki modal mumpuni. Demikian pula tren partai yang masih melirik manis kalangan artis. Tak bisa dipungkiri kebijakan ini semata-mata hanya untuk mendongkrak jumlah perolehan suara partai. Semakin terkenal artis bersangkutan di masyarakat, maka semakin mudah partai mendulang suara. Meski partai berkilah tetap akan melakukan seleksi ketat dan tidak membedakan dengan calon dari kalangan lain, tetap saja metode ini telah merusak kaderisasi internal partai. Perekrutan instan ini menandai program kaderisasi partai telah gagal. Yaitu partai telah gagal merekrut anggota baru yang selanjutnya ditempa untuk menjadi kader partai. Selain itu, cara ini juga sangat berpotensi merusak kekompakan internal partai. Terutama bagi kader yang telah berjuang dari bawah namun tersisih karena tidak memiliki modal yang cukup.

Pola perekrutan instan lainnya adalah mudahnya partai menerima kader dari partai lain. Fenomena “kutu loncat” ini juga jelas menciderai sistem kaderisasi partai. Apalagi jika yang bersangkutan pindah karena kalah berkonflik di partainya terdahulu. Artinya, ia pindah bukan karena faktor ideologi, tetapi karena tersingkir akibat konflik. Jika latar belakangnya saja sudah bermasalah, bagaimana mungkin ia akan bisa memperjuangkan ideologi dan nilai-nilai partai yang baru dimasukinya. Sayangnya, hal ini tidak ditanggapi secara serius oleh partai. Faktor akseptabilitas dan kapital yang besar ternyata masih lebih dominan daripada integritas dan tanggung jawab moral.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun